2020 Mendatang, Indonesia akan Memproduksi Gliserol

Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, mengakibatkan kebutuhan energi semakin tinggi pula. Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, memiliki visi untuk berupaya mengganti penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan meningkatkan peran energi alternatif dari energi baru terbarukan. Harapannya, hal ini dapat menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan energi fosil.

“Yang termasuk dalam energi terbarukan di antaranya Bahan Bakar Nabati (BBN). Saat ini yang sedang populer adalah biodiesel,” terang Dr. Zahrul Mufrodi, S.T., M.T. dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dalam acara Langkah Pakar di AdiTv Sabtu, (23/05/2015).

Lebih lanjut, Dosen Program Studi Teknik Kimia, Zahrul Mufrodi, dalam makalahnya menjelaskan bahwa biodiesel merupakan bahan bakar motor diesel yang dibuat dari minyak nabati. Pada proses pembuatan biodiesel, akan dihasilkan produk samping berupa gliserol 10% dari hasil biodiesel yang diperoleh.

Menurutnya, dari persentase hasil tersebut, dapat diprediksikan bahwa pada tahun 2020, Indonesia akan memproduksi gliserol sebagai hasil samping biodiesel sebanyak 0,5 juta kL/tahun. Gliserol sebanyak itu, tentunya menimbulkan masalah jika tidak dimanfaatkan dan hanya dibuang begitu saja ke lingkungan. Oleh sebab itu, dapat dimanfaatkan menjadi bioaditif untuk menaikkan angka oktan bahan bakar.

   Kebijakan pemerintah untuk menggunakan biodiesel pada campuran solar sebesar 15% yang dikenal sebagai biosolar mengakibatkan melimpahnya produksi gliserol di Indonesia.           Untuk menanggulangi tersebut, Zahrul Mufrodi melakukan penelitian sebagai solusi pemanfaatan gliserol menjadi bioaditif bahan bakar minyak.

“Penelitian ini juga menghasilkan prototipe alat pembuat bioaditif triasetin kapasitas 5.000 liter/ tahun yang dapat digunakan sebagai dasar pendirian pabrik dengan skala lebih besar. Produksi triasetin sebagai bioaditif dapat memenuhi kebutuhan aditif yang selama ini masih diimpor,” ucapnya.

Selain itu, pendirian pabrik dapat menjadi peluang para tenaga kerja dan menjamin kemandirian energi di Indonesia.

“Penelitian ini menghasilkan bioaditif yang dapat memenuhi kebutuhan aditif bahan bakar minyak. Pencampuran 10% bioaditif pada bahan bakar premium akan menaikkan angka oktan dari 85,3 menjadi 88. Kenaikan ini tentunya sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mengganti premium dengan bahan bakar dengan angka oktan yang lebih tinggi.