Budaya Disiplin (Waktu)
Oleh: Dr. Suyatno, M.Pd.I.
Dosen Prodi PGSD Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Disiplin memang masih menjadi barang langka dan berharga di tempat kita, baik di sekolah, kampus, kantor, maupun di masyarakat umum. Kata-kata “mohon maaf Pak/Bu, saya terlambat” masih menjadi pemandangan sehari-hari. Terlambat masih dianggap hal yang wajar dan biasa, bahkan telah menjadi budaya. Bahkan di sebuah acara, ada yang telah membuat kesepakatan untuk terlambat selama 30 menit dalam setiap kali pertemuan. Sungguh mengherankan, kok “maksiat” disepakati. Apa gerangan sebabnya orang tidak disiplin dalam waktu? Sebab utamanya hanya satu, kurang menghargai nilai waktu. Kita tidak merasa kehilangan sesuatu dan eman-eman apabila kita terlambat beberapa menit bahkan jam ketika mengikuti sebuah acara rapat, seminar, kuliah, workshop dan lain sebagainya.
Bagaimana merubah budaya? Budaya memang tidak mudah untuk dirubah, dalam waktu yang singkat. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Renald Khasali dalam bukunya Myelin mengungkapkan berdasarkan pengalaman bersama tim yang dipimpinnya, setidaknya ada 5 langkah yang harus dilakukan untuk merubah budaya, yaitu; dipaksa, terpaksa, bisa, biasa, dan akhirnya menjadi budaya.
Pertama, dipaksa. Untuk membuat perubahan secara masal memang tidak cukup menunggu kesadaran dari masing-masing individu, harus ada peraturan yang memaksa. Konon, orang-orang Barat bisa disiplin bukan hanya karena faktor individu melainkan ada aturan yang tegas dan tidak dapat ditawar-tawar. Yang salah ditindak tegas, yang benar ada jaminan keselamatan.
Kedua, setelah dipaksa orang akan merasa terpaksa. Orang akan terpaksa bekerja keras agar dapat mengikuti segala jadwal dan kegiatan secara on time, tidak terlambat. Mereka akan lebih memanage waktu sebaik-baiknya agar dapat melakukan setiap kegiatan dengan tepat waktu. Ketiga, setelah terpaksa beberapa lama akhirnya bisa. Tidak bisa bukan karena sulit melainkan karena belum pernah mencoba untuk tepat waktu.
Keempat, setelah bisa toh akhirnya menjadi biasa. Pada fase ini orang sudah tidak lagi merasakan berat, apalagi merasa dipaksa dan terpaksa. Semuanya telah berjalan secara otomatis karena saraf dalam tubuh telah terkondisikan bahwa semuanya harus berjalan sesuai waktu yang ditentukan. Kelima, kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang dan dibumbui dengan penghayatan akhirnya akan menjadi budaya. Maka terbentuklah budaya disiplin.
Menurut Khasali, untuk merubah budaya tidak disiplin menjadi budaya disiplin sebagaimana dijelaskan dalam langkah-langkah di atas, butuh waktu kira-kira 7 tahun. Memang cukup lama.
Selain lima langkah di atas ada satu hal lagi yang sangat penting untuk membentuk budaya kedisiplinan, yaitu dengan cara menetapkan the time of value. Hargailah waktu anda setinggi-tingginya. Sebagai contoh, seseorang telah menetapkan harga waktunya adalah 100.000,- rupiah per jam. Jika seseorang gagal memanfaatkan waktu 1 jam saja setiap hari maka seakan-akan orang itu telah kehilangan uang sebanyak angka itu. Bagaimana kalau gagal memanfaatkan waktu 2, 3, 4, atau 5 jam perhari? Tentu ia akan merasa kehilangan uang dalam jumlah lebih banyak lagi.
Ah, sungguh materialis. Jika ada yang berkomentar demikian, itu hanya sekedar contoh. Kita dapat menghargai waktu dengan cara yang berbeda-beda. Tetapi sebagai orang beriman, ada yang telah kita sepakati bersama bahwa bukankah Allah juga akan menanyakan kepada hamba-Nya setiap detik waktu yang telah dilewatkan?