Dunia Digital dan Pendidikan Karakter

Dwi Sulisworo. Wakil Direktur Pascasarjana UAD

 

Bulan April hingga bulan Juli merupakan bulan-bulan yang dianggap kritis oleh orang  tua. Hal ini karena pada periode itu latihan ujian dan ujian akhir sekolah dilaksanakan. Orang tua sibuk untuk memberikan pelajaran tambahan pada anak-anaknya dengan berbagai les, baik privat maupun tidak. Satu tujuan yang diinginkan adalah anak memperoleh nilai terbaik untuk sekolah berikutnya. Aktivitas ini akan terlihat secara rutin tahunan pada orangtua di Indonesia secara kebanyakan. Ini bukan hal yang salah hanya perlu dikaji kembali apakah benar pendidikan anak-anak kita akan seperti ini.

Di sisi lain perkembangan dunia maya dengan dorongan dari teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mengubah lingkungan belajar secara dramatis. Teknologi ini sesungguhnya telah membagi masyarakat menjadi dua generasi yang memiliki cara pandang yang berbeda. Generasi pertama adalah masyarakat yang dilahirkan sebelum era digital atau dikenal dengan digital immigrant. Generasi kedua dilahirkan setelah era digital atau dikenal sebagai digital native.  Digital immigrant dicirikan dengan kemampuan literasi TIK yang rendah, tidak cepat menyesuaikan diri dan cenderung melihat TIK bukan suatu kebutuhan penting. Sebaliknya pada digital native memiliki literasi TIK yang tinggi, cepat menyesuaikan diri dan merasa TIK sangat penting dalam kehidupan mereka.

Dalam pendidikan di sekolah cara pandang ini mewarnai cara-cara pengelolaan pendidikan. Para guru yang notabene mewakili generasi digital immigrant akan berbenturan dengan siswa yang mewakili digital native. Kalimat-kalimat seperti ‘siswa dilarang membawa HP dan tablet di sekolah’, ‘saat pelajaran semua laptop dimatikan’, dll. adalah tanda adanya perseteruan antara kedua generasi yang berbeda pandangan ini. Tentu banyak alasan yang dapat digunakan untuk pembenaran atas berbagai fenomena ini. Namun jelas dapat dikatakan ada orientasi baru yang harus dilakukan dalam proses mendidik anak-anak kita dengan benar sesuai zamannya.

Semua orang mengakui bahwa TIK telah membawa kemudahan dalam memperoleh pengetahuan apapun. Dengan TIK sesungguhnya siswa dapat belajar dengan teman dari belahan dunia lain, dengan para ahli dalam bidangnya, memperoleh pengetahuan yang dapat lebih tinggi dibandingkan para guru-gurunya, dan lain sebagainya. Kita juga tahu bahwa pengetahuan yang kita ajarkan kepada anak didik kita akan segera menjadi usang begitu anak-anak kita menjadi dewasa dan masuk di dunia kerja, di dunia nyata. Hal ini karena pengetahuan berkembang terus menerus. Sehingga kemampuan beradaptasi dan mempelajari hal yang baru menjadi sangat penting dengan tidak terkungkung pada pengetahuan lama yang kita pelajari.

Dengan lingkungan seperti itu, sebagai akibatnya adalah fokus pendidik tidak pada seberapa banyak pengetahuan yang telah dipelajari. Apalagi terjebak pada menilai kinerja belajar anak sekedar pada seberapa tinggi nilai ujian sekolahnya. Karena semua itu akan segera menjadi usang saat mereka dewasa. Semua itu tidak dapat diwariskan. Yang jauh lebih penting adalah mendidik mereka sehingga memiliki karakter dan moral yang baik.

Kemampuan untuk belajar dengan cepat, kemampuan bekerja sama, kemampuan peka sosial, keberagamaan yang baik adalah hal yang dapat menjadi kekuatan untuk berdiri tegak bagi anak-anak kita. Peran guru perlu diorientasikan ke pembentukan karakter dan moral, dorong dan bantu anak-anak mempelajari materi pelajaran dengan menggunakan TIK yang sesuai dengan dunia mereka. Perubahan tatakelola pendidikan di sekolah seperti ini tentu memerlukan pemikiran bersama dari orang tua dan guru-guru di sekolah. Namun tentu bukan suatu yang mustahil dengan semangat untuk menjadikan anak-anak kita sebagai tonggak kemajuan bangsa ini dalam menyongsong Indonesia emas. Jangan salahkan mereka sebagai digital native yang berbeda dengan kita. Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya.