Muhammad Ragil Kurniawan, M.Pd
Dosen PGSD FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
(ragilkur@yahoo.com)
Kini, tak seorang pun dapat lepas dari media televisi, termasuk anak-anak. Melalui televisi anak-anak menerima informasi dan pengalaman yang tidak ada dalam diri mereka. Pada batas-batas tertentu televisi telah beralih fungsi sebagai pendidik. Televisi membentuk karakter anak, memperluas lingkungan dan memberi anak bentuk-bentuk baru dari pengalaman.
Perubahan fungsi televisi menjadi pendidik telah membawa problem tertentu. Anak-anak usia sekolah tidak lagi mendiskusikan pelajarannya, tapi ramai dengan tayangan favotitnya, mengikuti perkembangan artis idolanya, hingga sibuk menyamakan dandanan dengan idola mereka. Media televisi, layaknya pisau bermata ganda. Pada satu sisi, televisi telah memberikan ruang bagi generasi muda untuk menyalurkan kreativitasnya, memperoleh informasi, dan membuka cakrawala. Namun pada sisi lain televisi semakin menguatkan nilai-nilai dominan masyarakat yang masih kental dengan aspek-aspek diskriminasi, stereotipe, dan eksploitasi, serta mengarah pada konsumerisme dan budaya hedon.
Kekhawatiran terbesar mengenai televisi adalah mengenai isi dan mutunya yang tidak lagi bernilai pendidikan sebagaimana idealnya, bahkan dengan gaya penyajian yang tak lengkap, meloncat-loncat serta tidak hierarhis. Arus informasi media televisi yang akrobatik tersebut, selain menjauhkan anak-anak dan remaja dari proses konstruksi pengalaman yang sedang mereka bangun, juga akan membawa anak pada budaya berpikir yang akrobatik dan setengah-setengah. Hal ini sangat berkebalikan dengan apa yang diajarkan pada institusi sekolah, yaitu internalisasi pengetahuan secara hierarkis dan holistik.
Sekolah harus bicara
Sekolah sebagai instansi yang tereintegrasi dengan lingkungan tak boleh luput dari fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Materi yang diajarkan di sekolah hendaknya tidak bergerak menjauh dari fenomena yang menggejala di masyarakat. Sebaliknya, sekolah harus selalu memberikan materi yang kontekstual dan memiliki unsur kedekatan dengan lingkungan di mana sekolah dan siswa berada.
Sekolah harus bicara ketika banyak hal yang diperoleh anak dari televisi ditafsirkan secara dangkal tanpa arahan dan bimbingan. Sebuah contoh kecil, konsep cantik bagi remaja kita telah jatuh termakan oleh doktrin media televisi. Bagi remaja kita, seorang perempuan dikatakan cantik apabila memiliki tubuh langsing bak peragawati, kulit berwarna putih mulus, rambut yang panjang lurus, kaki jenjang bak model, juga paras seperti Luna Maya. Karena media televisi, konsep inner beauty telah terkalahkan oleh kecantikan ragawi.
Sampai pada titik ini, peranan pendidikan melek media menjadi sangat signifikan untuk diajukan. Mengajarkan sikap aktif terhadap terpaan opini televisi tak bisa di tunda lagi, karena televisi tidak hanya memberikan informasi, pendapat dan penjelasan yang saling bertentangan, tetapi sering juga berlawanan dengan pengalaman anak-anak dan remaja. Bahkan kontradiktif dengan pengetahuan yang mereka dapat di sekolah sekalipun.
Menurut hemat saya, muatan pendidikan media massa meliputi wawasan untuk memahami, menganalisis serta menafsir berbagai agenda terselubung dan manipulasi-manipulasi di balik pesona televisi. Tujuan pendidikan melek media bukan hanya menjaga nalar logis siswa. Lebih dari itu, tujuan pendidikan melek media adalah untuk menilai keabsahan informasi yang disampaikan media dan data dokumentasi yang menjadi dasarnya; kebenaran fakta yang tersaji, jumlah fakta dan hubungannya dengan kesimpulan yang ditarik, serta landasan etis yang mendasarinya.
John Nasbit dalam high-tech hight-touch (1999) mengingatkan, kita tidak boleh mengkonsusmsi media, kecuali sebagai konsumen yang kritis. Sistem sosial yang dipenuhi dengan terpaan opini media, membutuhkan penyeimbang. Jika masyarakat paham tentang etika jurnalistik secara total dan mendalam, maka tidak canggung untuk mengajukan protes, somasi atau kontrol terhadap tayangan-tayangan yang menyesatkan, baik secara moral maupun perundang-undangan. Pertanyaan yang mendasar adalah, bagaimana mengetahui ada masalah jika masyarakat tidak mengetahui idealnya? Bagaimana mau memprotes, mengajukan somasi jika masyarakat buta tentang etika media?
Pendidikan media massa akan menjadi sarana yang efektif dalam mengimbangi derasnya terpaan propaganda media televisi, khususnya bagi remaja dan generasi muda. Selain sebagai penetralisir racun opini publik, pendidikan media massa juga lebih berperan sebagai “buku” petunjuk pemanfaatan berbagai jenis media massa oleh masyarakat, terkhusus siswa-siswi kita.
———-