Tantangan Mahasiswa dan Perguruan Tinggi dalam Perkembangan Dunia Global

“Mempersiapkan diri dengan nilai lebih untuk menghadapi tantangan global khususnya MEA. Hanya lulusan yang sudah memiliki sertifikat kompetensi yang nantinya bisa bertebaran dalam bursa kerja Asean,” ujar Prof. H. Lincolin Arsyad Ph.D. saat mengisi kuliah umum pada acara Achievement Motivation Training Action di Graha Wana Bhakti Yasa, Minggu, (15/11/2015).

Menurutnya, tenaga asing di Indonesia sudah sangat banyak dan meningkat setiap tahunnya, baik di sektor perdagangan, keuangan, perfilman, kontraktor, dll.

“Orang asing merasa nyaman tinggal di Indonesia dengan biaya hidup yang murah, tetapi gajinya tinggi. Sudah selayaknya karena mereka merupakan tenaga ahli di negara kita,” lanjut Direktur Program MEP UGM sekaligus Ketua Majelis Pendidikan Tinggi dan Litbang Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Ia menambahkan bahwa orang pintar dari negara berkembang akan mencari negara maju untuk bekerja. Salah satu contohnya adalah India yang mendapat julukan sebagai negara berjuta doktor. Karena banyak sekali doktor dan tenaga ahli yang berasal dari India.

“Arus perpindahan tenaga kerja terampil akan terjadi dari negara yang lebih miskin ke negara yang lebih maju. Sehingga akan menyebabkan kekosongan (hollow-out) tenaga kerja terampil di negara yang lebih miskin,” paparnya.

“Jika dilihat dari aspek sumber daya alam (SDA) dan posisi Indonesia yang sedang dalam proses menuju negara maju, sudah sangat pasti Indonesia ke depan akan banyak membutuhkan tenaga ahli profesional. Indonesia memang memiliki banyak sekali lulusan perguruan tinggi, tetapi untuk tenaga ahli yang profesional masih minim.”

Indonesia ibarat gula dan pekerja sebagai semutnya. Bahwa Indonesia merupakan negara favorit bagi ekspatriat untuk mencari kerja. Indonesia masuk pada peringkat enam dunia setelah Swiss, Tiongkok, dan Qatar.

“Masalah kenegaraan Indonesia masih sangat kompleks, sehingga memang sulit untuk mengembangkan SDA dan SDM.”

Berdasarkan beberapa lembaga survei, tingkatan Indonesia berada di bawah negara anggota Asean terkait daya saing kerja dan kualitas pendidikan di perguruan tinggi.

 

“Kita masih membutuhkan sangat banyak profesor dan guru besar agar kualitas pendidikan bisa terus dikembangkan. Selain itu, masalah akreditasi perguruan tinggi juga belum merata di Indonesia. Jadi tidak salah jika Indonesia berada di bawah negara anggota Asean di bidang pendidikan,” tambahnya.

Hal lain yang dibahas dalam acara Program Pengenalan Kampus Susulan (P2K Susulan) adalah kemampuan berbahasa Inggris.

“Kemampuan olah bahasa Inggris orang Indonesia rata-ratanya memang meningkat, tetapi di tingkat Asean kita turun. Itu artinya bahwa perkembangan kita sangat lambat.”

Menurutnya, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menaikkan standar syarat tes bahasa Inggris untuk kelulusan menjadi 450 di setiap universitas.

“Indonesia hampir kalah pada semua bidang dengan negara-negara anggota Asean. Ini merupakan hal yang perlu dipikirkan oleh setiap individu, terlebih untuk menghadapi MEA pada 2016 nanti.”

Hal yang mesti diperhatikan untuk menjadi lebih maju adalah bekerja keras dan menghilangkan kemalasan.

“IPK tinggi memang penting, tetapi itu saja tidak cukup. Soft skills dan pengalaman organisasi juga perlu. Karena hal tersebut akan menjadi nilai lebih ketika terjun dalam dunia kerja,” ujarnya lagi.

Untuk bisa bersaing dalam MEA maka perguruan-perguruan tinggi di Indonesia perlu meluluskan lulusan yang berdaya saing tinggi dan memiliki keahlian profesional dalam bidangnya. Dari pihak kampus sendiri peningkatan sarana dan prasarana serta mutu kurikulum pendidikan harus terus dipompa.

 “Mahasiswa harus banyak belajar berorganisasi agar terbiasa dengan masalah dan pemecahannya. Selain itu belajar diskusi, menghargai pendapat orang, serta bekerja sama. Menteri pendidikan sekarang Anies Baswedan contohnya. Ia dahulu aktivis kampus saat masih menjadi mahasiswa saya,” jelas Lincolin.

Orang Indonesia memang pandai berbicara, tetapi kurang produktif dalam bekerja. Contohnya saja dalam penulisan. Ketika kita produktif sekalipun dalam menulis, setidaknya akan ada penghasilan yang masuk, saat itu kesejahteraan akan datang dan pertumbuhan ekonomi negara akan meningkat. (Ard)

Jalan Alternatif Menuju MEA

 

 “Salah satu cara menghadapi tantangan global dan MEA adalah menjadi seorang entrepreneur,” ujar Patisina alumnus Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta yang sekarang sukses menjadi wirausahawan.

Menurutnya, untuk menjadi seorang entrepreneur ada rumusnya, antara lain adalah outcome jelas, action, panca indera, fleksibelitas, dan rapport (kedekatan).

“Untuk membawa Indonesia menjadi negara yang maju, kewirausahaan merupakan salah satu alternatif jalan keluarnya. Jika setiap orang sadar maka masalah pengangguran, kemiskinan, dan kemelaratan bisa diatasi,” lanjutnya.

Selain itu, seorang wirausahawan bebas mewujudkan impian atau ambisinya, tidak terikat, dan peluangnya sangat besar karena jarang orang yang melakukannya.

“Orang enggan berwirausaha karena masalah modal, pelanggan, ide, pengelolaan, keterampilan, dan pengetahuan. Sebenarnya, modal terpenting dalam berwirausaha adalah kekayaan mental, sekalipun materi juga penting.”

Hal lain yang dibahas adalah mengenai pemimpin terdahulu seperti nabi Muhammad Saw., sahabat nabi Umar dan Usman. Mereka mengawali kesuksesan juga salah satu caranya dengan bisnis dan dagang.

“Ketika menjalankan sebuah bisnis, maka harus fokus pada satu hal, dan yang paling perlu diingat sekalipun nekat tetapi harus ada perencanaan yang sangat matang.”

Bukan hal mudah mengawali bisnis, jika gagal maka hal yang perlu dilakukan adalah introspeksi diri. Selain itu doa dan restu orang tua adalah hal yang juga tidak boleh dilupakan.

“Saat ini persentase wirausahawan di Indonesia adalah 0,5% dari total penduduk Indonesia. Jika angka ini bisa dinaikkan pada posisi minimal 5%, sudah barang tentu Indonesia akan menjadi salah satu negara yang maju,” tutupnya. (Ard)

UAD Kunjungi 5 Universitas di Korea

 

Selama sepuluh hari dari tangga 21-31 Oktober 2015, empat universitas dari Indonesia, yaitu Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Unimus, STT Telkom Purwokerto, dan UIB Batam melakukan kunjungan ke lima universitas yang ada di Korea. Di antaranya adalah Daegu University, Sunmoon University, Dongseo University, Yeungnam University, dan Keimyung University. Pada kesempatan tersebut, UAD melakukan MoU dengan Sunmoon University, Korea.

Selain menjalin kerja sama dengan Sunmoon University, di Dongseo, staf Kantor Urusan Internasional (KUI) UAD juga secara langsung bertemu direktur dan beberapa profesor. Sunmoon juga memberi fasilitas kunjungan ke pabrik mobil Hyundai.  

Sementara di Keimyung, pihak UAD bertemu dengan Director Center for Intl Affairs.

“UAD berkunjung ke di Daegu University untuk bertemu dengan manager dan asisten manager office of intel affairs. Kalau di Yeungnam, kami bertemu dengan vice president office of external cooperation dan general manager intel cooperation & intel student services,” terang Nurun, salah satu staf UAD.

Menurutnya, jika untuk bidang pendidikan S1, pilihannya lebih banyak ke Daegu University. Di Sunmoon University, hanya ada bahasa Inggris.  Jika ingin belajar tentang robotic, baiknya ke Dongseo University. Sementara untuk belajar teknologi ke Yeungnam University.

“Yeungnam University merupakan perguruan tinggi terbesar kedua di Korea. Tapi yang paling indah kampusnya adalah Keimyung University,” tutup Nurun.

 

Menapaki Kembali Mata Rantai Sejarah yang Terputus

 

“Membaca novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum S. Rais dan Ranga Almahendra, seperti diajak kembali menapaki kisah sejarah Islam dalam sudut pandang yang berbeda,” ujar Abidah El Khalieqy di hadapan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Selasa, (10/11/2015) dalam serangkaian acara milad Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ke 34.

Acara bedah novel ini berlangsung di ruang auditorium kampus II Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Tema milad PBSI yang diangkat adalah “Satu Buku Selamatkan Moral Bangsa”.

“Ini merupakan buku yang istimewa, karena isinya dikumpulkan dari kisah perjalanan penulis sendiri yang notabene merupakan seorang jurnalis,” lanjut penulis buku best seller Perempuan Berkalung Surban ini.

Ia menambahkan bahwa sebenarnya ini bukan novel fiksi, karena tidak ada unsur novel di dalamnya. Seperti tidak adanya tokoh antagonis dan protagonis. Tidak adanya narasi cerita, serta alur yang digunakan bukan alur karya fiksi.

“Buku ini lebih tepat dikatakan sebagai ‘fiksi pengetahuan’, karena penulis benar-benar mengkonstruksi ulang sejarah peradaban Islam di Eropa yang sebelumnya terasa seperti mata rantai terputus.”

“Di dalam buku ini banyak menceritakan tentang transfer kebudayaan Islam di Eropa, atau lebih tepatnya pengaruh budaya Islam di Eropa. Saat itu Eropa berada pada masa kegelapan, tetapi orang lebih mengenal dengan sebutan abad pertengahan. Bahwa sesungguhnya teknologi yang ada di Eropa berasal dari ilmu dan kebudayaan Islam,” imbuhnya.

Ia juga menegaskan bahwa penulis merupakan orang yang cerdas memaknai zaman. Dengan merekonstruksi ulang sejarah dan menuliskannya kembali, orang bisa lebih mudah memahami.

“Bahasa yang digunakan dalam novel ini tidak menggunakan bahasa naratif (menceritakan) seperti pada karya-karya novel umumnya. Tetapi pada buku ini cenderung menggunakan bahasa yang deskriptif (menjelaskan). Sementara itu, alur dari pencarian sejarahnya pun benar-benar linier mulai dari awal hingga akhir. Di mana segala sesuatu yang dilahirkan akan mengalami kematian. Akhirnya juga akan kembali pada titik asal di mana mereka diciptakan.”

Di akhir acara, Abidah menambahkan bahwa, ketika sebuah buku atau novel difilmkan (ekranisasi/ alih wahana) akan memiliki dunia dan kesepakatan yang berbeda pula. Bisa jadi saat menjadi film ada yang ditambah atau dikurangi. Hal tersebut sah-sah saja karena film dan karya sastra sudah berbeda ranah. Begitu pula dengan buku dan film “99 Cahaya di Langit Eropa”. Keduanya memang sama secara judul, tetapi media penyampainya berbeda.

Ia sempat berpesan kepada para peserta yang hadir bahwa untuk bisa menjadi bangsa yang dihargai, maka harus dimulai dengan membaca. Hal itu ia utarakan sesuai dengan tema yang diangkat pada acara tersebut. (Ard)

 

“Hilang”-nya Kemanusiaan

 

Terinspirasi dari konflik Rohingya, Komunitas Teater 42 mementaskan drama “Hilang” karya Ilham Gabrial di Gedung Societed Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (10/11/2015).

Menurutnya Ilham, penulis naskah sekaligus sutradara, konflik Rohingya banyak memberikan inspirasi dalam naskah “Hilang”. Bukan konflik agama, melainkan telah hilangnya rasa kemanusiaan yang banyak terjadi saat ini.

“Selain hilangnya rasa kemanusiaan, hilangnya hati nurani, hilangnya rasa kasih sayang, hilangnya harapan, juga ditampilkan dalam pementasan tersebut,” tutur pria yang pernah menjadi ketua Teater 42 ini.

Cerita yang menggunakan setting gua ini dimulai dengan konflik hilangnya rasa kemanusiaan seorang tokoh yang memiliki makanan. Namun, pelit untuk berbagi pada yang lain. Setting pementasan banyak menggunakan simbol. Salah satunya yaitu simbol lubang di atas gua sebagai satu-satunya harapan bagi manusia karena tidak ada pintu masuk maupun keluar di dalam gua.

Ilham mengaku bahwa naskah yang dibuatnya ini lebih tragis. Pria yang telah berkecimpung dalam dunia teater selama 4 tahun ini juga menilai jika sebuah teater ingin menampilkan kesakitan, maka tampilkanlah kesakitan yang sebenarnya. Selama ini menurutnya, teater menceritakan beberapa permasalahan tetapi selalu mengandung unsur komedi.

Dalam naskah ini, Ilham tidak memasukkan satu pun adegan lucu, dan ia memang tidak menargetkan penonton untuk tertawa.

Cerita Perjalanan dalam Novel 99 Cahaya di Langit Eropa

“Beberapa tahun terakhir, di Indonesia bermunculan buku catatan perjalanan. Buku-buku tersebut mendapat respons yang sangat baik di kalangan pembaca Indonesia,” ujar Anis Mashlihatin, M.A., alumnus Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gajah Mada.

Menurutnya, novel semacam ini bukan merupakan genre baru pada dunia sastra. Marco Kartodikromo pernah menuliskan Student Hidjo pada tahun 1918, kemudian diikuti Adi Negoro dengan novel Melawat ke Barat, dan NH. Dini menulis novel Pada Sebuah Kapal tahun 1985.

“Cerita-cerita perjalanan yang telah terbit kemudian mengisahkan orang Indonesia, biasanya menjadi minat tersendiri bagi penulis perjalanan Indonesia. Misalnya ke Eropa, mereka mengunjungi tempat-tempat asing kemudian berjumpa, berinteraksi, dan terlibat yang kemudian akan membawa pada persoalan-persoalan tertentu,” lanjutnya saat berdiskusi pada acara Forum Apresiasi Sastra ke-56 di hall kampus II Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Rabu (11/11/ 2015).

Novel 99 Cahaya di Langit Eropa tidak hanya menawarkan hubungan antara penjajah dan terjajah, tetapi lebih kompleks dengan merambah isu agama.

“Dalam hal ini, penulis Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, memosisikan Islam sebagai bagian dari identitas Indonesia, kemudian mendefinisikan kembali hubungan antara Indonesia dan Eropa,” lanjutnya lagi.

Menurutnya, novel ini menyuguhkan tiga hal penting, yaitu penggambaran tentang dunia, pernyataan diri, dan perepresentasian liyan (the other). Dengan tiga pola tersebut, kemudian akan dilihat keterkaitan antarpola dengan agenda sosial, ekonomi, maupun politis.

Di akhir acara, ia menambahkan bahwa catatan-catatan perjalanan yang ditulis oleh para orientalis menggambarkan masyarakat dan kebudayaan (Timur) sebagai masyarakat yang berkedudukan rendah dan terbelakang.

“Membesarkan Islam dengan merendahkan bangsa Indonesia maupun Barat adalah pelanggaran etis yang pernah dilakukan oleh penjajah terdahulu. Lalu, penulis tidak melawan Barat melalui Indonesia, melainkan perlawanan dilakukan dengan melalui Islam,” tutup Anis di akhir acara. (Ard)

Bicara 99 Cahaya di Langit Eropa di UAD

Anis Maslihatin, M.A., alumnus Pascasarjana Ilmu Sastra UGM) datang sebagai pembicara untuk berbagi ilmu kepada mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mengenai novel 99 Cahaya di Langit Eropa di hall kampus II Rabu, (11/11/2015).

Acara Forum Apresiasi Sastra (FAS) ke-52 yang berlangsung setiap bulan pada hari Rabu ini, bekerja sama dengan LSBO dan KKN Alternatif XLIX UAD mengulas novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya karya Hanum Salsabiela Rais dan Ranga Almahendra

Novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini bercerita tentang catatan perjalanan atas sebuah pencarian. Novel ini juga memberikan pengalaman yang akan memperkaya spiritual dalam mengenal Islam dengan cara yang berbeda. Saat ini, novel tersebut sudah difilmkan.

Perwakilan Prodi PBSI, Yosi Wulandari, M.Pd. dalam sambutannya mengatakan, Anis mengulas novel 99 Cahaya di Langit Eropa sebagai cerita perjalanan poskolonial dalam perspektifnya.

 

Harus Ada Target untuk Meraih Prestasi

“Mematok target di atas standar agar selalu berpikir bahwa ilmu yang kita miliki itu kurang,” ujar Diah Rizki Larasati gadis kelahiran Bantul, 2 Desember 1992.

Menurutnya, jika menjadi orang yang biasa-biasa saja maka tidak akan pernah memiliki sesuatu yang berharga. Salah satu yang harus dilakukan adalah dengan belajar mendengarkan dan menghargai orang lain.

“Saya belajar setelah usai shalat subuh. Mengulang materi yang diberikan dosen dalam perkuliahan. Hal ini dimaksudkan supaya lebih familiar dan tidak mudah lupa,” imbuh mahasiswa Psikologi tersebut.

Materi yang disampaikan dosen di dalam kelas adalah ilmu yang bermanfaat. Maka, harus benar-benar didengar dan diperhatikan. Dari kebiasaan tersebut, akan menjadi suatu hal yang positif.

“Belajar tidak perlu lama-lama, yang penting fokus dan berkualitas. Namun, proses belajar yang terbaik menurut saya adalah di dalam kelas. Karena kita akan benar-benar memaksimalkan indera yang kita miliki untuk ikut aktif dalam proses tersebut.”

Perempuan yang aktif dalam berbagai organisasi ini menjadi wisudawan terbaik kedua Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan IPK 3.89 periode November 2015.

“Bapak saya bekerja wiraswasta, dan Ibu sebagai PNS. Mereka memberikan fasilitas yang lengkap. Tetapi saya tidak boleh telena dengan segala fasilitas tersebut. Justru dengan fasilitas itu menjadi dorongan tersendiri bagi saya untuk belajar dan lebih maju,” jelasnya.

Menurutnya, fasilitas yang diberikan oleh orang tua merupakan penunjang perkuliahan. Hal tersebut merupakan amanah yang harus dibayar tuntas dengan keberhasilan.

“Bersosialisasi dengan teman juga perlu, sebagai cara untuk berbagi. Hal yang perlu diingat ketika ingin berhasil adalah mencari teman yang bisa diajak ‘berlari’ dalam hal yang positif. Belajar memang penting, tetapi hiburan juga diperlukan untuk mengobati stres,” tutupnya saat ditemui usai gladi bersih wisuda di Jogja Expo Center, Jum’at (6/11/2015).

Ia menambahkan jika ingin menjadi orang yang berguna harus selalu memiliki target dan fokus dalam melakukan segala hal. Niat dan kemauan adalah dasar terpenting untuk maju.

IPK Rata-Rata Wisudawan UAD Meningkat

“IPK rata-rata adalah 3,31. Naik 0,006 dari periode sebelumnya,” kata Rekotr UAD, Dr. H. Kasiyarno, M.Hum. saat memberikan sambutan di hadapan 956 wisudawan Program Sarjana dan Pascasarjana Universitas Ahmad Dahlan (UAD) periode November 2015. Acara ini berlangsung pada Sabtu (7/11/2015) di Hall A Gedung Jogja Expo Center ini

Terdapat 27 prodi S-1 dan 6 prodi S-2 yang diwisuda. Khusus untuk program S-2, tahun ini Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Inggris ada 22 wisudawan, Program Pascasarjana Pendidikan Fisika ada 8 wisudawan, Program Pascasarjana Psikologi Profesi ada 2 wisudawan, Program Pascasarjana Psikologi Sains Sekolah ada 14 wisudawan, Program Pascasarjana Farmasi ada 6 wisudawan, dan 1 wisudawan Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan. Dengan demikian Program Pasca Sarjana UAD telah mewisuda 608 lulusan, sehingga alumni UAD berjumlah 36.076 orang.

Sementara itu, wisudawan S-1 dengan kelulusan tercepat dengan masa studi 3 tahun 9 bulan 22 hari kali ini diraih oleh wisudawan Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat, yaitu Mila Andriani dengan IPK 3,57. Sedangkan wisudawan termuda adalah M. Jindar Harun dari Prodi Bimbingan dan Konseling dengan IPK 3,47 yang lulus pada usia 20 tahun 9 bulan 24 hari.

“Selanjutnya, atas nama seluruh warga UAD kami mengucapkan selamat kepada wisudawan atas keberhasilan Saudara menyelesaikan studi dan memperoleh gelar kesarjanaan dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah ini. Semoga sukses selalu menyertai Saudara. Khusus kepada Bapak/Ibu orang tua/wali wisudawan, dengan berakhirnya pendidikan putra/putri Bapak/Ibu di UAD ini, maka melalui majelis yang mulia ini, perkenankanlah saya atas nama UAD menyerahkan kembali putra/putri Bapak/Ibu, teriring ucapan terima kasih atas kepercayaannya kepada UAD untuk mendidik dan mengantarkan putra/putri tercinta menjadi sarjana muslim. Semoga kesarjanaan dan kemuslimannya dapat menambah kebahagiaan keluarga Bapak dan Ibu sekalian. Kami juga memohon kiranya silaturahmi yang telah terjalin selama ini, antara Bapak/Ibu dan UAD, terus tersambung dengan baik di masa-masa mendatang.”

“Kepada seluruh tamu undangan, kami menyampaikan terima kasih atas kesediaan Bapak dan Ibu memenuhi undangan dan ikut manghayubagya para wisudawan hari ini. Semoga kebaikan Bapak/Ibu dicatat oleh Allah Swt. sebagai amal shalih. Seterusnya, pada saatnya nanti, kami mohon kepada Bapak Ketua PP Muhammadiyah Majelis Dikti berkenan memberikan sambutan. Akhirnya atas nama UAD, kami mohon maaf apabila dalam menyambut kehadiran Bapak/Ibu masih banyak kekurangannya,” tutupnya.

 

Ingin Raih Prestasi? Yakinlah dengan Doa Orang Tua

“Belajar tidak bisa dilakukan dengan cara dadakan. Belajar adalah sebuah proses yang dilakukan dengan perlahan dan bertahap,” ujar Miftakhul Nurlatifa gadis yang pernah aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (HMPS PBSI) dan Kreskit (Kreativitas Kita).

Ia menambahkan, semangat belajar yang paling utama karena kedua orang tua. Ia sadar menjadi anak rantau harus memiliki sesuatu yang lebih.

“Ketika saya belajar, saya selalu teringat dengan kedua orang tua. Karena saya merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Perjuangan orang tua saya sangat berat ketika harus membiayai perkuliahan saya. Karena bapak bekerja sebagai penjaga sekolah, dan Ibu sebagai guru SD,” Imbuh gadis kelahiran Bangka, 4 September 1993.

Miftah sapaan akrabnya, menduduki peringkat ketiga sebagai wisudawan Universitas Ahmad Dahlan periode November 2015 dengan IPK 3. 85.

“Semangat orang tua menjadi semangat tersendiri bagi saya untuk mengukir prestasi. Kekuatan dan doa mereka adalah anugerah di setiap kali saya mendapat kesulitan.”

“Saya aktif di organisasi sejak semester satu, dan mengakhirinya di semester 6. Saya belajar pada waktu luang di sela kegiatan organisasi. Jadi tidak ada waktu yang terbuang sia-sia.”

Selain orang tua, dukungan dari teman-teman dan kampus juga menjadi sisi positif tersendiri. Kekatifan dalam berorganisasi akan meminimalisir hal-hal yang negatif. (Ard)