Bahaya Cyberbullying bagi Remaja

Remaja yang menjadi korban cyberbullying menunjukkan penurunan konsentrasi belajar, peningkatan absensi sekolah, dan penurunan prestasi belajar di sekolah (Beran & Li, 2007).

Triantoro Safaria, S.Psi., Ph.D. selaku Dosen Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dalam acara “Langkah Pakar” yang berlangsung di AdiTV, Sabtu (25/4/2015), memaparkan bahwa pertumbuhan pengguna internet di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika di tahun 2010 rata-rata peningkatan pengguna internet di kota besar di Indonesia masih berkisar antara 30‒35%, pada tahun 2011 didapatkan adanya peningkatan berkisar antara 40‒45%.

Sementara menurut MarkPlus Insight (2011), jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2011 sudah mencapai 55 juta orang, meningkat dari tahun sebelumnya di angka 42 juta. Maka, peningkatan yang terjadi sebesar 13 juta pengguna. Angka pertumbuhan ini masih didominasi oleh anak muda dari kelompok umur 15‒30 tahun. Hal itu dibuktikan dengan survei yang dilakukan di masing-masing, yakni sekitar 50‒80%.

Dalam makalah Triantoro dijelaskan, komunikasi internet membawa banyak manfaat positif. Di antaranya  kemudahan memperoleh informasi yang tidak terbatas, penggunaan untuk proses belajar mengajar, e-learning, e-business, serta e-counseling. Namun, teknologi internet juga membawa beberapa dampak negatif, seperti pornografi, cybercrime, dan cyberbullying (Tokunaga, 2010).

Cyberbullying merupakan bentuk dari pelecehan dan penghinaan melalui dunia maya yang saat ini banyak dialami oleh anak-anak dan remaja. Cyberbullying ini bagian dari transformasi bullying ke dalam dunia maya. Perbedaannya terdapat pada konteks dan media terjadinya pelecehan serta penghinaan.

Lebih lanjut dijelaskan, di Indonesia, kasus anak dan remaja yang mengalami cybervictimization termasuk tinggi. Menurut penelitian yang terdapat dalam situs edukasi.kompas.com, 1 dari 8 orang tua menyatakan bahwa anak mereka pernah menjadi korban pelecehan dan penghinaan melalui media online. Sebesar 55% orang tua juga mengetahui seorang anak mengalami cyberbullying. Ancaman tersebut didapat dari hasil penelitian Ipsos tahun 2011, yang merupakan perusahaan riset global dari Prancis. Ipsos mensurvei sebanyak 18.687 warga di 24 negara, termasuk Indonesia, melalui metodologi survei online.

Melalui penelitian yang berjudul “Cyberbullying among Junior High School: Prevalence and Antecedents” menunjukkan adanya perbedaan  tingkat distress psikologis yang sangat signifikan antara siswa yang sering mengalami bullying di sekolah dengan siswa yang tidak pernah mengalami bullying. Hal ini menunjukkan bahwa bullying victimization memberikan sumbangan 83.6% terhadap munculnya tingkat distres psikologis pada siswa.

Lebih lanjut menurut Triantoro, adanya perbedaan frekuensi mengalami cyberbullying yang sangat signifikan ditinjau dari tujuan penggunaan internet pada siswa. Siswa yang menggunakan internet untuk tujuan social media networking (Facebook, Twitter, WhatsApp, Yahoo Massenger), dan online game, mengalami cybervictimization lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan internet untuk tujuan mengerjakan tugas.

Penelitian yang dilakukan untuk remaja laki-laki dan perempuan berusia antara 12–13 tahun di  SMP  Muhammadiyah 4 Yogyakarta juga menemukan ada hubungan positif yang signifikan antara cybervictimization (menjadi korban cyberbullying)  dengan  tingkat distress psikologis siswa.

“Beberapa faktor yang dihipotesiskan berkaitan kuat dengan cyberbullying, yaitu tingkat religiusitas, regulasi emosi, keharmonisan keluarga, need of achievement, harga diri, dan regulasi emosi,” terang Triantoro.

Dosen yang saat ini menjadi kepala Career Development Center (CDC) ini menyarankan agar setiap sekolah menyuarakan gerakan anti-bullying maupun cyberbullying. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan edukasi kepada remaja. Diharapkan melalui program preventif ini remaja dapat menghindari perilaku  bullying. Program preventif tersebut juga akan membekali korban dalam mengelola konflik, stres, dan tekanan akibat bullying serta cyberbullying.