UAD Kirim 9 Mahasiswa ke Universiti Utara Malaysia

Prof. Sarbiran, Ph.D. yang merupakan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, secara resmi membuka pembekalan keberangkatan dan pelepasan 9 mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang mengikuti program transfer kredit selama satu semester di Universiti Utara Malaysia (UUM).

Sembilan mahasiswa itu adalah Herman Peta Permadi dan Auliya Lathifathul Wadiah (mahasiswa Program Studi Hukum), Rohisotul Mutabasimah dan Siti Hartinah (mahasiswa Program Studi Akuntansi), Taufukurrahman dan Rahmat Saleh (mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan), Rahmayani dan Febrian Eka Putra (mahasiswa Program Studi Manajemen), dan Rifki Pambudi (mahasiswa Program Studi Teknik Informatika).

 Sarbiran mengatakan, program transfer kredit satu semester merupakan salah satu bentuk realisasi MoU antara UAD dan UUM. Sebelumnya, kedua belah pihak sudah merealisasi MoU dengan program seminar bersama dan pengiriman dosen tamu.

“Dalam program ini, mahasiswa mendapatkan bebas SPP dan akomodasi di UUM. SPP dibayarkan di home university, dalam hal ini, UAD,” Terang Sarbiran di ruang serbaguna lantai 1 kampus III UAD, Jum’at (26/08/2016).

Ida Puspita, M.A. Res. selaku Kepala Kantor Urusan Internasional (KUI) UAD menjelaskan, “Mereka akan berangkat ke UUM pada 27 Agustus  2016 dan akan berada di sana sampai bulan Maret 2017.”

Lanjutnya, aktivitas kerja sama transfer kredit merupakan upaya UAD dalam rangka memperluas jenis-jenis kegiatan kerja sama dengan universitas mitra, khususnya dengan UUM. Selain itu juga memberikan international exposure minimal di negara ASEAN kepada  mahasiswa dalam rangka era Masyarakat Ekonomi ASEAN.

“Harapan ke depannya, kegiatan ini akan berkesinambungan dan bersifat timbal balik, yakni UUM akan mengirim mahasiswanya ke UAD untuk program transfer kredit serta semakin banyak program studi yang terlibat,” harap Ida Puspita.

Selain 9 mahasiswa terpilih, acara tersebut juga dihadiri oleh kepala program studi dari lima program studi yang mengirim mahasiswa dalam program ini. Ada juga dosen pendamping, dosen, dan staf KUI. (doc)

Semarak Muktamar Nasyiatul Aisyiyah ke-XIII

Dengan mengusung tema “Gerakan Perempuan Muda Berkemajuan untuk Kemajuan Bangsa”, Nasyiatul Aisyiyah hadir dalam meningkatkan kegiatan dakwahnya di masyarakat melalui proses penyelenggaraan Muktamar ke-XIII. Muktamar tersebut diselenggarakan di Yogyakarta selama beberapa hari, yakni pada Kamis-Minggu (25-28/8/2016).

Selama 4 hari itu, diagendakan 14 sidang pleno, serta 1 sidang komisi. Namun, beberapa acara telah diselenggarakan sejak Selasa-Rabu (23-24/8/2016). Di antaranya terdapat beberapa seminar, seperti seminar “Keperempuanan”, motivasi, dan lainnya.

Sebagai Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) turut andil untuk mendukung dan memberikan pelayanan terbaik dalam penyelenggaraan Muktamar Nasyiatul Aisyiyah tahun 2016 ini. Hal tersebut dibuktikan dengan diadakannya seluruh agenda di kedua PTM tersebut.

Telah diketahui, Nasyiatul Aisyiyah merupakan organisasi di bawah naungan Organisasi Masyarakat (Ormas) Muhammadiyah. Nasyiatul Aisyiyah menjadi wadah bagi para perempuan (organisasi keperempuanan) untuk berkarya dan berperan aktif dalam berdakwah dalam mengembangkan nilai keislaman kepada masyarakat, serta meningkatkan mutu ilmu pengetahuan, baik dari segi spiritual, intelektual, maupun jasmaniah.

Nasyiatul Aisyiyah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1919 dengan nama “Siswa Praja Wanita”. Kemudian, berganti nama menjadi Nasyiatul Aisyiyah pada tahun 1931. Sumodirjo, seorang tokoh Muhammadiyah menjadi pencetus pertama pembentukan suatu perkumpulan yang seluruh anggotanya perempuan itu.

Dalam kurun waktu 97 tahun, Nasyiatul Aisyiyah telah beberapa kali berganti struktur kepemimpinan. Hingga sampai pada tahun ini, menginjak ke-XIII kalinya muktamar diadakan.

Pada Muktamar Nasyiatul Aisyiyah ke-XIII di Yogyakarta ini, dihadirkan beberapa tokoh-tokoh nasional. Seperti Drs. H.M. Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI) yang berkesempatan untuk membuka acara muktamar, Menteri Kesehatan RI, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Selain itu, turut hadir Komisi MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) RI, juga pengusaha berskala internasional.

Tidak ketinggalan, terdapat pula partisipasi dari Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Ketua Pimpinan Pusat Muhamadiyah, Dr. H. Haedar Nashier. Keduanya berkesempatan memberikan sambutan pada pembukaan Muktamar Nasyiatul Aisyiyah ke-XIII pada Kamis, (25/8/2016).

Sementara itu, untuk peserta muktamar, semuanya berasal dari Sabang sampai Merauke, yang jumlahnya mencapai 1.000 orang. (AKN)

Perkembangan Perpustakaan, Perkembangan Pola Pikir

 

            “Perpustakaan menjadi bagian penting dari perkembangan pola pikir perguruan tinggi, bukan sekadar pelengkap akreditasi perguruan tinggi,” kata Heri, yang merupakan Ketua Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (FPPTI DIY) periode 2016-2019 saat ditemui pada Kamis (25/08/2016) di kampus II unit B Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

Acara FPPTI yang bekerja sama dengan perpustakaan UAD ini mengangkat tema “Membangun Produk dan Kolaborasi Pustakawan dan Stakeholder dalam Perguruan Tinggi”. Selain seminar yang diikuti oleh pustakawan DIY, acara tersebut juga menjadi ajang pelantikan pengurus FPPTI periode 2016-2019.

“Tema itu sekaligus menjadi salah satu upaya untuk merekatkan antarpengurus baru dan yang lama, serta terus menjalin hubungan dengan perguruan tinggi,” tanbah Heri.

Sementara itu, menurut Drs. Ida Fadjar Priyanto, M.A., Ph.D. yang merupakan Dosen Pasca Sarjana ilmu Perpustakaan UGM, menjalin hubungan berarti menjaga komunikasi. Di Yogyakarta sangat diuntungkan karena jarak perguruan tinggi berdekatan, berbeda dengan di daerah lainnya, seperti Jakarta. Baginya, membangun hubungan sama dengan membangun kekuatan stewardship, discovery, dan preservasi.

“Kolaborasi bukan hal baru dilakukan untuk peningkatan hubungan, tetapi saat ini teknologi dan budaya telah berubah. Tentu saja kita juga harus mengubah cara kolaborasi. Perkembangan teknologi akan memudahkan kita untuk menjalin hubungan karena sekarang ada WhatsApp (WA), Facebook (FB), dan media sosial lainnya yang dapat mendekatkan yang jauh,” paparnya.

Kolaborasi dapat diartikan juga sebagai tempat berkumpul di publik untuk saling membagi ilmu.

“Di situ akan banyak hal yang didapatkan untuk mengembangkan diri dan organisasi. Dalam hal ini adalah perpustakaan. Tentu saja, itu akan membangun dan meningkatkan produk kolaborasi,” tuturnya kemudian.

Di lain pihak, menurut Tole Sutikno, Ph.D., perpustakaan tidak hanya jantung ilmu pengetahuan, tetapi roh pengetahuan. Itulah yang terjadi di Malaysia, negara tetangga yang menjadi tempatnya mencari ilmu bertahun-tahun.

Dosen UAD yang menyelesaikan S3-nya di Universiti Utara Malaysia itu mengaku, perpustakaan menjadi salah satu alasannya tinggal lebih lama di Malaysia.

“Karena perpustakaan di sana lengkap dan memanjakan. Itulah yang membuat saya menulis jurnal yang sudah diindek Skopus,” kata Tole.

TKA dan Bahasa Indonesia

Sudaryanto, M.Pd.

Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD;

Dosen BIPA di Guangxi University for Nationalities, China, 2013-2015

 

Beberapa waktu lalu, terbetik kabar tenaga kerja asing (TKA) membanjiri Indonesia. Kabar ini menarik dari perspektif pemertahanan bahasa Indonesia bagi TKA di Indonesia. Diberitakan, TKA yang akan bekerja di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat, salah satunya ialah bisa berbahasa Indonesia. Pertanyaannya kini, apakah pemerintah Indonesia telah konsisten melaksanakan syarat berbahasa Indonesia kepada TKA selama ini?

Sebetulnya, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam aturan tersebut, Pasal 33 ayat (1) menegaskan, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta. Perusahaan asing termasuk ke dalam lembaga swasta sebagaimana dimaksudkan dalam ayat tersebut.

Dengan begitu, perusahaan asing berikut para TKA-nya juga ikut berperan serta dalam upaya pemertahanan bahasa Indonesia. Para TKA akan berusaha belajar bahasa Indonesia dengan harapan mereka dapat berkomunikasi dengan orang Indonesia. Di samping itu, para TKA juga didorong untuk mempergunakan bahasa Indonesia yang menjadi ciri khas kebudayaan Indonesia, mengingat belajar bahasa Indonesia sekaligus belajar budaya Indonesia.

 

Pemertahanan Bahasa Indonesia

Pemertahanan bahasa Indonesia selain harus diwujudkan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia, juga harus didukung oleh perusahaan asing berikut para TKA-nya. Jika para TKA belum mampu berbahasa Indonesia, mereka wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia. Singkat kata, para TKA tetap diupayakan untuk bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Alih-alih demikian, justru yang terjadi sebaliknya. Seperti disinyalir Kridalaksana (1980), sebagian masyarakat kita lebih memilih menggunakan bahasa Inggris untuk melayani orang asing dan perusahaan asing, ketimbang bahasa Indonesia. Contohnya, di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, terdapat papan bertuliskan “Sugeng Rawuh”, “Selamat Datang”, dan “Welcome”. Seolah-olah Provinsi DIY adalah provinsi yang multibahasa (multilingual).

Kasus serupa juga terjadi di Stasiun Tugu, Yogyakarta, yang menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, dan Jawa dalam setiap pengumuman keberangkatan kereta. Padahal, merujuk UU Nomor 24 Tahun 2009, khususnya Pasal 38 ayat (1), bahasa Indonesialah yang wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum. Intinya, bahasa Indonesia itu wajib dijunjung tinggi oleh kita.

Salah satu sarana agar para TKA dapat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia ialah dengan belajar di lembaga-lembaga kursus bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Di Yogyakarta, tak sedikit lembaga kursus BIPA yang memberikan pelayanan profesional berupa pembelajaran BIPA yang inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Ada Wisma Bahasa, Puri Bahasa, Alam Bahasa, Cilacs UII, Inculs UGM, dan lain-lain.

Melalui lembaga-lembaga kursus BIPA tadi, diharapkan para TKA dapat memperoleh kemampuan berbahasa dan berbudaya Indonesia dengan baik. Secara tak langsung, para TKA juga ikut mengupayakan pemertahanan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia. Jika para TKA sudah terlibat dalam upaya pemertahanan bahasa Indonesia, bagaimana dengan kita selaku pemilik bahasa Indonesia itu sendiri? Tentu saja, kita pun harus terpanggil untuk hal tersebut.

Sebagai catatan penutup, saya sampaikan dua hal. Pertama, bisa berbahasa Indonesia bagi para TKA di Indonesia merupakan syarat mutlak yang tak bisa ditawar-tawar. Hal ini, hemat saya, bagian integral dari salah satu butir Trisakti Bung Karno yang diucapkan oleh Presiden Jokowi, yaitu berkepribadian dengan budaya Indonesia. Bahasa Indonesia bagian dari kebudayaan Indonesia yang khas sehingga perlu dijunjung tinggi oleh kita semua tanpa terkecuali.

Kedua, lembaga-lembaga kursus BIPA dapat memfasilitasi para TKA yang ingin memiliki kemampuan berbahasa dan berbudaya Indonesia dengan baik. Yang terpenting, para pengajar BIPA menanamkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia kepada para TKA. Hanya dengan sikap tersebutlah, saya yakin, bahasa Indonesia akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dengan begitu, upaya pemertahanan bahasa Indonesia dapat terwujud nyata, bukan mimpi belaka.[]

Menyoal Rencana Pembangunan Bandara Pesisir Selatan di Kulon Progo

 

Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si.

Ketua Clinic for Community Empowerment

Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

 

Persoalan mengenai penolakan terhadap pembangunan fasilitas publik, bukan hanya milik masyarakat kawasan pesisir di Kabupaten Kulon Progo. Di daerah lain pun tidak luput dari hal tersebut.

Melihat realitas itu, dapat dicermati lebih mendalam bahwa ada problem besar yang menjerat, sehingga tak sedikit masyarakat memberontak terhadap kebijakan pengembangan fasilitas publik. Meski fasilitas publik tersebut benar-benar memberi kemanfaatan bagi khalayak, berbagai komunitas masyarakat tak mau tahu. Pendirian mereka tetap kokoh, tidak setuju jika wilayahnya diganggu dengan beragam proyek.

 

Ketidakpercayaan Pemegang Otorita

Kondisi keengganan berbagai komunitas untuk mengorbankan daerahnya digunakan untuk fasilitas publik, seolah menunjukkan menipisnya rasa kepedulian terhadap kepentingan umum, rasa sosial, dan kesetiakawanan yang telah retak.

Di samping itu, yang menjadi pertanyaan kritis adalah, apakah berbagai komunitas masyarakat mengalami hal tersebut? Ternyata jawabannya belum tentu. Bisa jadi, rasa kepedulian terhadap kepentingan umum dan kesetiakawanan masih kental. Terbukti ketika ada peristiwa bencana yang menimpa, masyarakat antusias  membantu.

Akan tetapi, ketika bersinggungan dengan kebijakan yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan, yang terjadi adalah perlawanan dari komunitas masyarakat. Banyaknya perlawanan itu memicu sesuatu yang harus ditelusuri lebih mendalam, yakni adanya masalah pada pemegang otoritas kekuasaan itu sendiri.

 

Adanya Kognisi Sosial

Penyebab perlawanan dari berbagai komunitas terhadap rencana pembangunan fasilitas publik, cenderung karena ketidakpercayaan terhadap pemegang otoritas kekuasaan. Ketidakpercayaan ini tumbuh disebabkan oleh kognisi sosial yang tertanam, seperti pembangunan fasilitas publik tidak sertamerta bermanfaat dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Pembangunan fasilitas publik justru merusak kearifan lokal dan meminggirkan masyarakat setempat.

Lebih jauh dari itu, pembangunan fasilitas publik banyak yang dimanfaatkan kelompok berkepentingan tertentu sebagai proyek untuk mendulang pundi-pundi yang disimpan untuk kantong pribadi. Bukti menunjukkan para pemangku kebijakan, legislator, politisi, dan pengusaha, membangun jejaring untuk mengeruk keuntungan besar dari proyek fasilitas publik. Aroma ini ternyata tercium oleh lembaga pemberantas korupsi, sehingga tak sedikit para petinggi tersebut tertangkap KPK.

 

Kasus Pembangunan Bandara di Kulon Progo

Sama halnya belajar dari kasus rencana pembangunan bandara di Kulon Progo, problematika penolakan yang dilakukan oleh warga juga disebabkan ketidakpercayaan terhadap pemegang otorita. Menurut mereka, pembangunan bandara di Kulon Progo belum tentu menyejahterahkan masyarakat sekitar.

Bahkan, yang dikhawatirkan oleh warga adalah, dampak dari pembangunan bandara justru membuat warga akan kehilangan mata pencarian sebagai petani pesisir. Warga menggantungkan hidupnya dari lahan pasir. Sehingga, adanya bandara membuat mereka kehilangan lahan sebagai tempat satu-satunya menggantungkan hidup.

Secara kultural, seperti petani-petani lain di wilayah pesisir kabupaten Kulon Progo, mereka menjadikan lahan pesisir sebagai wadah untuk berekspresi. Sehingga, petani di pesisir Kulon Progo mengistilahkan lahan pasir sebagai ruang hidup. Warga telah berjuang amat keras mengubah lahan tandus menjadi subur, serta mengolah lahan dengan kreasi sendiri.

Hasilnya, kreasi tersebut sukses. Lahan pesisir yang dulunya tandus digarap menjadi subur. Hidup warga menjadi makmur karena berhasil menanam melon, semangka, cabe, bawah merah, dan  komoditas pertanian lainnya.

Kemapanan hidup sebagai petani itu terusik ketika warga mengetahui adanya rencana pembangunan bandara. Kecemasan yang berkembang di tengah warga tak akan bisa bertanam lagi di lahan pesisir. Warga akan kehilangan rezeki. Inilah yang menjadi salah satu alasan warga melakukan penolakan tersebut.

Memang, terlontar wacana bahwa pembangunan bandara akan melibatkan masyarakat sekitar bagi yang kehilangan lahan. Tentu wacana itu tak dipercaya warga. Alasannya adalah mengubah pola hidup tak semudah membalik tangan. Warga sudah terbiasa hidup sebagai petani dan memilih kehidupan itu karena sangat merdeka. Namun, tiba-tiba mereka akan dimasukkan dalam suatu sistem pekerjaan rutinitas kantoran. Tentu ini bukan gaya hidup yang bisa dijalani oleh mereka.

Dengan potret seperti itu, maka dapat dipahami bila warga melakukan perlawanan terhadap pembangunan bandara di Kulon Progo.

 

 

Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si.

 

Ketua Clinic for Community Empowerment

Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

 

Persoalan mengenai penolakan terhadap pembangunan fasilitas publik, bukan hanya milik masyarakat kawasan pesisir di Kabupaten Kulon Progo. Di daerah lain pun tidak luput dari hal tersebut.

Melihat realitas itu, dapat dicermati lebih mendalam bahwa ada problem besar yang menjerat, sehingga tak sedikit masyarakat memberontak terhadap kebijakan pengembangan fasilitas publik. Meski fasilitas publik tersebut benar-benar memberi kemanfaatan bagi khalayak, berbagai komunitas masyarakat tak mau tahu. Pendirian mereka tetap kokoh, tidak setuju jika wilayahnya diganggu dengan beragam proyek.

 

Ketidakpercayaan Pemegang Otorita

Kondisi keengganan berbagai komunitas untuk mengorbankan daerahnya digunakan untuk fasilitas publik, seolah menunjukkan menipisnya rasa kepedulian terhadap kepentingan umum, rasa sosial, dan kesetiakawanan yang telah retak.

Di samping itu, yang menjadi pertanyaan kritis adalah, apakah berbagai komunitas masyarakat mengalami hal tersebut? Ternyata jawabannya belum tentu. Bisa jadi, rasa kepedulian terhadap kepentingan umum dan kesetiakawanan masih kental. Terbukti ketika ada peristiwa bencana yang menimpa, masyarakat antusias  membantu.

Akan tetapi, ketika bersinggungan dengan kebijakan yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan, yang terjadi adalah perlawanan dari komunitas masyarakat. Banyaknya perlawanan itu memicu sesuatu yang harus ditelusuri lebih mendalam, yakni adanya masalah pada pemegang otoritas kekuasaan itu sendiri.

 

Adanya Kognisi Sosial

Penyebab perlawanan dari berbagai komunitas terhadap rencana pembangunan fasilitas publik, cenderung karena ketidakpercayaan terhadap pemegang otoritas kekuasaan. Ketidakpercayaan ini tumbuh disebabkan oleh kognisi sosial yang tertanam, seperti pembangunan fasilitas publik tidak sertamerta bermanfaat dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Pembangunan fasilitas publik justru merusak kearifan lokal dan meminggirkan masyarakat setempat.

Lebih jauh dari itu, pembangunan fasilitas publik banyak yang dimanfaatkan kelompok berkepentingan tertentu sebagai proyek untuk mendulang pundi-pundi yang disimpan untuk kantong pribadi. Bukti menunjukkan para pemangku kebijakan, legislator, politisi, dan pengusaha, membangun jejaring untuk mengeruk keuntungan besar dari proyek fasilitas publik. Aroma ini ternyata tercium oleh lembaga pemberantas korupsi, sehingga tak sedikit para petinggi tersebut tertangkap KPK.

 

Kasus Pembangunan Bandara di Kulon Progo

Sama halnya belajar dari kasus rencana pembangunan bandara di Kulon Progo, problematika penolakan yang dilakukan oleh warga juga disebabkan ketidakpercayaan terhadap pemegang otorita. Menurut mereka, pembangunan bandara di Kulon Progo belum tentu menyejahterahkan masyarakat sekitar.

Bahkan, yang dikhawatirkan oleh warga adalah, dampak dari pembangunan bandara justru membuat warga akan kehilangan mata pencarian sebagai petani pesisir. Warga menggantungkan hidupnya dari lahan pasir. Sehingga, adanya bandara membuat mereka kehilangan lahan sebagai tempat satu-satunya menggantungkan hidup.

Secara kultural, seperti petani-petani lain di wilayah pesisir kabupaten Kulon Progo, mereka menjadikan lahan pesisir sebagai wadah untuk berekspresi. Sehingga, petani di pesisir Kulon Progo mengistilahkan lahan pasir sebagai ruang hidup. Warga telah berjuang amat keras mengubah lahan tandus menjadi subur, serta mengolah lahan dengan kreasi sendiri.

Hasilnya, kreasi tersebut sukses. Lahan pesisir yang dulunya tandus digarap menjadi subur. Hidup warga menjadi makmur karena berhasil menanam melon, semangka, cabe, bawah merah, dan  komoditas pertanian lainnya.

Kemapanan hidup sebagai petani itu terusik ketika warga mengetahui adanya rencana pembangunan bandara. Kecemasan yang berkembang di tengah warga tak akan bisa bertanam lagi di lahan pesisir. Warga akan kehilangan rezeki. Inilah yang menjadi salah satu alasan warga melakukan penolakan tersebut.

Memang, terlontar wacana bahwa pembangunan bandara akan melibatkan masyarakat sekitar bagi yang kehilangan lahan. Tentu wacana itu tak dipercaya warga. Alasannya adalah mengubah pola hidup tak semudah membalik tangan. Warga sudah terbiasa hidup sebagai petani dan memilih kehidupan itu karena sangat merdeka. Namun, tiba-tiba mereka akan dimasukkan dalam suatu sistem pekerjaan rutinitas kantoran. Tentu ini bukan gaya hidup yang bisa dijalani oleh mereka.

Dengan potret seperti itu, maka dapat dipahami bila warga melakukan perlawanan terhadap pembangunan bandara di Kulon Progo.

 

Rektor UAD Himbau Mahasiswa Agar Memanfaatkan Kesempatan

Belajar, belajar, belajar. Kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, mumtaz (berprestasi/cum laude), serta iklas untuk mencari ibadah. Jadilah mahasiswa yang unggul.

“Manfaatkan dana-dana yang dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan pemerintah. Kuncinya yaitu harus sungguh-sungguh. Hanya dengan sungguh-sungguh kalian akan mencapai cita-cita. Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) nanti, yang diperlukan adalah sumber daya manusia (SDM) yang ungul. Karena itu, jadilah yang unggul,” pinta Dr. Kasiyarno, M.Hum. saat memberikan sambutan di hadapan calon mahasiswa jalur beasiswa di ruang sidang kampus I UAD, Senin (15/08/2016).

Tahun ini, UAD menerima 20 mahasiswa baru jalur Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (BIDIKMISI), 31 untuk jalur Beasiswa Program Misi Kader Muhammadiyah (BPM-KP), dan Beasiswa Program Misi Seni Olahraga (BPM-SSO) untuk 40 mahasiswa.

Kasiyarno juga menghimbau, “Buktikan bahwa Anda mahasiwa pilihan. Buktikan bahwa Anda mempunyai prestasi, gunakan kesempatan ini dengan sungguh-sungguh. Buktikan bahwa Anda tidak sia-sia datang dari jauh.”

Menurut Rektor UAD sekaligus Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Wilaya V Yogyakarta tersebut, pendidikan sangatlah penting. Hanya dengan pendidikan yang baik dan bagus maka negara akan berkembang. Bangsa Indonesia sangat kaya dan berpotensi untuk besar karena kekayaan alamnya. Namun di samping itu, tentu dibutuhkan SDM yang berpendidikan untuk mengolahnya.

Selama ini, UAD dikenal sebagai kampus yang mempunyai tradisi prestasi. Harapan untuk para mahasiswa peraih beasiswa adalah, mereka dapat berkembang dan berprestasi melalui UAD.

“Jika ingin berkembang, maka pilihan Anda ke UAD sangat tepat!” ucapnya.

 

Wisudawan UAD Terbaik Kedua Verti: Pola Pengajaran yang Nyaman Menjadi Faktor Utama Penunjang Keberhasilan

Pola pendidikan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta yang nyaman menjadi penentu kesuksesan mahasiswa. Itulah yang diucapkan oleh wisudawan Prodi Ilmu Hukum, Verti Tri Wahyuni, yang berhasil menyandang wisudawan UAD terbaik kedua pada periode Agustus 2016.  

Kepada Humas UAD, Verti bercerita, awalnya ia menjalani kuliah di UAD dengan biasa saja, tanpa berkeinginan sedikit pun menjadi mahasiswa yang perhatian dengan nilai atau kegiatan kemahasiswaan. Bahkan ia sempat berniat akan keluar dari UAD karena merasa program studi yang diambil tidak sesuai dengan cita-citanya.

Namun setelah semester kedua terlewati, ia merasa mulai nyaman menjalani perkuliahan. Ia memutuskan untuk sementara menunda niatnya untuk keluar atau pindah program studi. Pada semester selanjutnya, ia mulai merasa kerasan dan menyadari bahwa perkuliahan yang dulunya tidak disukai berubah menjadi menyenangkan. Hal pertama yang dirasakan ialah, pola pembelajaran yang diterapkan membuat ia maksimal mendalami ilmu hukum. Ia mampu mempertahankan IPK-nya di angka sempurna, yakni 4,0.

Ternyata, UAD mengubah keraguannya dalam mempelajari Ilmu Hukum. Ia mampu menjalaninya, hingga membuang jauh-jauh niat awal untuk keluar dari program studi tersebut.

“Dalam mengajar, dosen berperan seperti sahabat, tidak kaku dengan legitimasi dosen dan mahasiswa,” katanya.

Lanjut Verti, IPK sempurna dapat ia raih sampai semester 5. Setelah itu, ia masih mendapat IPK maksimal di atas 3,9.

“Selain menghadirkan pendidikan yang nyaman, UAD juga telah mengakomodir prestasi mahasiswanya. Alhamdulillah, saya mendapat beasiswa kategori mahasiswa berprestasi selama empat semester,” ucap Verti.

Selama ini, Verti tercatat mengikuti berbagai kegiatan di luar kelas, yang secara tidak langsung turut mendukung prestasi akademiknya. Salah satunya, ia aktif di komunitas “Peradilan Semu”. Selain itu, ia juga mengikuti kegiatan yang menunjang hobinya di salah satu komunitas sepatu roda.

Ia mengaku bangga sekaligus haru atas pencapaian yang telah didapatkannya di perkulihan. Sebab, ia dapat membuktikan kepada kedua orang tua yang telah bersusah payah mendidik dan membiayainya dalam belajar, serta dukungan doa yang mereka berikan. Selain itu, semangat dari kakak dan adiknya turut memberikan energi untuk Verti.

“Prestasi yang saya raih ini merupakan pembuktian sekaligus persembahan tanda terima kasih saya pada UAD, sebagai universitas yang telah menjadi jembatan bagi saya dalam belajar,” ungkapnya.

Ia berpesan kepada para adik tingkat yang masih menjalani kuliah agar jangan mudah menyerah. Pergunakan waktu sebaik mungkin agar tidak rugi. Menurutnya, dalam meraih prestasi tidak melulu terus-menerus harus tegang, tetap diselingi hiburan.

“Namun, porsi hiburannya jangan sampai melebihi intensitas belajar,” tutup mahasiswa dengan IPK 3,95 ini. (H)  

 

Wisudawan Terbaik UAD Tembus IPK 3,97

Dewi Maryam, mahasiswa Prodi Sastra Inggris ini tercatat menjadi wisudawan terbaik Universitas Ahmad Dahlan (UAD) periode Agustus 2016. Maryam yang saat ini terhitung berumur 21 tahun, berhasil lulus dengan predikat sangat memuaskan, yakni memiliki IPK 3,97.

Maryam terpilih menjadi wisudawan terbaik UAD, tidak hanya karena memiliki nilai akademik yang fantastis, tetapi juga peran aktifnya di luar kelas. Di antaranya, ia aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FSBK dengan menjadi ketua divisi keilmuan dan advokasi serta menjadi bendahara DECO (Debating Community). Ia juga berpartisipasi menjadi bagian dr IBuddies Program di kantor urusan internasional (Office of International Affairs) UAD pada  2015-2016. Selain itu, ia menjadi Student Employment PMB 2015 di bawah naungan BAA (Biro Akademik dan Administrasi)  UAD, serta mengikuti pengabdian masyarakat dalam bentuk mengajar di Giwangan, yang merupakan kerja sama program studi dan masyarakat.

Prestasi Maryam dimulai sejak tahun pertama masuk kuliah pada 2012, yakni The Winner ADIFED (Ahmad Dahlan Interfaculty English Debate). Selanjutnya pada 2013, ia kembali menjadi The Winner ADIFED sekaligus The Best Speaker of ADIFED. Pada 2014, ia berpartisipasi dalam kompetisi IVED (Indonesian Varsities English Debate) tingkat nasional di Salatiga UKSW, berpartisipasi dalam kompetisi ALSA UNPAD (English Debating Championship) tingkat nasional, dan meraih juara II kategori putri DUTA UAD yang diselenggarakan oleh BEM-U. Bahkan di luar itu, ia masih menyempatkan bekerja sampingan dengan mengajar selama kurang lebih 1,8 tahun.  

Maryam terlahir dari pasangan Bapak Mulyanto dan Ibu Tumikem, yang memiliki usaha toko fotokopi, konter cellular, alat tulis, bahkan usaha angkutan. Namun keadaan tersebut tidak membuatnya tumbuh menjadi anak yang manja. Ia memilih tumbuh menjadi anak yang berkomitmen penuh pada masa depan lewat pendidikannya.

Meskipun mendapat predikat wisudawan terbaik UAD, Maryam tidak lekas menjadi jemawa dan lupa diri. Menurutnya, siapa pun dapat menjadi lulusan terbaik, asalkan mau bekerja keras dan berkomitmen menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa dengan maksimal.

Berdasarkan pengalamannya, segala sesuatu yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang tidak mengecewakan. Artinya, hasil akan berbanding lurus dengan usaha yang dilakukan.

“Karena saya tidak mau mengulang hal yang sama, misalnya mengulang mata kuliah akibat nilai yang tidak maksimal, maka saya selalu melakukan yang terbaik. Dan alhamdulillah, ketika saya paham dengan konsentrasi di bidang studi saya, nilai pasti akan mengikutinya. Jadi, tidak terpaku pada nilai saja,” kata Maryam kepada Humas UAD.

Dikatakan, kunci sukses yang ia raih ialah dengan manajemen waktu yang tepat dan disiplin. Sebab tanpa hal tersebut, semua kegiatan tidak akan mendukung prestasi. Yang ada, justru menjadi bumerang. Selain itu, kesehatan juga harus diutamakan. (H)

Inilah Syarat Permohonan Menggunakan Tenaga Kerja Asing Disetujui sekaligus Kejangalannya

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014, syarat untuk mendatangkan satu tenaga kerja asing tidaklah mudah. Perusahaan sponsor wajib merekrut tenaga kerja lokal sebagai pendamping. Pendampingan ini dimaksudkan agar ada transfer teknologi dan pengetahuan untuk tenaga lokal. Oleh karena itu, terdapat rasio tenaga lokal versus tenaga kerja asing yang wajib dipenuhi, yaitu “setiap satu tenaga kerja asing diimbangi dengan sepuluh tenaga lokal”.

Perusahaan yang akan mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia juga wajib memenuhi puluhan dokumen. Dokumen tersebut diperlukan untuk lolos dari setiap tahap guna memperoleh Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA). Setiap tahap diproses pada bagian berbeda di Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kementerian Tenaga Kerja serta Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.

“Yang jadi masalah, calo dan makelar merajalela di kantor pemerintah yang menjadi tempat memproses izin-izin tersebut. Mereka sigap menawarkan jasa lengkap dengan tarifnya,” kata Ani Muttaqiyathun, S.E., M.Si. selaku Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta saat mengisi acara di Radio Sonora Jogjakarta, Kamis (18/08/2016).

Merujuk pada hasil investigasi majalah Tempo (laporan utama majalah Tempo edisi 31 Agustus 2015), seorang calo bercerita tentang cara pejabat Kementerian Ketenagakerjaan yang jarang mengecek keabsahan setiap dokumen biodata tenaga pendamping buruh asing. Kalaupun ada pengecekan, kadang para calo mengaku sebagai tenaga pendamping.

Ada juga calo yang menceritakan pengalamannya memasukkan dua koki masakan tradisional Tiongkok yang hanya tamatan setara Sekolah Dasar. Untuk meloloskan mereka, calo menyogok pejabat di bagian pelayanan perizinan yang tersebar di Binapenta dan Dirjen Imigrasi, dalam setiap tahapan proses dengan tarif bervariasi untuk setiap buruh asing.

“Selain memudahkan, praktik suap juga mempersingkat waktu pengurusan izin. Bila menggunakan jalur resmi, maka memakan waktu sekitar tujuh pekan hingga tiga bulan untuk mendapatkan IMTA. Namun, jika melalui calo, proses menjadi lebih singkat menjadi tiga pekan sampai satu bulan,” terang Ani.

Berdasarkan penelusuran majalah Tempo, buruh dari Tiongkok ini banyak mengerjakan pekerjaan kasar yang seharusnya bisa dikerjakan buruh lokal. Mereka dapat ditemukan di  berbagai tempat, di antaranya; Pembangunan PLTU Celukan Bawang di Buleleng, Bali; Pembangunan di Bayah, Lebak Banten; serta Pembangunan Smelter Bauksit oleh PT Well Harvest Winning Alumina Refinery di Kendawangan Ketapang Kalimantan Barat. (dok)

Membaca Tenaga Kerja Asing di Indonesia

 

“Dengan adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), dari sisi ketenagakerjaan, selain menciptakan ancaman, juga membuka peluang usaha dan peluang pekerjaan. Karenanya, penting bagi pemerintah dan semua pihak untuk menyiapkan program-program jangka pendek guna meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia,” kata Ani Muttaqiyathun, S.E.,M.Si. selaku Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta saat mengisi acara di Radio Sonora Jogjakarta, Kamis (18/08/2016).

Hal ini, lanjut Ani, dapat difokuskan pada kebijakan penguatan sumber daya manusia pada sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan bukan hanya persiapan sebagai buruh di usaha skala besar. Melalui program penciptaan entrepreneurship di sektor UMKM, Indonesia akan tetap menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Jumlah wirausahawan nasional baru sekitar 0,18 persen dari total jumlah penduduk. Sementara untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, Indonesia memerlukan jumlah pengusaha lebih dari 2 persen atau sekitar 4 juta orang.

Awal tahun ini, banyak media mengabarkan bahwa ada ribuan Tenaga Kerja Asing (TKA) masuk ke Indonesia. Hal ini dibenarkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Namun, ia berdalih bahwa jumlah mereka ini kurang dari 0,1 persen dari jumlah total buruh total Indonesia (dengan angkatan kerja sekitar 129 juta). Rata-rata per tahun angkanya berkisar sekitar 70 ribu orang. Jenis jabatan para TKA pada umumnya adalah profesional, direksi, manajer, advisor/konsultan, komisaris, teknisi ahli, dan supervisor ahli.

Dalam Permenakertrans No. 12 tahun 2013 disebutkan antara lain; pemberi kerja bagi TKA harus perusahaan yang berbadan hukum; jenis pekerjaan yang diperkenankan hanya ada empat jenis pekerjaan sementara, yaitu pemasangan mesin, elektrikal, layanan purna jual, dan produk dalam masa penjajakan usaha; serta TKA harus bisa menunjukkan sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman di bidang tersebut minimal lima tahun.

Berdasarkan MRA (Mutual Recognition Arrangement) yang sudah dilakukan negara-negara ASEAN, profesi yang disepakati hanya 8 profesi saja. Jabatannya juga spesifik dan tidak umum, serta hanya diperbolehkan bagi pekerja asing terdidik yang mempunyai ketrampilan (skill) khusus dan profesional. Adapun 8 profesi profesional itu adalah insinyur, perawat, arsitek, tenaga survei, akuntan, praktisi medis, dokter gigi, dan tenaga pariwisata.

TKA yang bisa masuk ke Indonesia dalam kerangka MEA, juga bukan TKA sembarang. Mereka harus tetap mengikuti peraturan ketenagakerjaan. Ini terkait soal MRA, sehingga ada pemahaman sama tentang kompetensi.

“Intinya, seseorang yang dianggap memiliki skill di negara kita, maka juga dianggap sama atau setara di negara lain,” pungkasnya. (dok)