Mengkritisi Model Pengajaran Bahasa dan Sastra di Indonesia
Oleh
Wajiran, S.S., M.A.
(Mahasiswa PhD University of Tasmania, Australia &
Dosen FSBK UAD Yogyakarta)
Acara sastra budaya yang dilaksanakan oleh kemendikbud di Padang pada tanggal 13 September 2014 merupakan kegiatan yang sangat positif bagi pendidikan kita. Pasalnya, selama ini ranah sastra seperti disepelekan, dianggap tidak penting. Walhasil, pengajaran yang diberikan di sekolah seperti setengah hati. Model dan materi pengajaran sangat tidak memenuhi standar agar siswa benar-benar mendapatkan manfaat dari mata pelajaran sastra dan budaya di sekolah.
Karya sastra memiliki peran besar di dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan (moral values) bagi generasi muda. Oleh karena itu, acara budaya yang diikuti sekitar 1200 orang itu merupakan tolakukur akan adanya kesadaran dari lembaga kemendikbud akan pentingnya sastra, bahasa dan budaya dalam proses pendidikan. Meskipun mungkin masih diperlukan adanya perubahan model pengajaran bahasa dan sastra bagi para siswa. Pengajaran bahasa dan sastra haruslah mampu merangsang siswa lebih kreatif. Memanfaatkan kekuatan daya khayal dan nalarnya dalam menelaah karya sastra sekaligus bias belajar berkarya. Dengan menelaah karya-karya yang bagus para siswa mendapatkan pelajaran dan contoh yang baik dari tokoh-tokoh dalam karya sastra itu.
Karya sastra merupakan media yang paling istimewa. Media ini dapat diterima di segala kalangan. Model penyampaian gagasan, pendapat dan kritik yang disampaikan di dalam karya sastra lebih fleksible, sehingga secara tidak langsung pembaca akan terpengaruh oleh gagasan yang ada di dalam sastra itu. Itulah sebabnya, Lotman mengatakan bahwa karya sastra adalah media yang tidak tergantikan dengan media lain, literature is untransmitable by other means.
Mengingat pentingnya pengajaran bahasa dan sastra dalam menanamkan nilai-nilai moral, maka perlu kiranya dipertimbangkan kembali model pengajaran sastra di negeri kita. Sebagaimana yang pernah penulis alami, pengajaran bahasa dan sastra dari SMP sampai SMA hanya menghafalkan nama-nama pengarang serta judul-judul karyanya, sedangkan isi dari karya sastra itu justru tidak pernah ditelaah. Kalaupun kita dianjurkan membaca tetapi tidak pernah diajarakan untuk mencoba menulis kembali atau menceritakan kembali. Siswa hanya sekedar diminta mencari ringkasan dari inti suatu karya sastra. Lebih seringnya siswa hanya disuruh menghafal nama pengarang, judul dan angkatan karya sastra itu. Hal ini tentu tidak akan pernah menambah pengetahuan akan aspek lain dari pengajaran sastra.
Sebagai negara yang kaya dengan suku, agama dan budaya, negeri ini memiliki begitu banyak sastrawan-sastrawan yang sangat mumpuni. Itu sebabnya sangat perlu diperkenalkan karya-karya mereka di sekolah. Khususnya karya sastra yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Novel-novel, puisi dan drama yang mengajarkan akan nilai-nilai kemanusiaan cukup penting untuk ditelaah, agar para siswa bisa berfikir dan berimajinasi berdasar nilai-nilai kebaikan yang ada di dalam karya sastra itu. Para siswa juga akan semakin terbuka atas dinamika kehidupan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Pada dasarnya dinamika yang terefleksikan di dalam karya sastra adalah terjadi dalam masyarakat sesungguhnya.
Sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim kita patut bersyukur dengan lahirnya karya-karya sastra yang telah ditulis oleh kaum muslim. Karya-karya sastra islami bias menjadi alternative yang menawarkan ajaran moral, dedikasi dan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat penting bagi generasi muda. Nilai-nilai kemandirian, kesabaran, keikhlasan dan keteguhan dalam menjalan kehidupan secara benar sangat banyak tergambar di dalam karya-karya sastra islam. Itu sebabnya, sayang jika maraknya karya-karya sastra islam yang sangat baik ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh generasi muda.
Adanya upaya ekranisasi dari karya sastra ke dalam film merupakan keuntungan tersendiri. Hal itu akan semakin memudahkan generasi muda menerima nilai-nilai moral yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Meskipun sebenarnya membaca akan lebih memberikan nilai positif bagi kepribadian para siswa. Dengan membaca daya imajinasi mereka akan semakin terolah karena terbiasa memanfaatkan daya intelektual mereka. Itulah sebabnya, pelajaran bahasa dan sastra harus dimanfaatkan untuk mendorong para siswa agar lebih suka membaca daripada menonton. Kebiasaan membaca telah banyak memberikan manfaat bagi perkembangan emosional, intelektual bahkan spiritual seseorang.
Kembali pada model pengajaran bahasa dan sastra di negeri kita. Rasanya generasi muda kita tidak akan mendapatkan manfaat yang lebih baikjika model pengajaran bahasa dan sastra masih sekedar menghafalkan penulis, angkatan dan ringkasan karya sastra. Model pengajaran yang menumpukan menghafal harus dirubah menjadi model penelaahan. Dengan kebiasaan menelaah atau meinterpretasi siswa akan terbiasa menggunakan daya intelektualnya merespon secara positif atas segala persoalan yang di hadapi masyarakat negeri ini. Siswa juga akan memiliki kemampuan mengungkapkan baik dengan lisan dan tulisan, pemikiran-pemikiran mereka atas penyelesaian persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Semoga!
Hobart-Australia, 15 September 2014