Calon Pendidik Harus Kritis
“Bagi calon pendidik, jiwa kritis itu penting. Kritis adalah hal yang biasa, yang menjadi permasalahan ketika kritis menyebabkan pertentangan.” Begitulah yang disampaikan oleh Seno Gumira Ajidarma saat menyampaikan kuliah umum kepada mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, (19/9/2017).
Menurutnya, sikap kritis harus dilandasi dengan sikap rendah diri dan mau menerima kritikan dari luar diri sendiri. “Jadi, tidak hanya mengkritisi saja, tetapi harus mau dikritisi juga,” papar cerpenis dan mantan jurnalis ini.
Jiwa kritis ibarat sebuah penyakit dan perlu waktu lama untuk memiliki jiwa ini. Seno mengibaratkannya dalam konteks sastra. Urusan sastra bukan hanya sesuatu yang indah dan menyenangkan, tetapi sastra harus menjadi pelecut daya kritis.
“Misalnya ketika ketidakadilan berlangsung di sekitar kita, apakah kita akan diam saja? Bagi calon pendidik yang memahami sastra, hal semacam ini akan menjadi stimulus untuk menyuarakan ketidakadilan tersebut, menyuarakan sesuatu yang dibungkam melalui tulisan.”
Lebih lanjut, laki-laki berambut putih pajang ini menyampaikan bahwa kritik tidak hanya mengurusi baik buruk saja, melainkan untuk mengasah kepekaan sosial dan intelektual. Pada penerepannya dalam pembelajaran misalnya, seorang pendidik yang kritis akan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan dalam pembelajaran yang sukar. Pada tahapan tertentu, jiwa kritis akan memunculkan pemikiran ataupun teori-teori baru.
“Pendidik tidak harus terpaku pada teori yang ada. Misalnya ketika berhadapan dengan hal-hal sulit saat mengajar, daya kritis dan kreatif akan sangat membantu untuk memecahkan masalah dan menemukan solusi terbaik.” (ard)