Penulis Harus Sensitif
“Sastra di sekolah maupun Perguruan Tinggi hanya diajar tentang teori saja, dan teori yang diajarkan itu-itu saja. Itulah salah satu kenapa Indonesia kekurangan kritikus. Dunia menulis puisi dan cerpen menuliskan keadaan dan harus merespons sekitar. Kenapa penulis harus sensitif. Kalau penulis tidak menyentuh sama sekali dengan lingkungan sekitar, bagaimana tulisannya bisa bagus,” kata Sule Subaweh dalam acara diskusi sastra yang mengangkat tema “Menulis, Membaca Tanda, Menyusuri Imajinasi” di hall kampus II UAD Senin (28/12/2015)
Acara yang diadakan oleh Program Studi Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia (HMPS Sastra Indonesia) ini mengangkat tema “Menakar Tahun Menghitung Tanda-Tanda”. Selain Sule Subaweh, ada juga Iqbal H Saputra sebagai pemantik.
Banyak yang berpartisipasi dalam acara tersebut, salah satunya Mohammad Ali Tsabit. Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini mengungkapkan bahwa selain kuantitas ternyata kualitas di prodi Sastra Indonesia juga semakin berkembang. “Yang jelas ada perkembangan, karena di tahun-tahun sebelumnya, tidak pernah ada acara seperti ini,” jelas Tsabit, mantan mahasiswa Sastra Indonesia UAD tersebut.
Acara Pesta Sastra dengan berbagai kegiatan lomba ini tidak hanya berakhir pada malam penganugerahan saja. Karya-karya puisi dan cerpen yang telah terkumpul akan ditindaklanjuti dengan membuat antologi puisi dan cerpen.
“Nantinya karya-karya mahasiswa ini akan di edit dan dipublikasikan. Nanti kita akan mengundang pakar-pakar, dan akan buatkan antologi,” jelas Ani.
“Acara seperti ini harus dilakukan secara rutin untuk memantik mahasiswa untuk mengenal sastra,” harap Sule.