Cita Rasa Baru Makrab JAB

 

Teater Jaringan Anak Bahasa (JAB) UAD Yogyakarta menyelenggarakan workshop teater untuk pertama kalinya. Acara diadakan selama empat hari yaitu pada tanggal 25 dan 29 Desember 2013 di Auditorium dan RHT Kampus 2 UAD serta pada 3 dan 4 Januari 2014 di ruang GB4 Kampus 2 yang langsung dilanjutkan ke Pantai Pelangi. Workshop diikuti oleh 38 calon anggota baru JAB.

Workshop ini diselenggarakan sebagai wujud inovasi atau pembaharuan yang dilakukan oleh JAB untuk menggantikan makrab yang biasanya dilaksanakan satu malam namun dengan materi yang sangat banyak,” jelas Diyah Hidayani selaku Ketua Panitia.

Nasirin, Ketua Teater JAB menambahkan, “Semoga workshop ini menjadi titik awal dari tercetaknya generasi-generasi teater JAB yang berdedikasi, intuitif, dan inspiratif dalam seni maupun akademik.”

Hari pertama workshop di hari Rabu (25/12/13), menghadirkan tokoh-tokoh teater yang ada di Yogyakarta seperti Harjanto Said, S. Arimba, Zuhdi Sang, dan Puntung C.M. Pudjadi. Masing-masing memberikan materi tentang sejarah teater dunia, sejarah teater JAB, keaktoran, serta penyutradaraan.

Workshop selanjutnya pada hari Minggu (29/12/13), hadir pemateri lain seperti Latif S. Nugraha yang berbicara tentang manajemen produksi, Anter Asmorotedjo dengan materi tentang tari, Mahwi Air Tawar menyampaikan bidang kesusastraan, serta Ramdhani Mangku Alam (Dhani Brian) dengan materi rias karakter. Sementara itu, pada Jumat (3/1/14), Afrizal Okta Putra menyampaikan materi tentang musik dan Agus Prasetyo (Agus Laylor) menyampaikan tentang setting dan lighting. Sabtu (4/1/14), hari terakhir diisi dengan materi olah tubuh yang disampaikan oleh Yusup Riawan, olah vokal oleh Nasirin, dan olah rasa oleh Edi Sulistyo.

Silvi, salah satu peserta mengaku senang mendapatkan motivasi dan ilmu baru. Dia pun merasa semakin akrab dengan teman-teman. Meski kaki terasa pegal kegiatan lebih banyak dilakukan dengan mendengarkan materi seharian namun lebih banyak pengalaman yang tak perlu diungkapkan dengan banyak kata. Hanya satu kata, asyik!(idj)

 

Pejuang Polusi

  

Yogyakarta dikenal sebagai kota wisata, kota budaya, dan kota pendidikan. Pelancong berbondong-bondong berdatangan pada musim liburan sekolah atau hari raya. Tiap tahun ajaran baru, ribuan calon siswa dan calon mahasiswa mendaftar sekolah di Yogyakarta. Membanggakan tentunya, tetapi bukan tanpa resiko.

Ribuan unit kendaraan digunakan untuk mendukung mobilitas penduduk dan pendatang di Yogyakarta. Dalam setiap trafic light pada perempatan besar di tengah kota, ada puluhan sampai ratusan kendaraan bermotor berhenti menunggu lampu hijau. Dari observasi di lapangan, hampir tidak ada pengedara yang mematikan mesin kendaraannya selama 120 – 30-an detik berhenti di lampu merah. Asap kendaraan bermotor memenuhi udara.

Polusi udara selain mengangu kenyaman berkendara, juga menggangu kesehatan. Apabila pengendara dapat mematikan mesin kendaraan bermotor selama berhenti di lampu merah akan membantu mengurangi polusi. Masyarakat Yogyakarta dapat menjadikan perilaku tersebut menjadi sebuah kebudayaan. Budaya sebagai pejuang polusi. Budaya untuk memetikan mesin sampai minimal 5 detik sebelum lampu hijau. Bentuk perjuangan yang sangat mudah dilakukan tetapi berkontribusi besar bagi kelangsungan bumi dan kesehatan masyarakat. Mudah karena hampir setiap trafic light memiliki count down sebagai indikator pergantian lampu.

Ribuan kendaraan mematikan mesin saat berhenti walau hanya beberapa detik. Asap kendaraan bermotor akan berkurang. Kenyamanan saat menunggu lampu lalu lintas menjadi hijau akan meningkat. Tidak akan ada yang terganggu asap ketika berhenti di belakang kendaraan yang lain. Apalagi dilakukan secara kolektif akan mengurangi polusi udara di perkotaan. Resiko perubahan iklim, efek rumah kaca, dan hujan asam akan menurun. Umur bumi dapat diperpanjang.

Sumber polusi udara terutama berasal dari sektor transportasi, terutama yang menggunakan bahan bakan fosil, misalnya bensin. Hampir 60% dari polutan yang dihasilkan berasal dari karbon monoksida (CO) dan sekitar 15% terdiri dari Hidrokarbon, sisanya NOx, HC, dan partikel lain. Efek dari Hidrokarbon dapat menyebabkan iritasi sampai dengan kematian. Efek dari CO lebih besar karena konsentrasi dan lebih mudahnya terikat dalam darah.

Kontak antara CO dengan kadar tertentu dengan menusia dapat mengakibatkan kematian. Disebabkan karena kontak antara CO dengan Hemoglobin (Hb) dalam darah.  Hb berfungsi membawa oksigen dalam bentuk oksihemoglobin dari paru-paru ke seluruh sel tubuh dan membawa kerbondioksida dari sel tubuh ke paru-paru. Dengan adanya CO, Hb akan membentuk karboksihemoglobin, sehingga kemampuan Hb untuk mentranspor oksigen menjadi berkurang. Afinitas CO terhadap Hb adalah 200 kali lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen terhadap Hb. Akibatnya apabila ada CO dalam darah, Hb akan lebih banyak berikatan dengan CO dari pada oksigen. Sel akan kekurangan oksigen sehingga fungsi tubuh terganggu.

Menurunkan resiko dari polusi udara sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama masyarakat. Sudah saatnya masyarakat menjadikan isu masalah lingkungan sebagai bagian dari budaya keseharian. Marilah kita mulai dari warga Yogyakarta yang terkenal sebagai kota budaya. Matikan mesin kendaraan ketika di trafic light. Pilih kendaraan bermotor yang menggunakan teknologi dengan pembakaran sempurna. Gunakan bahan bakar dengan nilai oktan tinggi. Gunakan kendaraan umum. Tanamlah pohon. Jadikan Yogyakarta kota ramah lingkungan. Tanpa kita sadari kita akan menjadi pahlawan bagi sekitar kita, kita dapat menjadi pejuang polusi.

 

Oleh :

Surahma Asti Mulasari, S.Si,M.Kes.

Ketua Pusat Kajian Manusia dan Lingkungan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan.

 

Merawat Eksistensi Jurnal Ilmiah

 

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan;

Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities, China

 

Dalam buku-buku pidato pengukuhan guru besar yang pernah saya baca, salah satunya dari Universitas Negeri Malang (UM), tampak jelas bahwa dosen yang meraih jabatan guru besar cukup rajin mempublikasikan tulisannya ke jurnal ilmiah. Prof. Dr. Dawud (UM), misalnya, begitu rajin mempublikasikan tulisannya ke beberapa jurnal ilmiah, seperti Diksi, Bahasa dan Seni, dan Sekolah Dasar. Bagaimana cara para dosen kita dalam merawat eksistensi jurnal ilmiah?

Eksistensi jurnal ilmiah di perguruan tinggi kita, diakui atau tidak, mengalami pasang-surut. Ada jurnal ilmiah yang dapat terbit (setahun dua kali terbitan) karena didukung oleh pengelolanya dan ingin mempertahankan nilai akreditasi “A” (unggul). Ada pula jurnal ilmiah yang terbit dengan mutu “apa adanya” tanpa berpikir soal akreditasi. Bahkan yang lebih ironi, ada juga jurnal ilmiah yang justru mengalami “mati suri”.

Kondisi “mati suri” sebuah jurnal ilmiah kiranya dapat diurai penyebab-penyebabnya. Di antaranya, keengganan pihak kampus membiayai penerbitan dan distribusi, kesulitan mencari naskah yang berkualitas, hingga pengabaian pengelola terhadap nilai kebermanfaatan jurnal ilmiah. Kesemua penyebab itu sesungguhnya dapat dijawab secara singkat: belum adanya interkoneksitas jurusan atau program studi antara satu kampus dengan kampus lainnya.

Di Yogyakarta, tercatat ada 5 kampus yang memiliki Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yaitu UAD, UNY, USD, UST, dan UPY. Para dosen dari kelima kampus tadi dapat menjalin kerja sama untuk mengatasi kesulitan mencari naskah, sekaligus mengurangi besarnya biaya penerbitan. Misalnya, melalui aturan bahwa para penulis yang tulisannya dimuat harus berlangganan jurnal selama setahun.

Selain itu, dapat pula dibentuk forum pertemuan antarpengelola jurnal ilmiah dari kelima kampus di atas. Melalui forum tersebut, pengelola jurnal bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dapat berbagi perkembangan informasi meliputi buku referensi dan jurnal dari luar negeri. Yang tak kalah penting ialah informasi mengenai profil peneliti atau akademisi luar negeri yang berpeluang sebagai editor/penyunting ahli bagi jurnal dari kelima kampus tadi.

Saya percaya, semakin banyak kampus yang bergabung ke dalam forum pertemuan, semakin besar peluang untuk memperbaiki kualitas jurnal ilmiah. Lagi pula, jika kualitas jurnal ilmiah sudah baik dan bahkan berakreditasi “A”, saya yakin banyak dosen dari kampus lain yang akan tertarik menulis. Di samping itu, nilai kebermanfaatan jurnal ilmiah, terutama bagi kemudahan karier akademik para dosen dapat semakin nyata. Bagaimana pendapat Anda?[]

Lomba Cerpen PGPAUD UAD dengan Tema Membangun Karakter Anak Usia Dini Melalui Cerita

Yang berminat. Silahkan mendaftar langsung. Keterangan lebih lanjut baca di poster, atau menghubungi langsung di Prodi PGPAUD UAD di Kampus 5. Selamat membaca.

Pendidikan Perlu Melek Media

 

Muhammad Ragil Kurniawan, M.Pd

Dosen PGSD FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

(ragilkur@yahoo.com)

            Kini, tak seorang pun dapat lepas dari media televisi, termasuk anak-anak. Melalui televisi anak-anak menerima informasi dan pengalaman yang tidak ada dalam diri mereka. Pada batas-batas tertentu televisi telah beralih fungsi sebagai pendidik. Televisi membentuk karakter anak, memperluas lingkungan dan memberi anak bentuk-bentuk baru dari pengalaman.

Perubahan fungsi televisi  menjadi pendidik telah membawa problem tertentu. Anak-anak usia sekolah tidak lagi mendiskusikan pelajarannya, tapi ramai dengan tayangan favotitnya, mengikuti perkembangan artis idolanya, hingga sibuk menyamakan dandanan dengan idola mereka. Media televisi, layaknya pisau bermata ganda. Pada satu sisi, televisi telah memberikan ruang bagi generasi muda untuk menyalurkan kreativitasnya, memperoleh informasi, dan membuka cakrawala. Namun pada sisi lain televisi semakin menguatkan nilai-nilai dominan masyarakat yang masih kental dengan aspek-aspek diskriminasi, stereotipe, dan eksploitasi, serta mengarah pada konsumerisme dan budaya hedon.

Kekhawatiran terbesar mengenai televisi adalah mengenai isi dan mutunya yang tidak lagi bernilai pendidikan sebagaimana idealnya, bahkan dengan gaya penyajian yang tak lengkap, meloncat-loncat serta tidak hierarhis. Arus informasi media televisi yang akrobatik tersebut, selain menjauhkan anak-anak dan remaja dari proses konstruksi pengalaman yang sedang mereka bangun, juga akan membawa anak pada budaya berpikir yang akrobatik dan setengah-setengah. Hal ini sangat berkebalikan dengan apa yang diajarkan pada institusi sekolah, yaitu internalisasi pengetahuan secara hierarkis dan holistik.

 

Sekolah harus bicara

Sekolah sebagai instansi yang tereintegrasi dengan lingkungan tak boleh luput dari fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Materi yang diajarkan di sekolah hendaknya tidak bergerak menjauh dari fenomena yang menggejala di masyarakat. Sebaliknya, sekolah harus selalu memberikan materi yang kontekstual dan memiliki unsur kedekatan dengan lingkungan di mana sekolah dan siswa berada.

Sekolah harus bicara ketika banyak hal yang diperoleh anak dari televisi ditafsirkan secara dangkal tanpa arahan dan bimbingan. Sebuah contoh kecil, konsep cantik bagi remaja kita telah jatuh termakan oleh doktrin media televisi. Bagi remaja kita, seorang perempuan dikatakan cantik apabila memiliki tubuh langsing bak peragawati, kulit berwarna putih mulus, rambut yang panjang lurus, kaki jenjang bak model, juga paras seperti Luna Maya. Karena media televisi, konsep inner beauty telah terkalahkan oleh kecantikan ragawi.

            Sampai pada titik ini, peranan pendidikan melek media menjadi sangat signifikan untuk diajukan. Mengajarkan sikap aktif terhadap terpaan opini televisi tak bisa di tunda lagi, karena televisi tidak hanya memberikan informasi, pendapat dan penjelasan yang saling bertentangan, tetapi sering juga berlawanan dengan pengalaman anak-anak dan remaja. Bahkan kontradiktif dengan pengetahuan yang mereka dapat di sekolah sekalipun.

Menurut hemat saya, muatan pendidikan media massa meliputi wawasan untuk memahami, menganalisis serta menafsir berbagai agenda terselubung dan manipulasi-manipulasi di balik pesona televisi. Tujuan pendidikan melek media bukan hanya menjaga nalar logis siswa. Lebih dari itu, tujuan pendidikan melek media adalah untuk menilai keabsahan informasi yang disampaikan media dan data dokumentasi yang menjadi dasarnya; kebenaran fakta yang tersaji, jumlah fakta dan hubungannya dengan kesimpulan yang ditarik, serta landasan etis yang mendasarinya.

            John Nasbit dalam high-tech hight-touch (1999) mengingatkan, kita tidak boleh mengkonsusmsi media, kecuali sebagai konsumen yang kritis. Sistem sosial yang dipenuhi dengan terpaan opini media, membutuhkan penyeimbang. Jika masyarakat paham tentang etika jurnalistik secara total dan mendalam, maka tidak canggung untuk mengajukan protes, somasi atau kontrol terhadap tayangan-tayangan yang menyesatkan, baik secara moral maupun perundang-undangan. Pertanyaan yang mendasar adalah, bagaimana mengetahui ada masalah jika masyarakat tidak mengetahui idealnya? Bagaimana mau memprotes, mengajukan somasi jika masyarakat buta tentang etika media?

Pendidikan media massa akan menjadi sarana yang efektif dalam mengimbangi derasnya terpaan propaganda media televisi, khususnya bagi remaja dan generasi muda. Selain sebagai penetralisir racun opini publik, pendidikan media massa juga lebih berperan sebagai “buku” petunjuk pemanfaatan berbagai jenis media massa oleh masyarakat, terkhusus siswa-siswi kita.

———-

 

Urgensi Kultur Sekolah Terhadap Mutu Pendidikan

Oleh: Hendro Widodo, M. Pd

Pembenahan pendidikan di sekolah melalui kultur sekolah, belum banyak diperhatikan dan dikembangkan. Sasaran peningkatan mutu pendidikan dipandang tidak cukup hanya pada aspek proses pembelajaran, kepemimpinan dan manajemen, kendatipun ketiga aspek tersebut pada dasarnya memberikan kotribusi yang sangat signifikan terhadap mutu sekolah. Namun satu aspek yang tidak dapat diabaikan sebagai penentu keberhasilan penyelanggaraan proses pendidikan di sekolah adalah kultur sekolah. Kultur sekolah yang baik diharapkan akan berhasil meningkatkan mutu pendidikan yang tidak hanya memiliki nilai akademik namun sekaligus bernilai afektif. Anwar Hasnun (2010) mengemukakan bahwa kegagalan kepala sekolah dalam mengelola sekolah dikarenakan kegagalan memanej kultur sekolah dengan baik.

Hubungan kultur sekolah dengan mutu pendidikan terlihat dari hasil The Third International Math and Science Study (TIMSS) bahwa faktor penentu kualitas pendidikan bukan hanya menekankan faktor fisik saja, seperti kebedaraan guru yang berkualitas, kelengkapan peralatan laboratorium dan buku perpustakaan, tetapi juga dalam wujud non fisik, yakni berupa kultur sekolah (Zamroni, 2000). Kultur sekolah adalah karakter atau pandangan hidup yang merefleksikan keyakinan, nilai, norma, simbol dan kebiasaan yang telah dibentuk dan disepakati bersama oleh warga sekolah. Kultur sekolah bersifat bottom-up, bahwa asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan dibangun atas kesadaran dan kehendak dari warga sekolah sehingga merupakan suatu kesepakatan bersama yang diyakini sebagai instrument dan pendorong  semangat untuk mencapai yang terbaik terhadap efektifitas pengelolaan sekolah sehingga diharapkan semakin kondusif kultur sekolah maka makin berkembang atau efektiflah peningkatan mutu sekolah yang telah dibentuk dan disepakati bersama oleh warga sekolah.

Kultur sekolah ada yang bersifat postitif, negatif, dan netral. Kultur yang bersifat positif adalah kultur yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, seperti menjalin networking dalam mencapai prestasi akademik dan non akademik, adanya subsidi silang antar sekolah, memberi penghargaan terhadap yang berprestasi, komitmen dalam belajar, saling percaya antar warga sekolah, dan se bagainya. Kultur yang bersifat negatif adalah kultur yang menghambat peningkatan mutu pendidikan, seperti banyak jam pelajaran yang kosong, siswa takut berbuat salah, siswa takut bertanya/mengemukakan pendapat, kompetisi yang tidak sehat di antara para siswa, perkelahian antar siswa atau antar sekolah dan sebagainya. Sedangkan kultur yang bersifat netral adalah kultur yang tidak mendukung peningkatan mutu pendidikan, seperti arisan keluarga sekolah, seragam guru dan karyawan, dan sebagainya.

Pengembangan kultur sekolah harus menjadi prioritas penting. Semua warga sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan kultur sekolah untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu. Sekolah yang berhasil membangun dan memberikan kultur yang baik akan menghasilkan prestasi belajar yang tinggi baik akademik maunpun non akademik. Artinya, dalam memperbaiki mutu sekolah tanpa adanya kultur sekolah yang positif maka perbaikan itu tidak akan tercapai, sehingga kultur sekolah harus menjadi komitmen luas bagi warga dan menjadi kepribadian sekolah, serta didukung oleh stakeholder sekolah. Dengan kultur sekolah yang positif dan mewaspadai adanya kultur negatif, maka suasana kebersamaan, kolaborasi, semangat untuk maju dan berkembang, dorongan bekerja keras dan kultur belajar mengajar yang bermutu akan dapat diciptakan.

Penulis adalah Dosen PGSD UAD

 

UAD Buka Penerimaan Mahasiswa Baru 2014

Universitas Ahmad Dahlan (UAD) membuka Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) periode 2014/2015. Proses penerimaan akan dibantu oleh 27 Student Employment (SE) untuk melayani dan menjawab pertanyaan proses pendaftaran.

Drs. Dedi Pramono, M.Hum, kepala Biro Akademik dan Admisi (BAA) menghimbau agar para pegawai untuk berjiwa melayani, bukan minta dilayani. ”Layani mereka dengan senyum dan sapa yang baik. Kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas,” pinta Dedi saat pembukaan PMB di Aula Kampus 1 UAD, Senin (6/1/2014).

Lebih lanjut, Dedi Pramono meminta kepada segenap civitas UAD untuk membantu kelancaran proses PMB yang akan berlansung selama 8 bulan kedepan. ”Bantuan semua pihak akan berpengaruh dalam proses kelancaran PMB tahun ini,” terangnya.

Prof. Drs. Sarbiran, M.Ed., Ph.D mewakili Rektor UAD menyampaikan bahwa bekerja adalah bagian dari amal saleh sebagai dakwah. Maka, sampaikan apa adanya tentang UAD. Untuk itu, SE harus banyak tahu tentang belajar tentang UAD. “Aku pikir, aku rasa, aku bisa, aku sukses,” kata Sarbiran menyemangati.

Selain melayani, Student Employment juga akan diajari membaca tulis Al-Qur’an. “Mereka akan dijadwal dalam proses belajar baca tulis Al-Qur’an. Selain mendapatkan ilmu, mereka juga akan mendapatkan insentif,” terang Dadi Pramono, Dosen Prodi Sastra Indonesia.(Swbh)

Perempuan Dan Tayangan Humor Televisi

Oleh Rendra Widyatama, SIP., M.Si

Dosen Ilmu Komunikasi UAD

 

Dalam siaran televisi, perempuan dapat dilihat pada berbagai program, termasuk acara humor. Penampilan mereka sangat bervariasi, di antaranya sebagai bintang tamu, pemeran utama, pemeran pembantu, maupun sekedar figuran. Umumnya, mereka berasal dari kalangan artis. Namun dalam tayangan humor di televisi kita, justru cenderung merendahkan mereka sebagai wanita.

 

Sebagai Pemanis

Secara fisik, perempuan memang memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi bila perempuan tersebut memiliki wajah ayu, postur tubuh indah, dan suara merdu. Itu sebabnya perempuan selalu mampu mencuri perhatian semua orang, bahkan sesama wanita itu sendiri.

Namun keterlibatan perempuan dalam tayangan humor di televisi tersebut sebenarnya cenderung sebagai pemanis dibanding sebagai pelawak yang umum didominasi laki-laki. Tidak jarang, mereka digunakan hanya sebagai pajangan, pelengkap, penyegar, dan memancing lawan main, serta penyeimbang comedian laki-laki. Masih terlalu sedikit perempuan komedian yang benar-benar bisa melawak. Saya pernah menghitung, dari 24 perempuan yang muncul dalam acara humor, hanya satu yang benar-benar berprofesi sebagai pelawak. Sebagian besar lainnya hanya menonjolkan aspek sensualistas semata.

Kesan menonjolkan fisik dibanding kemampuan melawak juga terlihat dari penampilan yang diperlihatkan. Sebagian besar dari mereka datang dari perempuan berparas ayu dan glamour. Payahnya, mereka yang tak mengandalkan tampilan fisik, lebih memilih menampilkan perilaku norak, konyol dan komedi slapstick dibanding humor cerdas yang mendidik.

Gaya lawakan perempuan juga tidak menonjol. Ada yang terlihat selalu menghafal dan membaca, namun lebih banyak yang sekadar menimpali lawakan yang disampaikan comedian pria.

 

Materi Lawakan

Bila menelisik materi yang dijadikan guyonan, ada fenomena menarik. Dalam tayangan humor, porsi perempuan dalam menyampaikan lawakan tetap lebih sedikit dibanding laki-laki. Data ini membuktikan bahwa perempuan berposisi lebih inferior dibanding pria. Artinya, tudingan kaum hawa sebagai pemanis program lawakan, tampaknya terbukti.

Dari lawakan yang diperlihatkan oleh perempuan, juga terdapat fenomena menarik. Perempuan yang selama ini dicitrakan lemah lembut, dalam humor justru mulai ditampilkan keras, kasar, dan nakal. Image seperti itu adalah citra maskulin, yang selama ini dilekatkan pada laki-laki. Bahkan dari pengamatan atas nilai-nilai sosial yang diperlihatkan dalam humor, perempuan juga andil dalam mengekplorasi lawakan anti sosial. Yaitu candaan yang menampilkan nilai-nilai yang tidak mendukung kebaikan, misalnya mengolok-olok, merendahkan dan melecehan orang lain, melakukan kekerasan fisik maupun verbal, menyampaikan ucapan jorok dan perilaku tidak sesuai dengan jenis kelaminnya (misalnya pria berpenampilan wanita, atau sebaliknya); egois dan ingin menang sendiri; tidak menghargai orang lain; dan sebagainya. Rupanya, berbagai tampilan perempuan dalam humor semacam itu seolah sedang melakukan reposisi atas citranya selama ini. Yaitu pergeseran citra yang lembut ke gambaran yang keras dan kasar.

Memang tidak ada yang salah dalam keterlibatan perempuan dalam program humor di televisi. Namun, ada baiknya keterlibatan tersebut karena kemampuan membangkitkan tawa secara cerdas, bukan karena menonjolkan sisi kecantikan fisik, menampilkan sensualitas atau kekonyolannya. Sungguh sayang bila perempuan yang kita jaga sebagai sosok yang mulia, terhormat dan dihormati, akhirnya terlibat dalam lawakan yang penuh dengan kekonyolan, kasar, dan nakal. Karena penampilan-penampilan seperti itu, hanya akan merendahkan kedudukan perempuan itu sendiri.

Pusaran Korupsi Sektor Kesehatan

 

Oleh : Ahmad Ahid Mudayana

Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat

Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Pembangunan kesehatan masyarakat saat ini menjadi salah satu prioritas penting dalam program pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari jumlah anggaran di Kementerian Kesehatan yang termasuk dalam jajaran 5 besar kementerian/lembaga yang mendapat jatah APBN terbesar. Program-program dalam meningkatkan derajat sehat masyarakat pun saat ini tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan saja, akan tetapi juga dilakukan oleh kementerian/lembaga yang lain terutama dalam hal meningkatkan kesejahteraan dibidang kesehatan. Besarnya anggaran yang dimiliki oleh Kemeterian Kesehatan menjadikan adanya peluang untuk disalahgunakan serta diselewengkan apabila tidak ada pengawasan yang ketat dari Kementerian Kesehatan sendiri atau dari lembaga lain.  Peluang korupsi semakin besar apabila kita melihat program-program kesehatan saat ini memiliki pos anggaran yang cukup besar seperti program pengadaan alat kesehatan, pengadaan obat, program penanggulang dan pencegahan penyakit dan sebagainya.

Tindak pidana korupsi disektor kesehatan juga melibatkan oknum pejabat pemerintah pusat dan daerah. Seperti kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di kementerian kesehatan saat dipimpin oleh Siti Fadilah Supari. Kasus ini masih ditangani oleh KPK dan belum ada perkembangannya sampai sekarang. Tertangkapnya Wawan oleh KPK yang merupakan adik dari gubernur Banten juga terkait korupsi alat kesehatan. Dan Gubernur Banten Ratu Atut Chasiyah yang baru saja ditetapkan sebagai tersangka karena dugaan korupsi diantaranya korupsi pengadaan alat kesehatan.

Dari kasus diatas sudah jelas terbukti bahwa sektor kesehatan telah masuk dalam pusaran korupsi. Masuknya sektor kesehatan dalam pusaran korupsi dapat menghambat pemerintah dalam upayanya memperbaiki mutu pelayanan kesehatan. Sudah menjadi rahasia umum jika mutu pelayanan kesehatan di Indonesia belum begitu baik. Hal ini akan menambah berat tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan pelayanan yang bermutu. Di sisi lain, juga berdampak pada semakin sulitnya mencapai derajat sehat masyarakat yang optimal. Akibat dari maraknya kasus korupsi disektor kesehatan. Sehingga banyak program yang tidak berjalan secara optimal.

Agar kasus korupsi disektor kesehatan tidak meluas maka perlu dibuat sistem pengawasan program. Sistem pengawasan ini harus mampu menjalankan peran-peran manajemen dengan baik. Peran yang baik akan menghasilkan program yang efektif dan efisien. Selain sistem pengawasan juga diperlukan evaluasi pelaksanaan program. Selama ini setiap program yang dibuat oelh pemerintah sangat jarang dilakukan evaluasi. Kalaupun ada itu sangat sederhana dan terkesan hanya sebatas formalitas. Padahal adanya evaluasi sangat penting untuk menciptakan sistem birokrasi yang efektif dan efisien. Maka, peluang untuk melakukan korupsi akan semakin sempit karena ketatnya pengawasan serta adanya evaluasi.

Bagaimanapun juga sektor kesehatan memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa. Salah satu indikator bangsa yang maju dilihat dari kesehatan masyarakatnya. Sudah seharusnya budaya korupsi disemua sektor termasuk sektor kesehatan harus diberantas. Peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk ikut mengawasi serta mengevaluasi setiap program disektor kesehatan. Supaya tujuan menuju Indonesia sehat cepat tercapai.

Tali Kasih Bertambah, Purnatugas Bentuk Paguyuban Baru

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” Bung Karno

Begitulah kira-kira wasiat yang tersirat dalam acara yang dibuka oleh Wakil Rektor 1 Dr. Muchlas, M.T., sekaligus penyerahan tali kasih secara simbolis kepada purnatugas.

                Sebanyak 23 purnatugas hadir dalam acara bertajuk “Sarasehan dan Pembentukan Pengurus Purnatugas Karyawan UAD.” Zarkoni mantan Kepala Bagian Kerumahtanggaan di kampus 2 mengungkapkan, sudah mendapatkan tali kasih selama 3 kali  berturut-turut “Setiap tahunnya bertambah, walaupun sedikit, tapi saya sudah senang. Ini tidak sekedar tali kasih, tapi juga penghomatan” terangnya saat ditemui pada acara berlangsung Sabtu, (13/12) di Hall Kampus 2.

                Wihandriati, S.H., C.N., selaku koordinator acara menjelaskan. Para purnatugas diberikan tali kasih berupa sembako dan uang tunai. “Jumlah tali kasih yang diberikan bertambah dari tahun sebelumnya” terang Wihandriati.

                Lebih lanjut, Wihandriati, dosen Fakultas Hukum tersebut menjelaskan bahwa acara seperti ini sudah menjadi agenda rutin setiap tahun, saat milad UAD. Kali ini acara yang diselenggarakan nampak berbeda. Bukan hanya sarasehan dan pemberian tali kasih saja, tetapi juga pembentukan paguyuban terhadap purnatugas.

                Ia juga menjelaskan, “Dalam paguyuban tersebut juga sudah ditentukan koordinator guna mengoordinasi agenda-agenda yang akan dilaksanakan nantinya.” Paguyuban dibentuk sebagai sarana untuk mempertemukan, menyatukan pendapat, serta merencanakan semua hal yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh purnatugas UAD.

                Sarasehan dan pembentukan paguyuban purnatugas karyawan ini diharapkan mampu menjaga hubungan emosional antara universitas dan purnatugas. “Semoga acara tersebut akan terus ada karena sarasehan seperti ini dapat mempererat tali silaturahmi antar karyawan purnatugas satu sama lain serta purnatugas dengan UAD,” pungkasnya.(Yy)