Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si.
Ketua Clinic for Community Empowerment
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Persoalan mengenai penolakan terhadap pembangunan fasilitas publik, bukan hanya milik masyarakat kawasan pesisir di Kabupaten Kulon Progo. Di daerah lain pun tidak luput dari hal tersebut.
Melihat realitas itu, dapat dicermati lebih mendalam bahwa ada problem besar yang menjerat, sehingga tak sedikit masyarakat memberontak terhadap kebijakan pengembangan fasilitas publik. Meski fasilitas publik tersebut benar-benar memberi kemanfaatan bagi khalayak, berbagai komunitas masyarakat tak mau tahu. Pendirian mereka tetap kokoh, tidak setuju jika wilayahnya diganggu dengan beragam proyek.
Ketidakpercayaan Pemegang Otorita
Kondisi keengganan berbagai komunitas untuk mengorbankan daerahnya digunakan untuk fasilitas publik, seolah menunjukkan menipisnya rasa kepedulian terhadap kepentingan umum, rasa sosial, dan kesetiakawanan yang telah retak.
Di samping itu, yang menjadi pertanyaan kritis adalah, apakah berbagai komunitas masyarakat mengalami hal tersebut? Ternyata jawabannya belum tentu. Bisa jadi, rasa kepedulian terhadap kepentingan umum dan kesetiakawanan masih kental. Terbukti ketika ada peristiwa bencana yang menimpa, masyarakat antusias membantu.
Akan tetapi, ketika bersinggungan dengan kebijakan yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan, yang terjadi adalah perlawanan dari komunitas masyarakat. Banyaknya perlawanan itu memicu sesuatu yang harus ditelusuri lebih mendalam, yakni adanya masalah pada pemegang otoritas kekuasaan itu sendiri.
Adanya Kognisi Sosial
Penyebab perlawanan dari berbagai komunitas terhadap rencana pembangunan fasilitas publik, cenderung karena ketidakpercayaan terhadap pemegang otoritas kekuasaan. Ketidakpercayaan ini tumbuh disebabkan oleh kognisi sosial yang tertanam, seperti pembangunan fasilitas publik tidak sertamerta bermanfaat dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Pembangunan fasilitas publik justru merusak kearifan lokal dan meminggirkan masyarakat setempat.
Lebih jauh dari itu, pembangunan fasilitas publik banyak yang dimanfaatkan kelompok berkepentingan tertentu sebagai proyek untuk mendulang pundi-pundi yang disimpan untuk kantong pribadi. Bukti menunjukkan para pemangku kebijakan, legislator, politisi, dan pengusaha, membangun jejaring untuk mengeruk keuntungan besar dari proyek fasilitas publik. Aroma ini ternyata tercium oleh lembaga pemberantas korupsi, sehingga tak sedikit para petinggi tersebut tertangkap KPK.
Kasus Pembangunan Bandara di Kulon Progo
Sama halnya belajar dari kasus rencana pembangunan bandara di Kulon Progo, problematika penolakan yang dilakukan oleh warga juga disebabkan ketidakpercayaan terhadap pemegang otorita. Menurut mereka, pembangunan bandara di Kulon Progo belum tentu menyejahterahkan masyarakat sekitar.
Bahkan, yang dikhawatirkan oleh warga adalah, dampak dari pembangunan bandara justru membuat warga akan kehilangan mata pencarian sebagai petani pesisir. Warga menggantungkan hidupnya dari lahan pasir. Sehingga, adanya bandara membuat mereka kehilangan lahan sebagai tempat satu-satunya menggantungkan hidup.
Secara kultural, seperti petani-petani lain di wilayah pesisir kabupaten Kulon Progo, mereka menjadikan lahan pesisir sebagai wadah untuk berekspresi. Sehingga, petani di pesisir Kulon Progo mengistilahkan lahan pasir sebagai ruang hidup. Warga telah berjuang amat keras mengubah lahan tandus menjadi subur, serta mengolah lahan dengan kreasi sendiri.
Hasilnya, kreasi tersebut sukses. Lahan pesisir yang dulunya tandus digarap menjadi subur. Hidup warga menjadi makmur karena berhasil menanam melon, semangka, cabe, bawah merah, dan komoditas pertanian lainnya.
Kemapanan hidup sebagai petani itu terusik ketika warga mengetahui adanya rencana pembangunan bandara. Kecemasan yang berkembang di tengah warga tak akan bisa bertanam lagi di lahan pesisir. Warga akan kehilangan rezeki. Inilah yang menjadi salah satu alasan warga melakukan penolakan tersebut.
Memang, terlontar wacana bahwa pembangunan bandara akan melibatkan masyarakat sekitar bagi yang kehilangan lahan. Tentu wacana itu tak dipercaya warga. Alasannya adalah mengubah pola hidup tak semudah membalik tangan. Warga sudah terbiasa hidup sebagai petani dan memilih kehidupan itu karena sangat merdeka. Namun, tiba-tiba mereka akan dimasukkan dalam suatu sistem pekerjaan rutinitas kantoran. Tentu ini bukan gaya hidup yang bisa dijalani oleh mereka.
Dengan potret seperti itu, maka dapat dipahami bila warga melakukan perlawanan terhadap pembangunan bandara di Kulon Progo.
Dr. Hadi Suyono, S.Psi., M.Si.
Ketua Clinic for Community Empowerment
Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Persoalan mengenai penolakan terhadap pembangunan fasilitas publik, bukan hanya milik masyarakat kawasan pesisir di Kabupaten Kulon Progo. Di daerah lain pun tidak luput dari hal tersebut.
Melihat realitas itu, dapat dicermati lebih mendalam bahwa ada problem besar yang menjerat, sehingga tak sedikit masyarakat memberontak terhadap kebijakan pengembangan fasilitas publik. Meski fasilitas publik tersebut benar-benar memberi kemanfaatan bagi khalayak, berbagai komunitas masyarakat tak mau tahu. Pendirian mereka tetap kokoh, tidak setuju jika wilayahnya diganggu dengan beragam proyek.
Ketidakpercayaan Pemegang Otorita
Kondisi keengganan berbagai komunitas untuk mengorbankan daerahnya digunakan untuk fasilitas publik, seolah menunjukkan menipisnya rasa kepedulian terhadap kepentingan umum, rasa sosial, dan kesetiakawanan yang telah retak.
Di samping itu, yang menjadi pertanyaan kritis adalah, apakah berbagai komunitas masyarakat mengalami hal tersebut? Ternyata jawabannya belum tentu. Bisa jadi, rasa kepedulian terhadap kepentingan umum dan kesetiakawanan masih kental. Terbukti ketika ada peristiwa bencana yang menimpa, masyarakat antusias membantu.
Akan tetapi, ketika bersinggungan dengan kebijakan yang berasal dari pemegang otoritas kekuasaan, yang terjadi adalah perlawanan dari komunitas masyarakat. Banyaknya perlawanan itu memicu sesuatu yang harus ditelusuri lebih mendalam, yakni adanya masalah pada pemegang otoritas kekuasaan itu sendiri.
Adanya Kognisi Sosial
Penyebab perlawanan dari berbagai komunitas terhadap rencana pembangunan fasilitas publik, cenderung karena ketidakpercayaan terhadap pemegang otoritas kekuasaan. Ketidakpercayaan ini tumbuh disebabkan oleh kognisi sosial yang tertanam, seperti pembangunan fasilitas publik tidak sertamerta bermanfaat dan menyejahterakan masyarakat sekitar. Pembangunan fasilitas publik justru merusak kearifan lokal dan meminggirkan masyarakat setempat.
Lebih jauh dari itu, pembangunan fasilitas publik banyak yang dimanfaatkan kelompok berkepentingan tertentu sebagai proyek untuk mendulang pundi-pundi yang disimpan untuk kantong pribadi. Bukti menunjukkan para pemangku kebijakan, legislator, politisi, dan pengusaha, membangun jejaring untuk mengeruk keuntungan besar dari proyek fasilitas publik. Aroma ini ternyata tercium oleh lembaga pemberantas korupsi, sehingga tak sedikit para petinggi tersebut tertangkap KPK.
Kasus Pembangunan Bandara di Kulon Progo
Sama halnya belajar dari kasus rencana pembangunan bandara di Kulon Progo, problematika penolakan yang dilakukan oleh warga juga disebabkan ketidakpercayaan terhadap pemegang otorita. Menurut mereka, pembangunan bandara di Kulon Progo belum tentu menyejahterahkan masyarakat sekitar.
Bahkan, yang dikhawatirkan oleh warga adalah, dampak dari pembangunan bandara justru membuat warga akan kehilangan mata pencarian sebagai petani pesisir. Warga menggantungkan hidupnya dari lahan pasir. Sehingga, adanya bandara membuat mereka kehilangan lahan sebagai tempat satu-satunya menggantungkan hidup.
Secara kultural, seperti petani-petani lain di wilayah pesisir kabupaten Kulon Progo, mereka menjadikan lahan pesisir sebagai wadah untuk berekspresi. Sehingga, petani di pesisir Kulon Progo mengistilahkan lahan pasir sebagai ruang hidup. Warga telah berjuang amat keras mengubah lahan tandus menjadi subur, serta mengolah lahan dengan kreasi sendiri.
Hasilnya, kreasi tersebut sukses. Lahan pesisir yang dulunya tandus digarap menjadi subur. Hidup warga menjadi makmur karena berhasil menanam melon, semangka, cabe, bawah merah, dan komoditas pertanian lainnya.
Kemapanan hidup sebagai petani itu terusik ketika warga mengetahui adanya rencana pembangunan bandara. Kecemasan yang berkembang di tengah warga tak akan bisa bertanam lagi di lahan pesisir. Warga akan kehilangan rezeki. Inilah yang menjadi salah satu alasan warga melakukan penolakan tersebut.
Memang, terlontar wacana bahwa pembangunan bandara akan melibatkan masyarakat sekitar bagi yang kehilangan lahan. Tentu wacana itu tak dipercaya warga. Alasannya adalah mengubah pola hidup tak semudah membalik tangan. Warga sudah terbiasa hidup sebagai petani dan memilih kehidupan itu karena sangat merdeka. Namun, tiba-tiba mereka akan dimasukkan dalam suatu sistem pekerjaan rutinitas kantoran. Tentu ini bukan gaya hidup yang bisa dijalani oleh mereka.
Dengan potret seperti itu, maka dapat dipahami bila warga melakukan perlawanan terhadap pembangunan bandara di Kulon Progo.