Penulis adalah Ketua Program Studi PGPAUD
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Ahmad Dahlan
Mahasiswa Social Science Universiti Sains Malaysia
Memberikan dongeng kepada anak, dengan cerita sederhana, penuh kelembutan dapat dipakai untuk mendekatkan emosi serta mantransfekan nilai etika moral kepada anak. Lebih baik daripada membiarkan anak asik di depan TV.
TV merupakan media hiburan yang tidak lagi memberikan efek pendidikan dan menanamkan nilai luhur. Ia Lebih banyak menampilkan hiburan, promosi serta informasi yang terkadang justru merusak moralitas anak. Meski selalu dianjurkan agar orangtua menyertai dan mendampingi anak ketika menonton TV. Namun mungkinkah semua orangtua mampu dan punya waktu? Jikapun ada waktu, bagaimana dengan tayangan-tayangan yang menyesatkan yang sangat sulit dihindari meski telah memilih dengan hati-hati. Bagaimana ketika anak memilih sendiri ketika orangtua tidak ada di rumah, sementara saat ini tidak ada lagi toleransi bagi pendidikan untuk mengcounter acara. Di Negara yang sadar akan pendidikan, sangat selektif terhadap boleh tidaknya acara ditayangkan, namun di Negara kita. Sangat sulit bukan? Maka mari kita lihat berbagai dampak negative serta apa yang bisa dilakukan oleh orangtua.
Kita mulai dari balita, mereka adalah anak yang tumbuh kembangnya dikendalikan oleh lingkungan. Sehingga peran lingkungan, diantaranya orangtua, teman, media bermain sangat diperlukan bagi perkembangan psikologisnya, baik kecerdasan, perkembangan emosi social, etika moral serta fisik motoriknya. Dengan kesempatan serta peluang yang diberikan kepada anak. Maka, potensi yang begitu luar biasa akan tumbuh dan berkembang pesat, sehingga terkadang fisik tak mampu lagi melayani kreativitasnya. Konon, orang genius hanya menggunakan 6 % saja dari potensinya. Sesuatu yang asli (given) dari Tuhan adalah baik dan siap dioptimalkan. Namun bagaimana dan siapa yang siap diajak mengembangkannya?
Perkembangan anak bermula dari perkembangan motorik selanjutnya diikuti perkembangan yang lain, bahasa, emosi, moral, kecerdasan social, keagamaan dll. Ketika anak banyak menonton TV bagaimana kesemuanya dapat dikembangkan? Anak yang semestinya berlatih berlari, main peta umpet, main layang-layang, nekeran, melompat dan lain-lain sudah digantikan dengan kotak ajaib. Sehingga, tulang-tulang anak-anak sekarang tidak kuat. Mereka menjadi manusia egois, karena bermainnya hanya sendiri dan dua arah. Padahal permaianan bagi anak, selain mengembangkan motorik, menguatkan tulangnya, mengendalikan emosi, melatih kehidupan social, serta dapat dipakai untuk merangsang multi kecerdasan.
Konsentrasi anak harus dilatih dan dikembangkan agar majadi anak yang cerdas. Jika waktu banyak dipakai untuk melihat TV, dengan jarak tertentu dan pergantian warna yang sulit dihindari tentu akan menggangu mata dan konsentrasi anak, sehingga berefek terhadap belajar. Biasanya ketika melihat TV, secara tidak disadari sambil ngemil. Sehingga banyak ditemukan anak obesitas karena banyak duduk dan kegiatannya yang pasif. Makan makanan ringan dan malas bergerak. Dampak negative lainnya adalah terjadinya proses peniruan yang muncul secara tidak disadari.
Manusia adalah makhluk yang sangat unik, otaknya mampu menyimpan berbagai informasi penting dan tidak mudah hilang, apalagi jika hal itu terjadi secara terus menerus dan menarik bagi anak. Proses nontoni, niteni dan nerokke (konsep pendidikan Ki Hajar Dewantoro) benar-benar harus diperhatikan. Pada 2-3 th (pra sekolah) sangat dipengaruhi apa yang dilihat dan didengar) faham akan perintah sederhana, dapat menggunakan imaginasi untuk mewakili pikirannya. Usia 4-5 tahun anak dapat membangun kesan mental dalam bentuk imitasi, disinilah model peran sangat penting. Usia 7-11 tahun faham akan aturan serta makna hukuman. Jika tayangan TV dan jam tayangan banyak yang tidak mendidik bagi anak, kita dapat membayangkan bagaimana perkembangan perilaku anak didik kita.
Banyak dijumpai dalam permasalahan anak di sekolah maupun pada biro konsultasi dimana orangtua banyak mengeluhkan perkembangan anaknya, mulai dari masalah sederhana sampai yang kompleks. Diantaranya adalah: masalah konsentrasi, malas belajar, ngantuk di sekolah, bicarnya kasar, suka berkelahi, suka membantah, egois, pemalas. Dari manakah hal ini terjadi? Mari kita amati bersama, berapa jam anak kita duduk dan meilhat TV atau bermain bersama Laptop dengan game-game yang menarik? sepak bola, volli, tenis meja, melihat film perang.
Hasil riset oleh beberapa ahli hasil negative yang signifikan karena seringnya melihat TV dengan hal-hal yang negative dengan perilaku negative, sebagai efek peniruannya. Dr. Jesse Steinfield melaporkan studinya bahwa 94. 3 % film kartun menyajikan adegan kekerasan dan 81, 6 % sajian-sajian prime time menyuguhkan hal serupa. Sementara pengamat lain juga menemukan bahwa waktunya menonton TV rata-rata enam jam sehari (sementara batas toleransi adalah maksimal dua jam sehari untuk usia anak sekitar 3 hingga 7 tahun). Bagaimana dengan putra putri kita?
Mari kita lakukan pengamatan, selanjutnya membatasi dengan cara yang edukatif. Bagi anak kecil, berikan kesempatan untuk bermain, membuat kesepakatan mengenai jam tayang dan acara TV. Memberikan kesibukan anak dengan berbagai permainan edukatif, mendongeng sebelum tidur sambil menerangkan efek negative TV agar anak dapat memahami secara perlahan-lahan. Disiplin, kesabaran, kasih sayang dan ketauladanan orangtua adalah kunci keberhasilan dalam mendidik.