(Bukan) Akhir Dari Partai Berlabel Agama
Dani Fadillah*
Beberapa waktu yang lalu santer diberitakan bahwa partai-partai yang berlabel agama mengalami penurunan elektabilitas yang dapat dikatakan cukup drastis. Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan itu adalah partai-partai yang berlabel agama tidak lagi ‘menjual’, partai dengan embel-embel agamat tidak lagi memiliki daya tarik bagi masyarakat. Benarkah? Jika memang iya, kenapa bisa demikian?.
Harapannya, kehadiran partai-partai yang berlabel agama diharapkan dapat menjadi pembeda untuk mengimbangi keberadaan partai-partai lain yang tidak berlabelkan agama. Dapat memberikan masukan dari sisi kerohaniyahaan ketika hendak mengambil sebuah kebijakan misalnya, supaya kebijakan yang diambil tidak menjadi sebuah kebijakan liberal yang lepas dari spirit Ketuhanan YME. Namun sayangnya dalam praktinya belakangan ini partai berlabel agama cenderung terjebak dalam Simbolitas belaka, simbol dari sisi ikonografi tokoh dan simbol dari logo yang digunakan oleh partai. Seperti memakai lambang ka’bah, dua kalimat syahdat, hingga logo partai yang menyerupai lambang dua ormas kegamaan terbesar di Indonesia. Penegasan ideologis seolah tidak lagi dipandang penting.
Tokoh
Faktanya, dibandingkan tampil sebagai pembela umat, tokoh-tokoh partai berlabel agama lebih terlihat sebagai representasi pemerintah. Ada yang menjadi menteri agama, menteri tenaga kerja dan transmigrasi, menko perekonomian, Menkominfo, dll. Dan tokoh-tokoh yang tidak mendapat di kursi pemerintahan cenderung terlihat sebagai perwujudan dari profesi yang dianutnya, bukan sebagai petinggi partai berlabel agama, contohnya Yusril Ihza Mahandra yang lebih dikenal sebagai praktisi hukum ketimbang petinggi PBB. Atau malah seperti hilang ditelan bumi, sebagaimana bapak reformasi dari partai berlambang matahari yang tidak lagi terdengar bagaimana lagi langkah-langkah prestisius yang diambilnya untuk membangun negeri.
Bagi partai, apalagi yang membawa simbol-simbol keagamaan, keberadaan tokoh sangat penting karena dipandang sebagai blue print konkrit wujud partai-partai tersebut. Sebagaimana partai Masyumi yang tidak mungkin akan terdengar kisah kebesarannya jika tidak ada tokoh-tokoh mendunia seperti Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo,Mohamad Roem, dll.
Keluar Dari Keterpurukan
Penulis pernah mendengarkan keluhan kader sebuah partai dengan label agama yang menyatakan bahwa partainya adalah korban dari politik pragmatisme-transaksional, kesimpulannya, partai-partai berlabel agama kalah bukan karena sentimen nasionalisme atau yang bersifat ideologis, tetapi karena ketidakmampuan mengimbangi kekuatan kapital atau dana partai yang besar.
Mungkin ada benarnya, namun penulis rasa tidak sesederhana itu kesimpulan yang seharusnya diambil. Memang, di lapangan tidak sedikit masyarakat yang sudah terkondisikan bermental pragmatis. Akan tetapi bukankah itu merupakan sebuah celah bagi partai-partai berlabel agama untuk tampil beda? Kenapa hal itu tidak dijadikan cambul untuk untuk lebih kreatif sehingga umat percaya dan mendukung.
Penulis pun berharap partai-partai dengan label agama jangan ikut masuk dalam ke dalam pendekatan pragmatisme-transaksional karena jika sampai begitu maka parta-partai dengan label agama akan turut berjasa merusak akhlak politik semua lapisan masyarakat, tentu itu jauh dari ajaran agama. Partai-partai berlabel agama harus menang dengan cara-cara yang mengedepankan keluhuran akhlak, bukan sebaliknya.
*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan,
Pengamat Komunikasi Politik
Daftar Riwayat Hidup
Nama : Dani Fadillah
TTL : Langsa, 29 Juni 1988
Alamat : Perumahan Jatimulyo Baru Blok F-2 Yogyakarta
Telp : 0898 5117 210
E-Mail : danifadillah@uad.ac.id
Riwayat pendidikan
• S1 UIN Sunan kalijaga Yogyakarta
• S2 UGM Yogyakarta
Pengalaman Organisasi
• Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UIN Sunan Kalijaga 2009
• Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah Kabupaten Sleman 2010
Dani Fadillah*
Beberapa waktu yang lalu santer diberitakan bahwa partai-partai yang berlabel agama mengalami penurunan elektabilitas yang dapat dikatakan cukup drastis. Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan itu adalah partai-partai yang berlabel agama tidak lagi ‘menjual’, partai dengan embel-embel agamat tidak lagi memiliki daya tarik bagi masyarakat. Benarkah? Jika memang iya, kenapa bisa demikian?.
Harapannya, kehadiran partai-partai yang berlabel agama diharapkan dapat menjadi pembeda untuk mengimbangi keberadaan partai-partai lain yang tidak berlabelkan agama. Dapat memberikan masukan dari sisi kerohaniyahaan ketika hendak mengambil sebuah kebijakan misalnya, supaya kebijakan yang diambil tidak menjadi sebuah kebijakan liberal yang lepas dari spirit Ketuhanan YME. Namun sayangnya dalam praktinya belakangan ini partai berlabel agama cenderung terjebak dalam Simbolitas belaka, simbol dari sisi ikonografi tokoh dan simbol dari logo yang digunakan oleh partai. Seperti memakai lambang ka’bah, dua kalimat syahdat, hingga logo partai yang menyerupai lambang dua ormas kegamaan terbesar di Indonesia. Penegasan ideologis seolah tidak lagi dipandang penting.
Tokoh
Faktanya, dibandingkan tampil sebagai pembela umat, tokoh-tokoh partai berlabel agama lebih terlihat sebagai representasi pemerintah. Ada yang menjadi menteri agama, menteri tenaga kerja dan transmigrasi, menko perekonomian, Menkominfo, dll. Dan tokoh-tokoh yang tidak mendapat di kursi pemerintahan cenderung terlihat sebagai perwujudan dari profesi yang dianutnya, bukan sebagai petinggi partai berlabel agama, contohnya Yusril Ihza Mahandra yang lebih dikenal sebagai praktisi hukum ketimbang petinggi PBB. Atau malah seperti hilang ditelan bumi, sebagaimana bapak reformasi dari partai berlambang matahari yang tidak lagi terdengar bagaimana lagi langkah-langkah prestisius yang diambilnya untuk membangun negeri.
Bagi partai, apalagi yang membawa simbol-simbol keagamaan, keberadaan tokoh sangat penting karena dipandang sebagai blue print konkrit wujud partai-partai tersebut. Sebagaimana partai Masyumi yang tidak mungkin akan terdengar kisah kebesarannya jika tidak ada tokoh-tokoh mendunia seperti Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo,Mohamad Roem, dll.
Keluar Dari Keterpurukan
Penulis pernah mendengarkan keluhan kader sebuah partai dengan label agama yang menyatakan bahwa partainya adalah korban dari politik pragmatisme-transaksional, kesimpulannya, partai-partai berlabel agama kalah bukan karena sentimen nasionalisme atau yang bersifat ideologis, tetapi karena ketidakmampuan mengimbangi kekuatan kapital atau dana partai yang besar.
Mungkin ada benarnya, namun penulis rasa tidak sesederhana itu kesimpulan yang seharusnya diambil. Memang, di lapangan tidak sedikit masyarakat yang sudah terkondisikan bermental pragmatis. Akan tetapi bukankah itu merupakan sebuah celah bagi partai-partai berlabel agama untuk tampil beda? Kenapa hal itu tidak dijadikan cambul untuk untuk lebih kreatif sehingga umat percaya dan mendukung.
Penulis pun berharap partai-partai dengan label agama jangan ikut masuk dalam ke dalam pendekatan pragmatisme-transaksional karena jika sampai begitu maka parta-partai dengan label agama akan turut berjasa merusak akhlak politik semua lapisan masyarakat, tentu itu jauh dari ajaran agama. Partai-partai berlabel agama harus menang dengan cara-cara yang mengedepankan keluhuran akhlak, bukan sebaliknya.
*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan,
Pengamat Komunikasi Politik
Daftar Riwayat Hidup
Nama : Dani Fadillah
TTL : Langsa, 29 Juni 1988
Alamat : Perumahan Jatimulyo Baru Blok F-2 Yogyakarta
Telp : 0898 5117 210
E-Mail : danifadillah@uad.ac.id
Riwayat pendidikan
• S1 UIN Sunan kalijaga Yogyakarta
• S2 UGM Yogyakarta
Pengalaman Organisasi
• Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UIN Sunan Kalijaga 2009
• Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah Kabupaten Sleman 2010