Potensi Zakat dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat

 “Zakat merupakan ajaran Islam yang memiliki nilai strategis ekonomi dalam mengurangi kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari golongan orang yang berhak menerima zakat, yakni fakir miskin, amil, mualaf, riqab, gharim, fissabilillah, dan ibnu sabil,” kata Khusnul Hidayah, S.E., S.Ag., M.Si. dalam acara Langkah Pakar yang berlangsung di AdiTv, Sabtu (6/5/2015). Dalam acara tersebut, ia khusus membicarakan tentang pengelolaan zakat yang strategis dan pengelolaan akuntansi zakat yang  sesuai dengan PSAK 109 (Pedoman Standar Akuntansi dan Keuangan Syariah). PSAK bertugas mengatur tata kelola dana ZIS di lembaga Zakat.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan (FE-UAD) ini dikenal banyak menulis paper yang berasal dari hasil penelitian dan pengabdian di masyarakat. Salah satunya tentang pengelolaan dana zakat pada pemberdayaan ekonomi umat (mustahik) dan penerapan akuntansi zakat di lembaga-lembaga zakat sebagai salah satu bentuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan zakat. 

Ia menjelaskan bahwa potensi zakat di Indonesia diperkirakan mencapai 19,3 triliun rupiah. Namun, yang terealisasi hanya sekitar 820 miliar rupiah (BAZNAS, 2011). Selama ini, potensi zakat di Indonesia yang sangat besar lebih banyak dimaknai untuk pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek dan bersifat konsumsi. Padahal, sesungguhnya zakat dalam Islam tidak hanya mengandung manfaat praktis, tetapi juga mengandung manfaat strategis.

Pengelolaan zakat yang strategis dapat dilakukan dengan pemberdayaan ekonomi para mustahik. Selain itu dapat pula dengan pengembangan usaha dan pendampingan bisnis, yakni melalui jamaah masjid, kelompok-kelompok pengajian, atau langsung pendampingan ke mustahik.

Sementara untuk lembaga zakat, perlu adanya dorongan untuk melakukan tata kelola zakat yang baik dengan mengacu kepada UU zakat No. 23 tahun 2011 dan PSAK 109. Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), terdapat sekitar 14 Lembaga Amil zakat (LAZ) sebagai lembaga amil zakat yang dibentuk atas inisiatif masyarakat dan sudah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

“LAZ di DIY belum semuanya menerapkan tata kelola zakat seusai dengan UU dan melakukan pencatatan akuntansi sesuai dengan PSAK. Padahal,  LAZ memegang peranan penting untuk dapat merealisasikan peranan zakat sebagai instrumen pengentas kemiskinan di wilayah DIY. Memang, beberapa penyaluran dana zakat produktif sudah dilakukan oleh beberapa LAZ, tetapi masih ditemui beberapa kendala dalam aplikasinya,” lanjut Khusnul.

Hambatan yang ditemukan LAZ di DIY dalam menyalurkan zakat antara lain kendala SDM, kendala terkumpulnya zakat yang masih sedikit karena persepsi masyarakat dalam mengelola zakat masih disalurkan sendiri, tidak melalui lembaga, dan lain-lain.

Maka, di sinilah letak pentingnya penyaluran dan tata kelola zakat sebagai dana produktif. Dana zakat yang diberikan masyarakat diperuntukkan kepada kegiatan-kegiatan produktif yang harapannya dapat mendatangkan nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat lainnya. Lembaga pengelola zakat harus dapat memberikan bukti nyata kepada masyarakat dalam penyaluran dana produktif yang tepat sasaran, akuntabel, dan keberhasilannya mengentaskan  kemiskinan.