Berharap dari Komunikasi Inklusif SBY-Jokowi
Anang Masduki
Ada perkembangan baru dalam tradisi demokrasi di Indonesia. Pertemuan SBY dan calon pengantinya, Jokowi hari rabu 27 Agustus di Nusa Dua, Bali. Pertemuan kedua tokoh ini memberikan sebuah harapan. Yaitu terbangunnya komunikasi yang inklusif antara presiden lama dengan presiden yang baru bagi keberlangsungan estafet kepemimpinan yang egfektif. Disisi lain, publik sedang dihadapkan pada pembatasan subsidi BBM. Dibeberapa SPBU bisa kita saksikan banyak orang yang mengantri untuk mendapatkan premium, solar maupun pertamax. Lebih jauh, isu BBM telah bergulir menjadi bola panas dalam kancah politik. Mengingat beberapa kali Jusuf Kalla meminta SBY untuk menaikan BBM, sedangkan SBY terlihat enggan. Sehingga banyak pengamat yang memprediksi, salah satu agenda pertemuan di Bali adalah forum negosiasi.
Perlu diapresiasi, SBY membuka ruang seluas-luasnyanya bagi Jokowi untuk berkonsultasi dan mengakses informasi. Harapannya Jokowi bisa belajar dan beradaptasi dengan tugas-tugas yang baru dan lebih berat. Mungkin alasan ini bisa dibenarkan. Mengingat SBY ketika hendak menjabat presiden pada periode pertamannya, mengalami kebuntuan komunikasi dengan presiden sebelumnya, yaitu Megawati ditahun 2004. Dan komunikasi itu belum cair sampai sekarang. Sederhana untuk mengukurnya, Megawati belum pernah menghadiri upacara bendera 17 Agustus di istana Merdeka selama 10 tahun masa kepemimpinan presiden SBY. Mereka pernah bertemu disaat presiden Obama berkunjung ke Indonesia dan saat debat capres tahun 2009. Itupun bisa dicermati jika pertemuannya tiada rasa kehangatan. Artinya, mereka berdua belum pernah meluangkan waktu untuk bertemu dan membuka ruang komunikasi maupun silaturahmi. Namun agak berbeda jika kita mencermati pola komunikasi yang dibangun oleh SBY kepada Jokowi selaku calon pengantinya. SBY mengundang Jokowi untuk bertemu di Nusa Dua Bali dan menegaskan bahwa akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Pertemuan tersebut bisa dimaknai, paling tidak empat hal. Pertama, SBY ingin menanamkan kesan seorang yang negarawan dengan menghilangkan ego dan sifat dendam politik. SBY ingin menunjukan kepada rifalnya, Megawati siapa yang lebih negarawan. Kedua, membuka pintu konsultasi dan sebagai wahana proses pembelajaran bagi presiden yang baru. Sehingga permasalahan bangsa bisa dipelajari oleh Jokowi untuk kemudian dicarikan solusinnya. Jika dilihat dari konferensipress SBY dan Jokowi setelah pertemuan di Nusa Dua, Bali. Salah satu tema yang dibahas adalah postur APBN 2015 dan APBN perubahan.
Ketiga, mengutip pepatah dari Milton Friedman, seorang ekonom pemenang Hadiah Nobel dalam bukunya yang terbit tahun 1975 "There Ain't No Such Thing As A Free Lunch", artinya "Tidak ada makan siang yang gratis." Yang ia maksudkan, bahwa tidak ada sesuatu hal yang gratis dalam politik, seseorang, di suatu tempat, entah bagaimana, selalu akan membayar. Pertemuan SBY dan Jokowi memang menjadi forum negosiasi politik khususnya terkait kenaikan harga BBM. Keempat, perlu diingat, selama pemerintahan SBY telah menaikan harga BBM sebanyak empat kali. Namun partai utama pendukung Jokowi, PDIP selama ini paling vokal menolak kenaikan harga BBM. Hal ini bisa menjadi daya dongkrak justifikasi bahwa PDIP hipokrit. Dulu menolak sekarang mendesak kenaikan BBM.
Dari sini dapat ditarik sebuah garis merah bahwa, apapun hasil pertemuan kedua tokoh tersebut perlu diapresiasi. SBY telah membuka jalan komunikasi bagi penerusnya untuk mengakses informasi dan konsultasi. Dan disisi lain, SBY ingin mengakhiri masa pemerintahannya dengan khusnul khotimah. SBY ingin membuat kenangan manis di hati rakyatnya. Semoga.
*penulis adalah dosen Komunikasi UAD