Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga
Ika Maryani, PGSD FKIP Universitas Ahmad Dahlan UAD
Jangan sebut korupsi sebagai budaya! Karena budaya bangsa ini terlalu mahal untuk dikonotasikan dengan istilah korup. Tapi faktanya, korupsi memang menjadi penyakit yang seolah telah membudaya di negeri ini. Tidak hanya di pemerintahan, tapi juga di berbagai aspek kehidupan kita, korupsi seolah menjadi bagian negatif yang tak bisa ditinggalkan dalam sistem birokrasi.
Korupsi disebabkan karena adanya keinginan dan kesempatan. Keinginan berkaitan dengan moral seseorang, sedangkan kesempatan berkaitan dengan sistem. Untuk itu, agar terbebas dari korupsi, perlu ditanamkan nilai-nilai anti korupsi sejak dini mulai dari lingkungan keluarga dan tempat tinggal. Pendidikan anti korupsi perlu ditanamkan sejak dini agar generasi penerus bangsa memiliki jiwa anti korupsi.
Trend usia Koruptor semakin lama semakin muda, mulai mengarah ke usia di bawah 40 tahun. Uniknya lagi, tindakan korupsi mulai melibatkan hubungan keluarga. Lihat saja kasus “dinasti” Banten yang melibatkan hampir seluruh keluarga besar Atut, kasus pengadaan Al-Qur'an yang "kompak" dilakukan oleh Bapak dan Anak. Serta yang tidak kalah adalah kasus penangkapan Bupati Karawang beserta Istrinya karena melakukan pemerasan kepada salah satu perusahaan yang tengah mengajukan ijin pembangunan pusat perbelanjaan di kota tersebut. Tak hanya itu, Wali Kota Palembang Romi Herton dan istri, Masyitoh, juga ditangkap karena kasus penyuapan terhadap mantan Ketua MK Akhil Mochtar, sedangkan Bendahara Umum Partai Demokrat sekaligus anggota DPR Muh. Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni, ditangkap karena sejumlah tindak pidana korupsi.
Fakta-fakta menyedihkan ini menunjukkan betapa keluarga sangat berpengaruh terhadap tindakan seseorang untuk melakukan upaya korup. Hal ini menjadi keprihatinan bersama rakyat Indonesia. Wakil Ketua KPK Busro Muqoddas dalam kunjungannya ke Kampus 5 Universitas Ahmad Dahlan beberapa saat yang lalu memaparkan betapa besar peran keluarga dalam pencegahan korupsi. "Tanpa kita sadari, keluarga menjadi salah satu pemicu seseorang untuk melakukan tindakan korupsi karena pola hidup boros dan konsumtif yang dibina dari keluarga. Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi dan penanaman hidup sederhana dalam keluarga menjadi hal yang paling utama dan menjadi salah satu fokus utama KPK saat ini”, ujarnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan Yogyakarta (dimulai dari Prenggan, Kotagede) sebagai pilot project pencegahan korupsi berbasis keluarga. Dengan merangkul berbagai komunitas, institusi pemerintah, serta Perguruan Tinggi (khususnya Universitas Ahmad Dahlan), KPK akan memberikan pendidikan antikorupsi di tingkat keluarga. Upaya ini dilakukan mengingat pembiasaan-pembiasaan hidup dalam keluarga menjadi faktor utama tindakan seseorang di masa depan. Ikatan antara suami-istri, orangtua-anak, maupun antartetangga menjadi sesuatu yang potensial untuk menanamkan nilai kejujuran berbasis keluarga. Yogyakarta dengan local content yang sangat kuat menjadi tempat yang tepat untuk memulai program pencegahan korupsi berbasis budaya lokal. Terlebih lagi mengingat budaya yang kental akan nilai-nilai kejujuran dan berbudi luhur masih terwariskan dengan baik di wilayah Yogyakarta.
Tentu upaya ini tidak akan maksimal jika KPK hanya bekerja sendiri. Oleh karena itu dengan mengajak berbagai komponen masyarakat, salah satunya Universitas Ahmad Dahlan, menjadikan program ini akan lebih cepat memberikan hasil dan dapat diadopsi oleh daerah lain. Harapan besarnya adalah agar seluruh lapisan masyarakat di Indonesia dari Sabang sampai Merauke dapat bersama-sama menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran serta menjadi bangsa besar yang terbebas dari korupsi.