Kebijakan Resufle Menteri Pendidikan dan Harapan ke Depan

Kondisi dan situasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ditengarai dengan isu politik, memberi dampak untuk penataan. Munculnya resufle kabinet, tidak luput juga dalam dunia pendidikan.

Menurut H. Muhammad Joko Susilo, M.Pd., opini yang berkembang di masyrakat menyebutkan bahwa “sekolah” hanya sebagai kelinci percobaan. Pendidikan tidak semakin maju, tetapi menjadi objek kebijakan.

“Tapi juga mucul opini positif yang penuh harapan. Untuk perbaikan pendidikan, khususnya dalam jalur formal,” ucapnya dalam acara talkshow pakar Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan tema “Reshuffle Menteri Pendidikan” di radio JIz 89,5 fm Jum’at (12/8/2016).

Melihat kembali UU Sisdiknas No 20 Tahun 2005, Bab I Pasal 1, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha, sadar, dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Menurut Joko Susilo, yang harus dibangun dalam pendidikan adalah suasana belajar, proses pembelajaran.

Suasana belajar menciptakan kondisi/situasi lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat) harus benar-benar kondusif untuk proses belajar, yakni proses tumbuh kembang anak. Sedangkan proses pembelajaran terkait dengan pelaku/pelaksana, sarana, dan prasarana yang mendukung kelancaran dari proses tersebut.

“Semuanya harus diresapi dan benar-benar dipikirkan mendalam untuk membuat kebijakan-kebijakan yang jitu dalam mengatasi persoalan dunia pendidikan. Adanya pergantian menteri semestinya disikapi positif, bukan frontal,” terang Kaprodi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UAD tersebut.

Dosen yang juga menjadi Konsultan Pengembangan Sekolah itu menambahkan, munculnya ide baru yang kemudian menjadi kebijakan bukan bermaksud untuk mengacaukan, juga bukan tanpa pertimbangan skala prioritas. Namun, tetap harus kita lihat secara cermat dan hati-hati, agar tidak ada yang memanfaatkan sehingga memperkeruh suasana.

Baginya, resufle kabinet bukanlah momok yang menyeramkan, tetapi memuat harapan-harapan perubahan kearah perbaikan. Dan itu adalah bagian dari ikhtiar dalam ranah manusia untuk senantiasa memperbaiki diri, memperbaiki tatanan kehidupan, serta menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini. (dok)

The Policy to Replace Minister of Education Post and Its Future

The condition and situation of The United State of Republic of Indonesia (NKRI), which is marked by political issues, result in replacement of some ministers or cabinet reshuffle including the replacement of minister of education.

According to H. Muhammad Joko Susilo, M.Pd. there has been issues in society that ‘school’ has become guinea pig. Education is not developed but an object of minister’s policy. Amidst the fact, there is also a hope that formal education is still promising said him in a talk show of UAD’s educational experts with the topic Reshuffle of Minister of Education on Jlz 89,5 Radio FM last Friday (12/08/2016).

Considering the educational law no 20 Year 2005, chapter I article 1 which says that education is intentionally planned effort to create learning atmosphere and the process of instruction to develop the learners’ potentials actively in mastering spiritual and religious capacity, good morals and necessary skills for themselves, their society, nation, and state.

 

According to Joko Susilo, we have to create learning atmospheres, and good instructions. Learning atmospheres can be achieved through good environments (family, school, society)

Menurut Joko Susilo, yang harus dibangun dalam pendidikan adalah suasana belajar, proses pembelajaran, which make it possible for the learners to develop their self-esteem. While the good instruction is related to the teachers, school equipment for the process.

‘Everything should be considered and carefully planned to produce effective educational policy to solve the problem. The change of educational post should be considered positively,’ said the head of Biology Education of Faculty of Teachers’ Training and Education University of Ahmad Dahlan (UAD).

The lecturer, who is also a consultant of school development, added that new ideas are not meant to present problems neither to consider priority scale only but they should be seen carefully from different aspects.

For him cabinet reshuffle is not a problem but it presents hopes for betterment. And it is a part of human effort to improve himself, his social life, and carry out his task as khalifah  or representation of Allah on the earth.(Dok)

 

Lack of Implementation of the Community Empowerment Concept

 

The result of 3R (reduce, reuse, recycle) program in Yogyakarta showed that community empowerment in waste management had not imposed the principles of public health. It could be seen from several factors, including a program launched by the Environment Agency of Yogyakarta that only the technical waste management.

“The launched program had had public health insight because there is no attention to that insight” said  Surahma Asti Mulasari, the lecturer of Ahmad Dahlan University (UAD) who took apart in the research of Yogyakarta waste emergency.

Based on her opinion, lack of realization of public health based waste management in Yogyakarta was caused by minimum inter-sectoral coordination system, lack of disease documentation caused by household waste management, lack of idea about public health based waste management, there is no urgent things that urges the policy of public health based waste management.

“Some concepts offered to overcome the weaknesses of the 3R program that already exist in the society today are the use of personal protective equipment (APD), hygienic and healthy behavior by washing hands before and after processing waste, placing composting tub (or garbage sorter tool) in the right place at outdoor and far from children and animals”. She said.

Furthermore, the lecturer of public health faculty said that if the concepts of public health were not immediately implemented, it will be dangerous and risky for communities empowered in the 3R program. The dangers that may arise were convenience disruption in the neighborhood, infectious diseases due to garbage (dengue, respiratory infections, diarrhea, intestinal worms, eye, and skin irritation), declining productivity due to illness, and cost to cope with environmental pollution. Estimated cost for the environmental costs of waste reaches Rp3.000.014,00 per family.

 

Recommendation for waste management in Yogyakarta

The recommendations given to the government as the holder of the waste management policy in Yogyakarta were the optimization of all relevant agencies that have a waste management program, cross-sectoral cooperation, and support policies to accommodate urban waste management.

Meanwhile, a recommendation for the people in Yogyakarta was starting the program of 3R in each neighborhood. It was not merely for economic improvement, but more emphasis on the concept of environmental preservation. For starters, do the simple waste management. We should pay attention to the protection of family health and the environment while managing waste in the neighborhood by the using personal protective equipment (APD), doing hygienic and healthy behavior by washing hands before and after processing waste, placing composting tub (or garbage sorter tool) in the right place at outdoor and far from children and animals. (dok)

 

Konsep Pemberdayaan Masyarakat untuk Pengelola Sampah Belum Maksimal

 

Hasil evaluasi dari program 3R (reduce, reuse, recycle) di kota Yogyakarta menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah belum memberlakukan prinsip kesehatan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor, di antaranya program yang diluncurkan oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta yang baru sebatas teknis pengelolaan sampah.

“Program yang diluncurkan belum berwawasan kesehatan masyarakat karena selama ini memang belum ada perhatian ke arah sana,” kata Surahma Asti Mulasari, Dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang turut andil dalam penelitian Darurat Sampah Kota Yogyakarta.

Menurutnya, faktor-faktor penyebab belum diterapkannya pengelolaan sampah berwawasan kesehatan masyarakat untuk masyarakat kota Yogyakarta karena belum ada sistem koordinasi lintas sektoral, belum ada kejadian yang terdokumentasi tentang penyakit akibat mengelola sampah di rumah tangga, belum adanya usulan ide tentang pengelolaan sampah berwawasan kesehatan masyarakat, dan belum adanya hal mendesak munculnya kebijakan pengelolaan sampah berwawasan kesehatan masyarakat.

“Konsep yang ditawarkan untuk mengatasi kekurangan program 3R yang telah ada di masyarakat saat ini adalah dengan penggunaan alat pelindung diri (APD), perilaku hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah mengolah sampah, serta peletakan bak pengomposan (dan atau alat pemilah sampah) yang tepat, yaitu di luar rumah, jauh dari jangkauan anak-anak dan hewan,” terangnya.

Lebih lanjut, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) itu menjelaskan, apabila konsep kesehatan masyarakat tidak segera diterapkan maka akan berbahaya dan berisiko mengancam masyarakat yang diberdayakan dalam program 3R. Di antaranya ganguan kenyamanan lingkungan tempat tinggal, penyakit menular akibat sampah (DBD, ISPA, diare, cacingan, mata, dan iritasi kulit), penurunan produktivitas karena sakit, serta biaya untuk mengatasi pencemaran lingkungan. Perkiraan kerugian lingkungan akibat sampah mencapai Rp3.000.014,00 per keluarga.

 

Rekomendasi Pengelolaan Sampah Kota Yogyakarta

Rekomendasi yang diberikan kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan pengelolaan sampah di kota Yogyakarta adalah optimalisasi seluruh instansi terkait yang memiliki program pengelolaan sampah, kerja sama lintas sektoral, dan dukungan kebijakan untuk mengakomodasi pengelolaan sampah terpadu perkotaan.

Sementara itu, rekomendasi bagi masyarakat kota Yogyakarta adalah memulai program 3R di lingkungan masing-masing. Hal itu tidak semata untuk keuntungan ekonomi, tetapi lebih menekankan kepada konsep pelestarian lingkungan. Lakukan dari yang paling mudah dilakukan, tidak perlu melakukan pengelolaan sampah dengan ideal untuk permulaan. Perhatikan perlindungan terhadap kesehatan keluarga dan lingkungan saat mengelola sampah di lingkungan rumah, yaitu dengan penggunaan alat pelindung diri (APD), perilaku hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah mengolah sampah, dan letak peletakan bak pengomposan (dan atau alat pemilah sampah) yang tepat, yaitu di luar rumah, jauh dari jangkauan anak-anak dan hewan. (dok)

 

Psychology Study of Pokémon Go

By: Muhammad Hidayat, S.Psi., M.Psi., Psikolog.

Clinic for Community Empowerment (CCE) Psychology Faculty of UAD

 

Since the game of Pokémon Go was released, it had become the trending topic in all levels of society starting from children, teenager and adult. They discussed about Pokémon Go. Some sources said that the downloaders number of the software application for this game reached more than ten millions. Took for example in America, there were more than seven millions of people downloaded this application. This kind of phenomenon was also happened in Indonesia some days ago.

Many people competed to post information about Pokémon Go through social media. Some of them shared negative news like traffic jam caused by Pokémon Go, how people plunged into a river, and accident. Because of these, some policy makers in certain institutions called on people not to play the game of Pokémon Go. Some TV stations also invited some interdisciplinary experts to discuss about the effects of Pokémon Go in their programs.

Rutledge (2016) said that the main factor of the success of the game was the combination between real and virtual world. Pokémon Go combined the experience of playing game with the real physical activity and encouraged people to interact with others. Furthermore, Pokémon Go was also occupied with some elements that were close to the real human behavior involving needs of interaction with others, need of exploring the environment, need of being capable and skillful.

From that phenomenon, there were many opinions coming up in relation to the negative and positive effects of Pokémon Go.  This phenomenon also encouraged the team of Clinic for Community Empowerment, Psychology Faculty of Ahmad Dahlan University (UAD) to have responsive action by doing mini research of psychological study of Pokémon Go game. This responsive action had been carried out from July to early August 2016. The result of this action was the comparison between positive and negative effects of Pokémon Go game, the result was in the following table.

 

 

Table of positive and negative effects of Pokémon Go game

Positive effects

Dampak negatif

  1. Deriving Pleasure. The users of Pokémon GO said that they got pleasure from this game. Most of them also said that the game could entertain and relieve sad.
  2. Encouraging the players to get out and move. This game requires the users to go out door and walk to hunt Pokémon. Mechanically, it will improve physical activity so that human body and physical condition more dynamic.
  3. Training to Achieve Target.  The structure and vivid level improvement of the game make the game interesting so that users are motivated to achieve the target.
  4. Improving Imagination and Creativity. One of the advantages of playing game is sharpening imagination and creativity. The game will stimulate users’ brain to think imaginatively and creatively.
  1. Game Addiction. This game enables users to be addicted. Consequently, users are eager to fulfil their ambition and ignoring of other things.
  1. Although encouraging people to move, this game makes people focus only on the screen. Users tend to be careless with their selves and environment. It is because users only focus on their phone screen. It also causes negative effects like traffic jam and accident.
  2. Social loafing. Users interaction in this game is not real. Consequently, it makes people reluctant to have real interaction with their environment by spending most of their time with their phone.  
  3. Self-control decrease. Addicted users tend to perform a variety of ways to fulfil their ambition. They tend to be careless with rules and environment as long as they can fulfil their ambition. This will make people to be unproductive and lack of self-control.  
  4. Being burdened. Technical way playing this game is to find and capture something so that users will be kept on standby. The adrenaline tends to rise which makes the physical state not relax. It makes the heart beating faster than usual.
  5. The users tend to have difficulty in differentiating the real world and fantasy.  This game combines real and virtual elements. When it is continuously played, addicted users will be hard to discern between realism and imagination. It is certainly bad for the physical and psychological condition of users.

 

From the description above, it can be concluded that the Pokémon GO game gives more negative effects than positive effects. Therefore, government and society are expected to be wise in responding to this phenomenon. Parents are also expected to have more time accompanying their children so that their children can be far for being addicted.

Sources:

  1. Data from interview and group discussion forum of responsive action of Clinic for Community Empowerment (CCE), psychology of UAD 2016
  2. Social media

Notes: there is a little change at first paragraph. Previously, this paper explained that Pokémon GO was not officially released, but based on a news several days ago, Pokémon GO game was officially released and it can be downloaded in playstore. So, the writer changed some sentences.

Mengkaji Sisi Psikologis dari Game Pokémon GO

Oleh : Muhammad Hidayat, S.Psi., M.Psi., Psikolog.

Clinic for Community Empowerment (CCE) Fakultas Psikologi UAD

 

Sejak dirilis beberapa waktu yang lalu, game Pokémon GO telah menjadi buah bibir di berbagai kalangan masyarakat. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa membincangkan tentang Pokémon GO. Beberapa sumber menyebutkan unduhan aplikasi untuk memainkan game ini sudah melebihi angka sepuluh juta. Sebagai contoh di Amerika, unduhan untuk aplikasi game Pokémon GO sudah menembus angka tujuh juta. Demikian pula di Indonesia, apalagi setelah beberapa hari lalu game ini baru saja dilegalkan.

Media sosial berlomba-lomba untuk mengunggah berita tentang Pokémon GO. Mulai dari berita-berita negatif seperti kemacetan di jalan akibat Pokémon GO, pengguna yang terperosok ke sungai saat memainkan, hingga berita kecelakaan yang mengakibatkan kematian karena terlalu asyik bermain. Hal ini membuat para pengampu kebijakan di lingkungan masing-masing mengeluarkan imbauan untuk tidak memainkan game Pokémon GO. Beberapa televisi nasional pun menghadirkan tokoh-tokoh dari lintas disiplin ilmu untuk membahas tentang dampak game ini.

Menurut Rutledge (2016) faktor yang menyebabkan permainan ini sukses adalah percampuran dunia nyata dengan virtual. Pokémon GO mencampur pengalaman bermain game dengan aktivitas fisik nyata serta mendorong untuk bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu, dalam Pokémon GO juga terdapat unsur-unsur yang sangat dekat dengan perilaku manusia, yaitu kebutuhan untuk bersosialisasi dengan orang lain, hasrat untuk keluar dan menjelajah lingkungan, dan keinginan untuk menjadi kompeten serta menjadi ahli.

Dari fenomena ini, muncul berbagai macam anggapan terkait dampak positif dan negatif game Pokémon GO. Hal ini pula yang mendorong tim Clinic for Community Empowerment Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) membuat aksi cepat tanggap dengan melakukan mini riset dan kajian psikologi terkait game Pokémon GO. Aksi cepat tanggap ini dilakukan mulai dari akhir bulan Juli hingga awal Agustus 2016. Hasil dari aksi cepat tanggap ini adalah membandingkan antara dampak positif dan dampak negatif permainan Pokémon GO, yakni seperti dalam table berikut.

Tabel dampak positif dan negatif game Pokémon GO

 

Dampak positif

Dampak negatif

  1. Memperoleh kesenangan. Para pengguna Pokémon GO mengaku memperoleh kesenangan bermain game tersebut. Tidak jarang dari mereka mengungkapkan bahwa game ini dapat menjadi penghibur diri dan penghilang rasa sedih.
  2. Mendorong pemain game untuk keluar dan bergerak. Game ini menuntut para pengguna untuk keluar dari ruangan, berjalan kaki berburu Pokémon. Hal ini baik disadari ataupun tidak semakin meningkatkan pola aktivitas fisik sehingga membuat tubuh dan kondisi fisik lebih dinamis.
  3. Melatih untuk pencapaian target. Struktur dan peningkatan level yang jelas membuat game ini menjadi menarik. Para pengguna pun akan terpacu untuk memiliki target dan mencapainya.
  4. Meningkatkan imajinasi dan kreativitas. Salah satu manfaat dari bermain game adalah daya imajinatif dan kreativitas otak semakin terasah. Para pengguna akan dipacu otaknya untuk berpikir imajinatif dan kreatif saat melakukan permainan ini.
  1. Kecanduan game (addict). Game ini sangat memungkinkan para pengguna untuk menjadi kecanduan. Orang yang kecanduan akan terfokus untuk menunaikan hasratnya dan cenderung mengesampingkan hal-hal lain.
  2. Meski bergerak, game ini membuat orang hanya terfokus kepada layar ponsel. Hal ini membuat para pemain justru tidak waspada (awareness) dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar karena hanya terpaku oleh layar ponsel. Sehingga efek-fek negatif pun muncul seperti kemacetan, kecelakaan, dsb.
  3. Kemalasan sosial (social loafing). Game ini memang menuntut pengguna untuk berinteraksi, tetapi interaksinya tidak nyata. Hal ini menjadikan orang akan malas berinteraksi secara nyata di lingkungan sosialnya dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan ponsel.
  4. Kontrol diri (self  control) menurun. Para pengguna yang sudah kecanduan akan “menghalalkan” segala cara untuk menunaikan hasratnya. Ia akan cenderung menjadi orang yang tidak peduli dengan aturan dan lingkungan selama hasratnya dapat terpuaskan. Hal ini juga membuat orang menjadi tidak produktif dan tidak dapat mengendalikan dirinya.
  5. Menjadi terbebani. Teknis memainkan game ini adalah untuk mencari dan menangkap sesuatu sehingga para pengguna akan terus siaga, adrenalinnya pun cenderung meningkat yang membuat keadaan fisik tidak rileks. Hal ini pun membuat denyut jantung berdetak lebih kencang dari biasanya.
  6. Membuat pecandu game tidak bisa membedakan dunia nyata dan fantasi. Permainan ini menggabungkan elemen nyata dan elemen virtual. Sehingga ketika terus menerus dimainkan, orang yang sudah kecanduan akan susah untuk membedakan mana yang fantasi mana yang nyata. Hal ini tentu berdampak buruk bagi kondisi fisik maupun psikologis pengguna.

           

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa game Pokémon GO dinilai lebih banyak menimbulkan efek negatif dibanding efek positif. Oleh sebab itu, diharapkan pemerintah maupun masyarakat luas dapat lebih bijak dalam merespons fenomena ini, lebih khusus lagi bagi orang tua untuk dapat mendampingi putra-putrinya agar tidak terjerumus menjadi pecandu game.

Sumber:

  1. Data wawancara dan fgd aksi cepat tanggap Clinic for Community Empowermet (CCE) Psikologi UAD 2016
  2. Media sosial

 

Bagaimana Usah Kecil Menengah Yogyakarta Menentukan Harga Jual?

“Faktor-Faktor yang Menjadi Pertimbangan Pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM)  di Kota Yogyakarta dalam Pengambilan Keputusan Menentukan Harga Jual.”

Begitulah tema yang diangkat oleh Nugraheni Rintasari, S.E., M.Sc., dosen tetap Program Studi Akuntansi Universitas Ahmad Dahlan (UAD), pada tahun 2013 dalam penelitiannya.

Menurutnya, untuk menentukan harga jual, paling besar dipengaruhi oleh harga pokok penjualan yang terdiri atas harga pokok produksi. Di dalamnya sudah tercakup biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overhead, biaya pemasaran, dan biaya administrasi. Namun dalam praktiknya, banyak faktor yang juga dipertimbangkan oleh pelaku usaha dalam menentukan harga jual. Faktor lain tersebut yang menjadi fokus penelitian ini.

Penelitian dilakukan dengan metode survei kepada 356 responden. Data responden pada awalnya diperoleh dari situs www.umkm.jogjakota.go.id. Dalam situs tersebut, di kota Yogyakarta, jumlah pelaku UMKM menurut data mutakhir tahun 2010 adalah 4.596 dengan komposisi 2.740 industri mikro, 1.481 industri kecil, dan 372 industri menengah.

“Survei dilakukan kepada 356 responden dengan harapan mewakili seluruh populasi yang ada. Metode yang dilakukan adalah mendatangi responden dengan membawa blanko kuesioner kemudian responden diberi dua pilihan apakah mengisi sendiri atau diisikan kuesionernya berdasarkan jawaban responden,” terang Nugraheni.

Data pada situs tersebut, banyak yang berbeda di lapangan. Artinya, banyak pelaku UKM yang namanya tercatat tetapi setelah dicari tidak ada sehingga peneliti memutuskan untuk mendatangi responden yang ada di 14 kecamatan kota Yogyakarta. Responden terbanyak berasal dari kecamatan Gedongtengen, yaitu sebanyak 12,07%.  Keseluruhan pelaku UKM di kota Yogyakarta dibagi menjadi lima bidang, yaitu kerajinan dan umum, kimia dan bangunan, logam dan elektonika, pengelolaan pangan, serta sandang dan kulit. Responden paling banyak berasal dari bidang pengelolaan pangan.

“Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku UKM di kota Yogyakarta mempertimbangkan informasi biaya, waktu pembelian, kedekatan emosional, resiko produk, dan naluri bisnis untuk menetapkan harga jual,” lanjut Nugraheni.

Ia menegaskan, ada lebih dari 50% responden telah mengetahui maksud biaya produksi, biaya bahan baku pembuatan produk, biaya overhead, dan besarnya keuntungan. Bahkan, 71% telah melakukan pencatatan keuangan sederhana.

Dari hasil penelitian tersebut, Nugraheni juga menjelaskan bahwa 16% pelaku UKM menurunkan harga untuk pembeli pertama dan hanya 10% pelaku UKM yang mau menurunkan harga ketika stok tinggal sedikit. Untuk kedekatan emosional, 30% pelaku UKM menurunkan harga jika pembeli masih saudara, 20% jika pembeli adalah tetangga, dan 17% menaikkan harga jika pembeli adalah orang asing.

Katanya, hasil lain menunjukkan bahwa 36% pelaku UKM menurunkan harga jika produk terancam rusak atau kedaluwarsa, membedakan harga jika masih baru dengan yang sudah lewat beberapa waktu, dan untuk produk yang memiliki garansi menjadi lebih mahal. Selain itu, 34% pelaku UKM menggunakan naluri bisnis dalam bertransaksi. Naluri bisnis yang dimaksud adalah menggunakan kata hati jika melayani pembeli bahkan tanpa perhitungan. Misalnya, jika pembeli ramah, tidak banyak menawar, harga bisa diturunkan. (Dok)

 

How Small And Middle Industries of Yogyakarta Determine The Selling Price?

‘Factors to consider the selling price of goods for businessmen of small and middle industries (UKM) in Yogyakarta.’

It is the topic written by Nugaheni Rintaari, S.E., M.Sc. official lecturer at Accountancy Department University of Ahmad Dahlan (UAD) in her research.

According to her, to determine the selling price of goods the main factor is the production cost, which includes raw material cost, man power cost, overhead cost, and marketing cost. But practically there are some other factors determining the selling price. Those factors become the focus of the research.

The research employed a survey method toward 356 respondents. The preliminary data were obtained from www.umkm.jogjakota.go.id. According to the information in the site the number of businessmen of small and middle industries in Yogyakarta in 2010 is 4.596 consisting of 2.740 micro industries, 1.481 small industries, and 372 middle industries.

‘The survey was addressed to 356 respondents, which could represent the whole population. They were given questionnaires to fill in,’ said Ngraheni. Some data in the site were not valid. There were some UKM practitioners mentioned in site were not found so that the researcher had to visit the respondents in the 14 districts of Yogyakarta. The biggest number of respondents came from Gedongtengen district, which reached 12.07%. The whole respondents consisted of five sectors namely handicraft and general industry, chemical and construction industry, metal and electronic industry, food industry, and clothing and leather industries. The biggest number of respondents came from food industry.

‘The result of the research showed that UKM practitioners in Yogyakarta considered factors of cost, purchasing time, consumers’ need, product risk, and business mood to determine the selling price of goods,’ Nugraheni added.

She emphasized that more than 50% respondents understood the production cost, raw material cost, overhead cost, and the profit. Moreover, 71% respondents had carried out book keeping.

The research revealed that 16% respondents lowered the price for their first buyers and only 10% of them lowered it when the stock was limited. 30% respondents lowered the price for their relatives, 20% for their neighbours, and raised the price for strangers.

The research also showed that 36% of business practitioners lowered the price in case the product would soon expire, make difference of old and new price, and raised the price for guaranteed product. Furthermore, 34% of the business UKM practitioners employed sense of business i.e. serving customers with the consideration the their good attitude (Dok)

 

Alternative Solution of Waste in Yogyakarta City, the Advantages and Benefits

Surahma Asti Mulasari, S.Si., M.Kes. the lecturer of Ahmad Dahlan University (UAD) who took apart in the research of Waste Emergency in Yogyakarta City said that the problems found in the research were technical, budget, and social community. Solution toward those problems required a lots of times, energy, and resources. It was ineffective relying on the government only.

“it needs effort of effective preventions and countermeasures in line with improvement efforts of government to reach the goal of ideal waste management in Yogyakarta,” She said.

Based on the analysis from the results of the observation, case study, and social engineering, it could be concluded that social empowerment was the best solution toward the waste problem in addition to gradual effort from the government.

She also explained “the empowerment being pursued by the government and other stakeholders was the program of 3R (reduce, reuse, recycle). This program has been launched by the environmental agency (BLH) of Yogyakarta since 2012. One of the programs is “waste bank” covering some activities of composting and recycling of inorganic waste,”.

She said that based on the research, this program was not effective to solve the problem. Waste bank in Yogyakarta could only reduce 28.756,44 kg (28,76 ton) of waste. Average amount of waste that could be reduce by every waste bank was 97.81 kg/month or 0,227 kg per day.

Based on the average amount of waste above, the program of BLH could not significantly reduce the amount of waste. To overcome the average amount 176.730 kg of waste produced in Yogyakarta, it needed at least 778.546 waste suppliers per day. To overcome 83.504,925 kg (47.25%) of inorganic waste, it needed 367.864 waste suppliers (83.504,925 kg: 0.227 kg/people/day = 367.863,106 ≈ 367.864 waste suppliers).

“There are 493.903 population of Yogyakarta city (BLH, 2014). Based on that data, has every citizen had deposited their waste, the problem of inorganic waste from the settlement will be solved. The amount of waste that transported to the Piyungan dumps will reduce about 47% and increase the family income.”

 

The Advantages and Benefits

Waste bank management would give economic benefits for the society. Based on the calculation of the active waste suppliers, each of them can get Rp15.701,00 per month. If the earning of each supplier was multiplied by the total population of 493.903 inhabitants, the economic benefits from waste bank in Yogyakarta will approximately reach Rp7.754.771.003,00.

This would give many advantages involving health aspect. For family, good management of waste can reduce the risk of disease caused by waste. Additional cost of a family due to waste pollution can reach Rp3.000.014,00 per month.

Waste bank not only give benefits for the waste supplier, but also strengthen the economy of waste industry. The smallest unit of waste industry is waste trading unit, known as collectors or “pelapak”.

The data of BLH in 2013 stated that there were 39 trading units (UD) in Yogyakarta. Monthly revenue from each UD was Rp 6.144.872,00. This number was net income, gross income minus unit operating costs that can be seen from financial book keeping. This shows us that waste trading unit is promising comparing with the city minimum wage (UMK) of Rp 1.065.247,00. in Yogyakarta.

Beside inorganic waste, the management of organic waste also needs attention. This waste dominated the waste composition in Yogyakarta as much as 52.75% (93.225,075 kg). Composting of organic waste can be carried out individually and communally. The advantage of composting can be predicted by the following calculations.

The weight of waste after composting process was 30 to 60 % of the initial weight of waste. From 93.225,075 kg of waste, we will get approximately 27.697,5225 kg of compost. Price of compost in the farm shop ranges between Rp 5000,00 to Rp15.000,00 per 5 kg. Daily revenue earned from the sale of compost with minimum compost price can be calculated as follow; Rp5.000,00 × (27.697,5225/5) = Rp 27.697.522,5. While monthly revenue can reach Rp27.000.000,00. (dok)

Solusi Darurat Sampah Kota Yogyakarta: Keuntungan dan Mafaatnya

Dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Surahma Asti Mulasari, S.Si., M.Kes. yang turut andil dalam penelitian Darurat Sampah Kota Yogyakarta mengatakan, permasalahan teknis, anggaran, dan sosial masyarakat tidak dapat dihindari. Solusi untuk mengatasinya dibutuhkan waktu, energi, dan sumber daya yang tidak sedikit. Apalagi hanya mengandalkan pemerintah, tentunya akan memakan waktu.

“Diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan yang efektif dan efisien yang diberlakukan beriringan, dengan perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah sampai terealisainya pengelolaan sampah yang ideal di Yogyakarta,” tuturnya.

Setelah analisis yang merujuk pada observasi, studi kasus, dan rekayasa sosial, dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat menjadi solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan sampah selain upaya bertahap dari pemerintah.

“Permberdayaan yang telah dilakukan sampai saat ini baik oleh pemerintah ataupun stakeholder yang lain di antaranya adalah dengan program-program 3R (reduce, reuse, recycle). Program yang diluncurkan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) kota Yogyakarta sejak sekitar tahun 2012 adalah bank sampah dengan rangkaian kegiatannya meliputi pengomposan dan daur ulang sampah anorganik,” terang dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat itu.

Menurutnya, program ini berdasar pada hasil penelitian yang dirasa kurang efektif. Bank sampah di kota Yogyakarta saat ini rata-rata dalam satu bulan dapat mengurangi sampah sebanyak 28.756,44 kg (28,76 ton). Setiap satu bank sampah rata-rata dapat mengurangi sampah sebanyak 97.81 kg/bulan atau sekitar 3,26 kg/hari sampah. Sementara itu, setiap orang saat ini rata-rata menabung 0,227 kg sampah per hari.

Melihat angka tersebut, lanjutnya lagi, maka program BLH tersebut tidaklah mencukupi untuk mengurangi volume sampah secara signifikan. Diprediksikan kebutuhan jumlah nasabah bank sampah untuk mengatasi rata-rata 176.730 kg sampah yang dihasilkan oleh kota Yogyakarta membutuhkan sekitar 778.546 orang/hari yang mengelola sampah. Untuk mengatasi sampah anorganik sebanyak 47.25% (83.504,925 kg), dibutuhkan sebanyak 367.864 nasabah (83.504,925 kg : 0.227 kg/orang/hari = 367.863,106 ≈ 367.864 nasabah).

“Penduduk di kota Yogyakarta tercatat 493.903 jiwa (BLH, 2014). Berdasarkan data tersebut, apabila setiap orang di kota Yogyakarta menabung sampahnya maka permasalahan sampah anorganik yang bersumber dari daerah pemukiman akan teratasi. Jumlah sampah yang diangkut ke TPA Piyungan akan berkurang sekitar 47% dan akan meningkatkan pendapatan keluarga.”

 

Keuntungan dan Mafaatnya

Pengelolaan bank sampah akan mendatangkan keuntungan ekonomis yang diperoleh masyarakat. Apabila dihitung berdasar rata-rata nasabah aktif, maka keuntungan ekonomis tiap nasabah sebesar Rp15.701,00 per bulan. Keuntungan secara ekonomis di kota Yogyakarta apabila dikalikan dengan jumlah penduduknya sebanyak 493.903 jiwa, maka tiap bulannya kurang lebih akan memperoleh Rp7.754.771.003,00.

Keuntungan tersebut tidaklah sedikit apalagi ditambah dengan berkurangnya risiko yang ditanggung keluarga apabila terkena penyakit akibat sampah. Pengeluaran tambahan akibat pencemaran sampah yang dapat ditanggung oleh sebuah keluarga dapat diperkirakan sebesar Rp3.000.014,00 per bulan.

Selama ini, bank sampah selain memberi keuntungan untuk nasabah, juga memperkuat perekonomian industri sampah. Industri sampah yang paling kecil adalah unit dagang sampah atau dikenal dengan pengepul atau pelapak.

Data BLH tahun 2013 menyebutkan bahwa di kota Yogyakarta terdapat 39 Unit Dagang (UD) sampah. Pendapatan per bulan dari UD tersebut sebesar Rp60.000.000,00, dan rata-rata per bulan UD sampah tersebut menghasilkan Rp6.144.872,00. Angka tersebut merupakan laba bersih, pemasukan dikurangi biaya operasional usaha dilihat dari pembukuan keuangan. Hal tersebut tentu menunjukkan bidang usaha ini sangat menjanjikan apabila dibandingkan dengan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Yogyakarta, yaitu sebesar Rp 1.065.247,00.

Sebenarnya, selain sampah anorganik, yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan sampah organik. Timbulan sampah organik mendominasi komposisi sampah yang dihasilkan di kota Yogyakarta sebesar 52.75% (93.225,075 kg). Pengomposan dapat dilakukan secara individu ataupun komunal. Keuntungan dari pengomposan dapat diprediksi dengan perhitungan berikut.

Sampah setelah menjadi kompos akan menyusut menjadi sekitar 30-60% dari berat sampah. Perhitungan minimal akan dihasilkan kompos sebanyak 27.697,5225 kg (perhitungan didapat dari 30% × 93.225,075 kg = 27.697,5225 kg). Harga pupuk kompos di toko pertanian berkisar antara Rp5000,00 hingga Rp15.000,00 per 5 kg. Pendapatan yang diperoleh dari penjualan kompos minimal dengan asumsi harga pupuk kompos terendah adalah Rp5.000,00 × (27.697,5225/5) = Rp 27.697.522,5. Apabila kompos dibuat selama sebulan, maka sekitar Rp27.000.000,00 akan dihasilkan kompos dari pemukiman. (dok)