Alanse Juni Setiawan Bondan: Kasih Sayang Guru Harus Merata
“Kesulitan utama ada di bahasa dan manajemen kelas. Tetapi, murid-murid sangat aktif dan antusias, jadi hal itu dengan mudah dapat diatasi,” Alanse Juni Setiawan Bondan, S.S., menceritakan pengalamannya mengajar di Sangkhom Islam Wittaya, Songkla, Thailand Selatan. Alan, begitu ia biasa disapa mengaku pengalaman mengajar di Thailand sebagai bagian dari program Kantor Urusan Internasional (KUI), Alumni Mengajar di Luar Negeri, adalah pengalaman yang sangat langka. Biar pun berasal dari Program Studi Sastra Indonesia, Alan tetap membekali diri dengan pengalaman mengajar sebagai mentor les privat. Alan juga kerap mengikuti organisasi seperti IMM Fakultas, BEM, dan Komunitas Karate Indonesia.
Di Thailand, Alan mengajar berbagai mata pelajaran di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Pada tahun pertama, ia mengajar Bahasa Inggris, Sains, dan Matematika. Sedang di tahun kedua, ia mengajar Kesenian, Olahraga, dan Ilmu Agama Dasar. Tahun ini adalah tahun ketiga Alan mengajar di Thailand. Ketika ditanya tentang rencana masa depan, Alan menjawab bahwa setelah selesai tugasnya mengajar di tahun ketiga, ia berencana untuk melanjutkan studi S2.
Ketika ditemui di kampus 1 UAD, pemuda kelahiran Blora, 4 Juni 1991 itu mengaku sedang cuti dan akan kembali ke Thailand pada Mei mendatang. Tujuan awal Alan mengikuti program tersebut adalah untuk mencari pengalaman mengajar. Kesempatan untuk mengajar di luar negeri adalah kesempatan langka. Maka saat direkomendasikan oleh fakultas, ia langsung menerima tawaran tersebut dan mengikuti seleksi.
“Saya beruntung ditempatkan di daerah yang mayoritas penduduknya beragama muslim. Di sana saya melihat kaum minoritas bisa berkembang di tempat yang kurang mendukung. Saya juga kagum dengan kehidupan bermasyarakat di Thailand. Di sana, keberagaman dan perbedaan bisa lumer. Padahal jika dibandingkan dengan Indonesia, kehidupan muslim di sana lebih ketat, bisa dibilang seperti kehidupan pesantren. Tetapi perbedaan bisa benar-benar lumer,” jelasnya.
Perbedaan budaya lain yang ia temui selama mengajar di Thailand adalah budaya mengucap salam.
“Assalamu’alaikum, teacher,” ucap Alan menirukan gaya murid-murid biasa menyapanya, tidak peduli di dalam atau di luar sekolah.
Walaupun di Thailand Alan adalah “orang asing”, sebagai guru, ia sangat dihormati oleh murid-muridnya. Bahkan, ia dikenal dapat mengatasi kelas yang paling sulit diatur.
“Di sekolah saya, ada pembagian, seperti kelas unggulan dan kelas biasa. Walaupun kondisinya seperti itu, menurut saya guru tetap harus adil. Kasih sayang yang diberikan harus merasa ke semua murid. Dengan begitu, murid pun juga akan memberikan perhatian dan menghormati kita.” (dev)