Family Gathering UAD 2013 (Milad UAD ke-53)

Family gathering UAD milad ke 51Family Gathering Universitas Ahmad Dahlan 2013 dalam rangka Milad UAD ke-53, akan berlangsung di Kampus IV, Jalan Ringroad Yogyakarta, dengan agenda:

  1. Lomba menghias tumpeng (antarfakultas)

  2. Pertandingan Futsal pakai theklek (bapak-bapak)

  3. Lomba menangkap ikan (bapak, ibu, anak)

  4. Lomba lari kelereng (anak-anak)

  5. lomba memasukkan bolpoint dalam botol 

  6. pembagian doorprize dan hiburan

Seminar Internasional “Consumer Protection: Low and Pharmacy Perspectives”

Seminar Internasional

dengan tema: "Consumer Protection: Law and Pharmacy Perspectives" 

Keynote Speaker: Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia 

Mengoptimalkan Peran Guru dalam Mengatasi Agresivitas Siswa

Oleh: Hendro Widodo, M. Pd

 

Munculnya fenomena seperti perkelahian antarsiswa, baik yang terjadi di dalam satu sekolahan sendiri maupun melakukan penyerangan ke salah satu sekolahan merupakan indikasi terjadinya agresivitas di kalangan siswa. Selain itu, munculnya genk pelajar seakan menunjukkan agresivitas di kalangan siswa telah diorganisir dengan baik. Berbagai ilustrasi faktual memberikan gambaran senyatanya tentang perilaku agresif yang terjadi di rumah maupun di sekolah. Ketidakmampuan anak mengerjakan tugas guru di sekolah sebagai suatu gambaran agresivitas yang bersifat pasif. Perilaku agresif lainnya yang biasanya ditunjukkan anak-anak misalnya: menganggu teman, berperilaku kasar, merusak barang-barang hingga mengacaukan proses pembelajaran di kelas sehingga membuat guru menjadi frustasi. Selain itu banyak dijumpai siswa yang berperilaku agresif. Perilaku agresif siswa muncul baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Perilaku tersebut berupa perampasan barang milik teman, misalnya alat tulis; berkelahi; mendorong teman sampai jatuh; dan memukul. Hal tersebut memberikan dampak negatif  baik bagi siswa sendiri maupun bagi orang lain, misalnya teman siswa. Perilaku tersebut tidak seharusnya didiamkan begitu saja, tetapi perlu mendapatkan perhatian khusus.

Agresivitas merupakan kecenderungan manusia untuk melakukan agresi. Agresi umumnya diartikan sebagai segala bentuk tingkah laku yang disengaja, yang bertujuan untuk mencelakakan individu atau benda-benda lain. Sebagaimana Dayakisni dan Hudaniah (2003:45) mengemukakan bahwa agresivitas adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Perilaku agresif dapat bersifat verbal seperti menghina, memaki, marah, dan mengumpat. Sedangkan untuk perilaku agresif non-verbal atau bersifat fisik langsung adalah perilaku memukul, mendorong, berkelahi, menendang, dan menampar. Perilaku menyerang, memukul, dan mencubit yang ditunjukkan oleh siswa atau individu bisa dikategorikan sebagai perilaku agresif.

Timbulnya agresivitas di kalangan siswa ini memerlukan adanya perhatian dari berbagai pihak. Sekolah sebagai tempat pendidikan formal memiliki tanggung jawab dalam menangani agresivitas siswa. Di dalam sistem sekolah, semua pihak memiliki tanggung jawab dan memiliki peran yang urgen dalam mengatasi agresivitas siswa. Salah satu yang sangat urgen yang memiliki peran penting adalah guru pembimbing atau guru BK. Keberadaan dan peran serta guru pembimbing di sekolah sangat diperlukan. Salah satu fungsi bimbingan dan konseling adalah fungsi atau upaya pencegahan (preventif), yakni suatu upaya untuk melakukan intervensi mendahului kesadaran akan kebutuhan pemberian bantuan. Upaya-upaya pembentukan kelompok belajar, bimbingan kelompok, bimbingan individu dan kegiatan ekstrakurikuler, kesemuanya itu merupakan bagian dari rangkaian upaya preventif.

Upaya preventif yang dimaksudkan adalah kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan terarah, untuk menjaga agar agresivitas siswa tidak terjadi. Guru pembimbing dapat membuat program-progran preventif antara lain: 1) guru pembimbing dapat melakukan bimbingan individu maupun bimbingan kelompok dengan memberikan pembinaan mental spritual keagamaan, agar siswa memiliki kepribadian yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan bersusila, 2) bimbingan individu maupun kelompok perlu ditanamkan kepada siswa kejujuran, kasih sayang terhadap sesama manusia, dan diberi penjelasan jangan cepat berprasangka buruk yang dapat mengakibatkan timbulnya pertengkaran, 3) guru pembimbing dapat memberikan informasi dan penyuluhan kepada siswa tentang bahaya perilaku agresif, memahami tentang bahaya dan dampak negatif perilaku agresif, menganjurkan kepada siswa untuk menyelenggarakan diskusi tentang perilaku agresif dengan segala aspeknya, menganjurkan agar siswa aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah seperti pramuka, olahraga, privat, mengikuti lomba poster/leaflet, lomba pidato dan lain-lain, memberikan pengertian kepada siswa agar berani menolak ajakan teman andai disuruh melakukan perilakun  agresif, mengadakan pendekatan secara khusus kepada siswa yang berpotensi ingin melakukan perilaku agresif, termasuk kepada siswa yang berpenampilan sederhana maupun yang mapan, 4) guru pembimbing perlu membangun kerjasama dengan orang tua. Orang tua sebagai pendidik anak di rumah perlu mengajarkan pada anak untuk bersikap asertif, yaitu dengan melatih anak untuk mengembangkan kontrol diri dan melatih anak untuk dapat menyampaikan hal-hal yang ingin disampaikan anak kepada orang lain dengan menghindarkan sikap kekerasan, dan 5) guru pembimbing dapat mengadakan forum silaturrahmi siswa antar sekolah yang dikemas dalam kegiatan yang konstruktif dalam membangun kebersamaan dan kerjasama yang positif.

Uraian di atas menunjukkan keberadaan dan peran guru pembimbing di sekolah sangat urgen. Namun, mengatasi agresivitas siswa tidak sama dengan mengobati suatu penyakit. Setiap penyakit sudah ada obat-obat tertentu, akan tetapi agresivitas siswa belum mempunyai obat tertentu untuk penyembuhannya. Hal ini dikarenakan agresivitas itu adalah kompleks dan amat banyak ragamnya serta amat banyak jenis penyebabnya sehingga upaya mengatasi agresivitas siswa tidak hanya dapat dilakukan oleh guru pembimbing sekolah saja. Namun, perlu juga perhatian oleh pihak lain/stakeholders pendidikan. Oleh karena itu menjadi ”PR” semua pihak untuk mengatasinya agar agresivitas siswa dapat teratasi dengan baik. Amiin.

Penulis adalah Dosen PGSD UAD

Saatnya Terapkan Restorative Justice

 

Oleh : Rahmat Muhajir Nugroho, SH, MH*)

Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia yang lebih kental dengan Model Retributive Justice, yaitu konsep penyelesaian perkara pidana dengan cara penghukuman (pemidanaan). Segala bentuk kejahatan dan pelanggaran baik dalam KUHP atau di luar KUHP yang terbukti di persidangan diputus dengan cara menghukum pelaku, sedangkan hak-hak korban dan masyarakat kurang diperhatikan. Sebagai contoh, jika ada kasus pencurian laptop, kemudian korban melapor kepada polisi, beberapa hari kemudian pencurinya berhasil ditangkap namun barang buktinya telah dijual, kemudian si pencuri diproses secara hukum dan akhirnya divonis penjara oleh Hakim. Pertanyaannya bagaimana dengan kerugian korban (pemilik laptop) pasca putusan hakim yang memenjarakan pelaku. Apakah dia berhak menuntut si pencuri untuk mengembalikan laptopnya? Tentu jawabannya tidak, karena pencuri sudah menerima balasan atas perbuatan mencurinya itu dengan menjalani hukuman di penjara.

          Ilustrasi tersebut menggambarkan, bahwa model Retributive Justice lebih fokus pada pelaku dan mengabaikan hak-hak korban. Penerapan hukuman berfungsi menimbulkan efek jera bagi pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya lagi, sekaligus menjadi pelajaran bagi orang lain yang akan melakukan kejahatan yang sama. Namun model penghukuman tersebut kurang memperhatikan nasib korban dan apa yang sesungguhnya diinginkan oleh korban. Karena, korban tidak terlibat secara langsung dalam menentukan penyelesaian kasus tersebut. Negara (aparat penegak hukum), telah mengambil alih hak-hak korban dengan mengatasnamakan penegakan hukum (law enforcement) melalui prosedur yang berlaku.  Kepentingan korban diwakili oleh negara dengan memidanakan pelaku, sedangkan korban hanya bisa menunggu dan menyaksikan apa yang dilakukan oleh negara. Terkadang putusan hakim dapat memuaskan bagi korban, namun tidak jarang justru membuat korban kecewa, karena putusannya jauh dari rasa keadilan yang diidam-idamkan korban dan masyarakat.  

            Paradigma Restorative Justice menawarkan solusi yang berbeda, proses penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui mekanisme yang melibatkan kedua belah pihak, yaitu pelaku, korban bahkan masyarakat. Upaya pemberdayaan (empowering) masyarakat merupakan kata kunci implementasi paradigma restorative justice. Pola penyelesaian perkara dengan model mediasi menjadikan para pihak lebih banyak berperan untuk mengatasi persoalannya sendiri. Sedangkan Pengadilan berperan sebagai fasilitator dan mediator terhadap perkara pidana yang mengandung konflik  dengan tujuan untuk mendamaikan kedua belah pihak. Putusan Pengadilan dapat berupa kesepakatan damai, pemberian ganti rugi kepada korban, dan penghukuman kepada pelaku berupa kerja sosial dan lainnya. Dengan demikian tujuan penegakan hukum bukan semata-mata pemidanaan tetapi juga pemulihan hubungan antara pelaku dan korban agar kembali harmonis.

Perlu dipahami bahwa, ketika terjadi tindak kejahatan telah terjadi kerusakan hubungan di masyarakat, khususnya bagi para pihak yang terlibat, sehingga upaya untuk mengembalikan hubungan antar keduanya sangat diperlukan. Sebab tidak jarang, pasca putusan pengadilan selama ini, masih menyisakan konflik dan dendam antara pelaku dengan korban, misal dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan.   

            Model Restorative Justice telah banyak diterapkan di berbagai negara maju di dunia seperti Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang, Korea dan lain-lain. Salah satu keuntungan yang didapat dari penerapan model ini adalah mengurangi beban lembaga pemasyarakatan dalam menampung narapidana. Kasus kerusuhan di LP Tanjung Gusta Medan, misalnya merupakan dampak dari overcapacity penghuni dibandingkan ruang penjara. Selain itu, efisiensipun dapat dilakukan di lembaga pengadilan, dengan tidak menyidangkan kasus-kasus “kecil” (pencurian kakao, semangka, kapas, sandal jepit dan lain-lain) yang tidak seberapa nilainya jika dibandingkan dengan biaya operasional persidangan. Penerapan Keadilan Restoratif juga dapat mengurangi tunggakan perkara di Mahkamah Agung yang setiap akhir tahun tidak kurang dari 8.000 perkara yang tidak mampu diselesaikan oleh 54 Hakim Agung. Oleh karenanya aparat di Kepolisian dan Kejaksaan dapat berperan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum pidana yang mengandung konflik antar individu.

            Namun tidak mudah untuk mewujudkan pendekatan restorative justice dalam sistem pemidanaan di Indonesia, yang masih dipengaruhi mainstream retributive justice, dengan teori dasar bahwa perbuatan pidana merupakan pelanggaran terhadap aturan yang dibuat oleh negara, sehingga penyelesaian perkara hanya fokus terhadap pelaku sedangkan hak-hak korban diwakili oleh negara. Hingga saat ini model Restorative Justice yang merupakan bagian dari hukum progresif, masih menjadi perdebatan antar ahli hukum dan belum mampu diterapkan oleh aparat penegak hukum secara sistemik.

            Oleh karena itu, dalam  rangka menyambut Milad ke-53, Universitas Ahmad Dahlan mengangkat tema tentang: Restorative Justice for a more Harmonious Indonesia. Maksudnya, dengan Keadilan Restoratif dapat menciptakan kehidupan yang harmonis dan seimbang di Indonesia. Universitas Ahmad Dahlan dapat berperan penting dalam mendorong perbaikan sistem hukum di Indonesia, sebagai wujud tanggung jawab moral akademik, dengan menawarkan gagasan paradigma Restorative Justice. Momentum perubahan telah terbuka, seiring dengan dilakukannya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Dewan Perwakilan Rakyat saat ini.

 

Penulis :

Dekan Fakultas Hukum UAD

Ketua Panitia Milad 53 UAD.

 

Perempuan dan Tayangan Humor Televisi

 

Oleh Rendra Widyatama, SIP., M.Si

Dosen Ilmu Komunikasi UAD

 

Dalam siaran televisi, perempuan dapat dilihat pada berbagai program, termasuk acara humor. Penampilan mereka sangat bervariasi, di antaranya sebagai bintang tamu, pemeran utama, pemeran pembantu, maupun sekedar figuran. Umumnya, mereka berasal dari kalangan artis. Namun dalam tayangan humor di televisi kita, justru cenderung merendahkan mereka sebagai wanita.

Sebagai Pemanis

Secara fisik, perempuan memang memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi bila perempuan tersebut memiliki wajah ayu, postur tubuh indah, dan suara merdu. Itu sebabnya perempuan selalu mampu mencuri perhatian semua orang, bahkan sesama wanita itu sendiri.

Namun keterlibatan perempuan dalam tayangan humor di televisi tersebut sebenarnya cenderung sebagai pemanis dibanding sebagai pelawak yang umum didominasi laki-laki. Tidak jarang, mereka digunakan hanya sebagai pajangan, pelengkap, penyegar, dan memancing lawan main, serta penyeimbang comedian laki-laki. Masih terlalu sedikit perempuan komedian yang benar-benar bisa melawak. Saya pernah menghitung, dari 24 perempuan yang muncul dalam acara humor, hanya satu yang benar-benar berprofesi sebagai pelawak. Sebagian besar lainnya hanya menonjolkan aspek sensualistas semata.

Kesan menonjolkan fisik dibanding kemampuan melawak juga terlihat dari penampilan yang diperlihatkan. Sebagian besar dari mereka datang dari perempuan berparas ayu dan glamour. Payahnya, mereka yang tak mengandalkan tampilan fisik, lebih memilih menampilkan perilaku norak, konyol dan komedi slapstick dibanding humor cerdas yang mendidik.

Gaya lawakan perempuan juga tidak menonjol. Ada yang terlihat selalu menghafal dan membaca, namun lebih banyak yang sekadar menimpali lawakan yang disampaikan comedian pria.

Materi Lawakan

Bila menelisik materi yang dijadikan guyonan, ada fenomena menarik. Dalam tayangan humor, porsi perempuan dalam menyampaikan lawakan tetap lebih sedikit dibanding laki-laki. Data ini membuktikan bahwa perempuan berposisi lebih inferior dibanding pria. Artinya, tudingan kaum hawa sebagai pemanis program lawakan, tampaknya terbukti.

Dari lawakan yang diperlihatkan oleh perempuan, juga terdapat fenomena menarik. Perempuan yang selama ini dicitrakan lemah lembut, dalam humor justru mulai ditampilkan keras, kasar, dan nakal. Image seperti itu adalah citra maskulin, yang selama ini dilekatkan pada laki-laki. Bahkan dari pengamatan atas nilai-nilai sosial yang diperlihatkan dalam humor, perempuan juga andil dalam mengekplorasi lawakan anti sosial. Yaitu candaan yang menampilkan nilai-nilai yang tidak mendukung kebaikan, misalnya mengolok-olok, merendahkan dan melecehan orang lain, melakukan kekerasan fisik maupun verbal, menyampaikan ucapan jorok dan perilaku tidak sesuai dengan jenis kelaminnya (misalnya pria berpenampilan wanita, atau sebaliknya); egois dan ingin menang sendiri; tidak menghargai orang lain; dan sebagainya. Rupanya, berbagai tampilan perempuan dalam humor semacam itu seolah sedang melakukan reposisi atas citranya selama ini. Yaitu pergeseran citra yang lembut ke gambaran yang keras dan kasar.

Memang tidak ada yang salah dalam keterlibatan perempuan dalam program humor di televisi. Namun, ada baiknya keterlibatan tersebut karena kemampuan membangkitkan tawa secara cerdas, bukan karena menonjolkan sisi kecantikan fisik, menampilkan sensualitas atau kekonyolannya. Sungguh sayang bila perempuan yang kita jaga sebagai sosok yang mulia, terhormat dan dihormati, akhirnya terlibat dalam lawakan yang penuh dengan kekonyolan, kasar, dan nakal. Karena penampilan-penampilan seperti itu, hanya akan merendahkan kedudukan perempuan itu sendiri.

Rokok dan Alkohol Jalan Menuju Narkoba

“Bukan hanya berawal dari rokok, tapi juga alkohol yang menjerumuskan seseorang, terutama remaja untuk mulai mengkonsumsi Narkoba” ungkap salah satu pembicara yang biasa dipanggil Mas Bro Eko pada Talkshow Narkoba dan Aids di Auditorium kampus I Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Sabtu (30/11 2013) dalam rangkaian Milad UAD ke-53. Topik yang diangkat dalam acara tersebut adalah narkoba dan aids ditinjau dari segi hukum dan kesehatan.

Hadir sebagai pembicara Gatot Sugiharto, S.H.M.H dari Fakultas Hukum UAD sebagai pemapar narkoba dan aids ditinjau dari segi hukum, Dr.dr. Arkrom, M.kes dari Fakultas Farmasi UAD sebagai pemapar narkoba dan aids dari segi kesehatan, dan Mas Bro Eko dari Panti Sosial Pramudi Putra (PSPP).

Talkshow ini diikuti oleh mantan pencandu narkoba, mahasiswa dan siswa SMA, serta bapak ibu guru dan dosen. Talkshow ini juga dimeriahkan dengan pembagian doorpres menarik diakhir acara, serta tanya jawab seputar narkoba dan aids.(Amw/adj)

Semarakkan Milad Fakultas Hukum UAD dengan Lomba-lomba

 

Memasuki usianya yang ke-16, Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (FH-UAD) menyemarakkan hari jadinya dengan beragam perlombaan. Melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum UAD, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) zona dua Fakultas Hukum UAD, Komunitas Peradilan Semu (KPS) FH-UAD, dan Komunitas Debat Konstitusi FH-UAD milad tersebut dilaksanakan dengan semangat kebersamaan.

Milad Fakultas Hukum UAD ke-16 ini telah diawali sebelumnya dengan Kompetisi Debat Konstitusi pada pra ujian mid semester gasal (18-19/10) dan dilanjutkan dengan beberapa rangkaian agenda pasca mid semester.

Eka Puji Lestari, salah satu panitia pelaksana, mengemukakan bahwa rangkaian agenda Milad Fakultas Hukum dijadwalkan dengan segudang acara. Ia menyebutkan, akan ada Kompetisi Futsal dan Bulu Tangkis Antar Angkatan se-Fakultas Hukum UAD, Hari Keakraban, Lomba Poster, Diskusi Publik, Pelatihan Jurnalistik, dan rencananya akan diakhiri dengan malam inagurasi pada kisaran bulan Desember mendatang.

Pada pembukaan rangkaian Milad tersebut, Dekan Fakultas Hukum UAD, Rahmat Muhajir Nugraha, S.H., M.H., menyatakan bahwa ini sebagai wujud rasa syukur sekaligus untuk menyediakan wadah mahasiswa untuk berpartisipasi dalam meraih prestasi.

“Ini semua dilakukan sebagai upaya mempererat persaudaraan dan kekeluargaan antar elemen di Fakultas Hukum UAD” tambahnya.

Di sisi lain, Aji Galih, selaku ketua panitia Milad Fakultas Hukum UAD ke-16, mengaku optimis bahwa rangkaian Milad ini akan memupuk dan menumbuhkan karakter mahasiswa yang bermoral. Dengan tema “Selangkah Menuju Karakter Hukum Yang Bermoral” Aji berharap Milad ini akan menjadi awal langkah mahasiswa hukum meraih cita-cita hukum yang berkeadilan. (fmi)

Desain Kurikulum LPTK dalam Implementasi Kurikulum 2013, KKNI, dan Penyiapan Pendidikan Profesi Guru FKIP UAD

Perubahan kurikulum 2013 tidak menjadi persoalan sekolah saja, hal tersebut juga berpengaruh pada kurikulum di Lembaga Pendidikan Tinggi Keguruan (LPTK). Sebab, LPTK cenderung mengalami perubahan dan mementingkan ilmu atau kebijakan dari lulusan yang akan dihasilkan. Melalui LPTK tentu akan menghasilkan calon tenaga pendidik yang beorientasi terhadap ilmu dan mata kuliah, dan dapat menunjang kemampuan dalam mengajarkan masing-masing disiplin ilmu. Mata kuliah yang diajarkan pun mengantarkan lulusannya untuk menguasai kedua kemampuan tersebut. Sesuai KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia), sasaran kedepan penataan mutu pendidikan tinggi berdasarkan penjenjangan kualifikasi lulusan. Penyesuaian capaian pembelajaran (learning outcomes) untuk prodi sejenis, serta penyetaraan capaian pembelajaran dengan penjenjangan kualifikasi dunia kerja. Hal itu diungkapkan Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M. Pd  (Rektor UPI sekaligus Ketua Asosiasi Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan) dalam Sarasehan “Desain Kurikulum LPTK dalam Implementasi Kurikulum 2013, KKNI, dan Penyiapan Pendidikan Profesi Guru” yang berlangsung di Auditorium Lantai 4 Kampus 2 Universitas Ahmad Dahlan, Senin (25/11).

            Sarasehan ini dibuka oleh Rektor UAD, Dr. Kasiyarno, M.Hum. Turut hadir juga Wakil Rektor I Dr. Muchlas, M.T., Dekan FKIP Dra. Trikinasih Handayani, M.Si, Wakil Dekan FKIP Dr. Suparman, M.Si, D.E.A, beserta seluruh dosen di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UAD.

            Menurut Dody Hartanto, M.Pd. selaku ketua penyelenggara, dulu LPTK yang dikenal sebagai ‘wider minded’ akhirnya berubah nama menjadi universitas. Hal ini dikarenakan adanya keinginan untuk menghilangkan keraguan terhadap kualitas lulusan yang hanya berorientasi untuk menjadi guru, dan hasilnya akan melemahkan penguasaan materi ilmu pengetahuan yang diajar. Perubahan menjadi universitas menjadikan lulusan sebagai “sarjana plus” yang menguasai dari masing-masing disiplin ilmunya dengan baik, serta memiliki kemampuan untuk mengajarkan ilmu tersebut, bukan sebagai lulusan yang memiliki kemampuan bidang pengajaran tetapi tidak memiliki penguasaan ilmu dengan baik.

               “Diharapkan melalui sarasehan ini kurikulum di UAD mampu menyesuaikan dengan standar KKNI dan Kurikulum 2013. Sehingga ke depan lulusan UAD memiliki bekal penguasaaan kompetensi yang cukup dan mampu berdaya saing di dunia luar”. (Doc)

Kreskit: Hunting Bareng Menyusuri Kekayaan Kotagede

Minggu, 24 Nopember 2013 Kreativitas Kita (Kreskit) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) beserta puluhan calon anggota baru adakan hunting bareng menyusuri berbagai objek menarik di Kotagede.

“Banyak objek yang bisa dijadikan bahan berita dan lokasinya juga strategis karena dekat dengan pasar, toko-toko kerajinan perak, situs-situs bersejarah, serta tidak terlalu jauh dari kampus.” Jelas Isna selaku ketua panitia. Rohmin selaku seksi acara menambahkan nantinya calon anggota baru akan dibagi menjadi beberapa kelompok kecil dan dibagi ke dalam beberapa pos yang sudah dipersiapkan. Mereka dibebaskan untuk menentukan sendiri siapa narasumber yang akan mereka mintai keterangannya. Masing-masing diminta untuk membuat berita sendiri sesuai dengan objek yang mereka inginkan.

Hunting berita ini merupakan agenda rutin yang dilakukan Kreskit sebagai bagian dari proses calon anggota untuk menjadi insan jurnalis yang handal. Terbukti dengan diadakannya hunting berita ini, calon anggota baru akan belajar sendiri serta memberikan bekal bagaimana mencari berita yang baik, menarik dan hangat sebelum mereka berkutat dan berkecimpung di dunia tulis menulis.(idj)