Intergasi Pendidikan Ksatria dalam Pendidikan Karakter

 

Dani Fadillah*

Setelah membaca sebuah karya fenomena buatan RA Kosasih, yaitu Bharatayudha dan Mahabharata. Secara pribadi penulis jadi berpikir kapan pendidikan ksatria dapat diterapkan dalam sistem pendidikan kita? Konsep pendidikan ksatria ini bukanlah sebuah wacana tandingan pendidikan karakter yang tengah bergaung saat ini, namun justru sebagai wacana yang diharapkan dapat menjadi inspirasi guna menyempurnakan konsep pendidikan karakter agar lebih baik lagi.

Lantas seperti apa dan untuk apakah pendidikan ksatria itu? Pendidikan ksatria adalah pendidikan yang menekankan pada para peserta didik untuk tidak bertindak pragmatis dan mengedepankan kepentingan “menang-kalah” dengan segala cara (zero sum game) dalam perjuangan untuk memenangkan persaingan, namun harus mengedepankan sebuah idealisme penting yang harus tetap dipertahankan, yaitu kehormatan. Persaingan memang erat kaitannya dengan kalah-menang. Tapi, wajib hukumnya untuk menyediakan ruang bagi kehormatan di dalamnya.

Memang dalam sebuah persaingan selalu ada yang menang dan ada pula yang kalah. Namun, apakah persaingan selalu harus selalu bertumpu pada kejadian menang-kalah? Dalam kisah-kisah pewayangan kita dapat menemukan banyak hal terkait konsep pendidikan ksatria yang dapat mengedepankan kehormatan di atas segala-galanya, termasuk kemenangan di depan mata yang bisa dengan mudah didapatkan. Arjuna tidak pernah mau bertarung melawan Karna, karena dalan asumsi Arjuna, Karna bukanlah murid Doryudana hingga tidak mungkin akan menang melawan dirinya. Meski pada kenyataannya Arjuna keliru, sebab selama ini Karna selalu mengintip murid-murid Doryudana berlatih dan dia juga memiliki kesaktian yang sama dengan Arjuna. Namun, dalam kisah tersebut kita tentu dapat mengambil hikmah bahwa seorang ksatria pantang untuk menghabisi lawan yang lemah, dan para ksatria diharamkan untuk memainkan pola zero sum game dalam proses menghadapi lawan.

Kisah Mahabharata dan Bharatayudha memanng memiliki sisi-sisi yang masih diperdebatkan, namun kisah-kisah ksatria di dalamnya meninggalkan banyak pelajaran positif yang bersifat universal. Seorang ksatria dihormati oleh kawan maupun lawan karena memiliki kehormatan sejati yang benar-benar murni berasal dari tingkah dan perilakunya sendiri, bukan karena keturunannya, juga bukan karena dia berhasil merebut kekuasaan dari pihak lawan.

Lihatlah saat ini ulah para oknum pemimpin dan wakil-wakil kita yang tidak memiliki sikap ksatria. Sikap mereka yang tidak memiliki spirit ke-ksatria-an sudah tampak jelas sejak mereka masih belum mendapatkan kursi empuk di DPR, sejak masa kampamnye tidak sedikit dari mereka yang mementingkan kemenangan dengan cara apa pun, meski pun dengan menyikut saudara seperjuangan dalam kalangan parpol sendiri. Kemudian setelah berhasil mendapatkan kursi kekuasaan tidak sedikit dari mereka yang lantas malah sibuk untuk memakmurkan diri dan golongannya sendiri dari pada mengurusi kepentingan rakyat. Dan ketika secara nyata mereka telah melukai hati rakyat dengan segala kebijakan dan tingkah lakunya. Alih-alih sadar diri lantas minta maaf dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka malah tidak merasa bersalah dengan melontarkan berjuta alasan untuk membenarkan setiap kesalahannya itu. Dari pada para pemimpin yang memiliki sikap ksatria mereka lebih serupa dengan para ‘Kurawa’ yang penuh dengan keserakahan.

Seorang pemimpin dengan jiwa ksatria akan mundur dari jabatannya kalau dia terlibat dalam peristiwa yang memalukan serta tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin. Singkatnya sikap “tahu malu” akan muncul jika telah melakukan kesalahan dan lari dari tanggung jawab. Tradisi ksatria inilah yang telah luntur dan amat sangat langka di sekitar kita.

*Dosen Ilmu Komunikasi UAD

SEBUAH PERTANYAAN UNTUK UN

 

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Munsyi Pendidikan Bahasa dan Sastra FKIP

Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

 

Pelaksanaan UN setiap tahun dan di semua jenjang pendidikan, dari SD, SMP, hingga SMA dan sederajat, selalu memunculkan anomali. Adanya siswa kesurupan, melakukan aksi contek-mencontek di kelas, sampai bunuh diri. Belum lagi fenomena pola pembelajaran di kelas yang mendadak berubah (baca: di-drilling soal-soal UN per minggu). Akibatnya, siswa menjadi cepat bosan, ngantuk, lemas, semangat belajar rendah, dan ujung-ujungnya mengalami stres.

Pelaksanaan UN nyata-nyata merupakan bentuk kesalahkaprahan dari dua hal. Pertama, kesalahkaprahan segi konstitusi. Pemerintah selalu berdalih bahwa pelaksanaan UN sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Berbekal PP tersebut, pemerintah terus-menerus melaksanakan UN setiap tahun, kendatipun terdengar kritik, masukan, dan saran dari berbagai pihak.

Padahal, aturan yang digunakan oleh pemerintah jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya Pasal 58. Pasal 58 UU Sisdiknas memberikan kewenangan penuh bagi pendidik/guru untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik/siswa, bukan pihak Kemdikbud atau Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) seperti yang terjadi selama ini.

Kedua, kesalahkaprahan segi evaluasi pendidikan. UN merupakan tes sumatif yang bertujuan mengevaluasi kemampuan akhir pelajar setelah menjalani proses pembelajaran di setiap satuan pendidikan. Adalah masuk akal, jika yang berhak mengevaluasi siswa ialah guru, bukan pemerintah melalui UN. Namun, posisi guru di Indonesia selama ini belum maksimal, untuk tidak mengatakan rendah, dalam melakukan daya tawar evaluasi pembelajaran.

Secara paradigma, UN bercorak evaluasi yang hakikatnya bertujuan untuk memperbaiki desain dan kualitas pembelajaran. Dari situ, harapannya desain dan kualitas pembelajaran di kelas diperbaiki dengan berbagai upaya dan ikhtiar. Namun, harapan tinggal harapan. Usai pelaksanaan dan pengumuman hasil UN, usai pula perhatian pemerintah terhadap guru dan sekolah. Walhasil, hasil UN sama sekali tidak berpengaruh apapun terhadap kemajuan pembelajaran di kelas.

Pada gilirannya, UN juga berbeda dengan Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). SNMPTN merupakan tes prediksi untuk menakar kemampuan kognitif siswa guna mengantisipasi kemampuan calon mahasiswa. Fungsi UN dan SNMPTN berbeda. Tak bisa sembarangan dicampuradukkan antara keduanya. Adalah bijaksana jika pihak Kemdikbud, khususnya Dikti memahami perbedaan kedua fungsi tes tersebut.

Kembali ke soal UN. Dikarenakan bercorak evaluasi, UN sepatutnya tidak bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa. Yang selama ini terjadi, baik di jenjang SD, SMP, maupun SMA dan sederajat, UN selalu dijadikan sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal, UN berbeda dengan testing yang memang memiliki fungsi untuk menentukan kelulusan. Lantas, apa solusi terbaik yang dapat diambil oleh pemerintah saat ini?

Jawabannya sederhana: hapuskan UN dan kembalikan fungsi evaluasi pembelajaran siswa kepada guru di sekolah, sebagaimana termaktub dalam Pasal 58 UU Sisdiknas. Dengan cara demikian, kita pun yakin bahwa rezim testing UN yang serba anomali itu, akan menghilang seketika. Pada gilirannya, citra dan martabat guru sebagai pendidik profesional akan pulih kembali, dan pemerintah semakin memperbaiki desain dan kualitas pembelajaran di sekolah. Semoga![]

PERLUNYA MENANAMKAN KARAKTER KEWIRAUSAHAAN UNTUK CALON GURU PGSD

Oleh : Nur Hidayah, M.Pd.

(Dosen PGSD FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta,

email: hzam_09@yahoo.com /Hp. 085729184200)

 

Matakuliah kewirausahaan merupakan alternatif yang baik untuk dikembangkan di tingkat perguruan tinggi. Mengingat banyaknya informasi yang menyebutkan bahwa lulusan perguruan tinggi yang semakin tahun semakin banyak, justru tidak menghasilkan sarjana-sarjana yang “plus” tetapi lebih banyak mencetak tenaga-tenaga buruh/karyawan yang bekerja tidak sesuai dengan dimensi keilmuannya. Mengacu pada data direktorat kependidikan terdapat 83,18% menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin rendah tingkat kemandiran dan semangat kewirausahaannya, sehingga perguruan tinggi (PT) dianggap tidak berhasil dalam membekali mahasiswanya dalam kemandirian dan tidak berhasil dalam menanamkan karakter-karakter kewirausahaan.

Pendidikan kewirausahaan pada intinya adalah menciptakan kreativitas inovasi. Pendidikan kewirausahaan mendidik peserta didik melakukan perubahan dengan proses kerja yang sistemik. Proses kerja yang dimaksud seperti menghubungkan konsep yang relevan (connecting the concepts), melakukan eksplorasi terhadap hasil (exploring the impact), berpikir yang tidak lagi bersifat terarah (convergent thinking) atau pola pemikiran yang berbeda (thinking differently), mengorganisasikan system (organizing the system) dan mengaplikasikan suatu standard dan etika (applying standard and ethic). 

Adapun ekonomi kreatif menekankan pemecahan masalah yang produktif yang nantinya peserta didik mampu menciptakan ide-ide kreatif sekaligus ide-ide yang teruji dengan kritis. Perlunya berpikir kreatif dalam era globalisasi ini dengan berbagai alasan. Perkembangan yang cepat dalam persaingan dan industri, penggunaan sumber daya manusia kreatif secara efektif dan menemukan cara-cara baru dalam memecahkan masalah.

Beberapa karakter yang dapat diciptakan dari kewirausahaan sangat banyak, seperti: kemandirian, keberanian, kesiap dan kesigapan, kejujuran, dan lain sebagainya adalah modal dasar dalam profesi keguruan khususnya untuk menjadi guru SD. Mengingat sudah mulai lunturnya keteladanan dari guru untuk para siswanya. Sehingga banyak siswa yang tidak lagi mengidolakan guru sebagai figur dalam kehidupannya dan lebih suka mencari idola-idola lain yang terkadang jauh dari karakter bangsa Indonesia yang berbasis pada Pancasila dan UUD 1945.

Mahasiswa sebagai agent of change tentunya jika dibelajarkan dengan pendekatan-pendekatan yang berbasis pada keaktifan, kreatifitas, dan menyenangkan maka akan mudah menumbuhkan atmosfera belajar sehingga akan tumbuh kemampuan untuk pengembangan potensi dirinya, sehingga kemandirian akan dengan mudah tercipta. Oleh karena itu, model pembelajaran kewirausahaan di PT seyogyanya dikorelasikan dengan dunia usaha dan dunia industri yang sesuai dengan karakter keilmuan masing-masing.

Khusus untuk PGSD sebaiknya diarahkan pada kemampuan enterpreneur dibidang pendidikan, seperti dalam dunia usaha pengembangan media pendidikan anak yang berbasis lingkungan, alat-alat peraga pendidikan, dan dibawa untuk berkunjung ke dunia usaha/industri yang menerapkan pola-pola manajemen profesional. Dengan begitu mahasiswa calon guru akan melakukan sebuah proses transformasi keilmuan yang didapat secara langsung dan bahkan bisa melakukan proses learning by doing sehingga akan meninggalkan bekas berupa exsperience (pengalaman). Jika hal itu dilakukan maka mahasiswa calon guru juga akan mengalami proses pematangan berpikir yang dapat diindikasikan sebagai proses pendewasaan diri, sehingga karakter kemandirian, keberanian, keuletan, dan lain sebagainya akan mendarah daging dalam dirinya dan akan menjadi suri tauladan bagi murid-muridnya dalam proses penjalankan profesi yang diembannya. Insyaaloh.

Alumni FKM hadirkan Wakil Menteri Kesehatan RI

 

Alumni FKM hadirkan Wakil Menteri Kesehatan RI

Wakil Menteri Kesehatan RI (Republik Indonesia) Prof.dr.Ali Ghufron Mukti,M.Sc.,Ph.D mengisi keynote speaker pada acara Seminar Nasional dengan tema “Meneropong Masa Depan Jaminan Kesehatan Di Indonesia” acara yang diadakan Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) tersebut juga menghadirakan sebagai pembicara Drs. Afnan Hadikusumo (DPD RI), dr. Mulyo Wibowo (PT.Askes), Isnavodiar Jatmiko (PT. Jamsostek), dr. Widiyanto Danang Prabowo,MPH (MPKU PWM DIY), dan Surmiyati,SKM.,MPH (Praktisi Kesehatan).

Acara yang berlangsung di auditorium kampus 1 UAD hari Sabtu (25/5) tersebut dibuka oleh Dr.Muchlas,MT (Wakil Rektor 1). Serta disambut langsung oleh Rosyidah,S.E.,M.Kes selaku Dekan FKM. Ibu Rosyidah dalam sambutannya berharap semua masyarakat dapat memahami jaminan kesehatan untuk meningkatkan derajat sehatnya

Acara tersebut merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Kesehatan Masyarakat UAD (IKAKESMADA) yang telah berdiri sejak 2011. Jaminan kesehatan saat ini memang menjadi salah satu isu disektor kesehatan, karena mulai 1 Januari 2014 pemerintah akan memulai program BPJS Kesehatan untuk menjamin kesehatan seluruh masyarakat Indonesia.

Seminar kali ini dihadiri sekitar 150 peserta dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, dosen sampai praktisi kesehatan. Seminar ini diharapkan bisa menambah wawasan bagi kita semua terutama terkait jaminan kesehatan. Ahmad Ahid Mudayana,SKM.,MPH ketua alumni menyampaikan bahwa Isu jaminan kesehatan ini menarik bagi kami yang bergerak disektor kesehatan.  

Pada kesempatan acara tersebut Wakil Menteri Kesehatan juga memberikan sumbangan berupa buku yang langsung diserahkan kepada Dekan FKM.(AAM)

Alumni FKM UAD Memberikan Beasiswa Kepada Mahasiswa FKM

Alumni FKM UAD Memberikan Beasiswa Kepada Mahasiswa FKM

Bersamaan dengan diselenggarakannya seminar nasional Sabtu (25/5), Ikatan Keluarga Alumni Kesehatan Masyarakat UAD (IKAKESMADA) memberikan beasiswa kepada 3 mahasiswa berprestasi FKM. Pemberian beasiswa melalui seleksi yang dilakukan oleh IKAKESMADA, Selanjutnya diputuskan tiga mahasiswa di antaranya: Noorida Febriyanti, Wahyu Siswanto, Eva Muslimawati Saputri sebagai penerima beasiswa.

Masing-masing mahasiswa menerima beasiswa sebesar lima ratus ribu rupiah. Adanya beasiswa ini merupakan sebagai salah satu sumbangsih yang diberikan IKAKESMADA kepada FKM UAD untuk lebih memajukan FKM UAD kedepan. Pemberian beasiswa ini pertama kali dilakukan oleh IKAKESMADA yang berdiri sejak 2011 sebagai bentuk komitmen untuk berpartisipasi dalam mengembangkan FKM.

“Program beasiswa ini baru pertama kali. Semoga, ini bisa kita selenggarakan secara rutin setiap tahun” kata Ahmad Ahid Mudayana,SKM.,MPH selaku ketua IKAKESMADA. Lebih lanjut dosen FKM ini menjelaskan bahwa dana beasiswa ini merupakan sumbangan sukarela yang diberikan oleh alumni FKM UAD.

Dekan FKM, Rosyidah,S.E.,M.Kes sangat senang dengan adanya beasiswa dari IKAKESMADA dan berharap adanya beasiswa ini bisa memotivasi para mahasiswa untuk terus berprestasi sehingga mampu membawa nama baik FKM ditingkat Nasional maupun Internasional.

“Saya ucapkan terima kasih kepada Ikakesmada yang telah memberikan beasiswa pada mahasiswa FKM” ucap Dekan FKM. “Dukungan akan selalu diberikan oleh dekanat terhadap ikatan alumni FKM karena bisa membantu FKM dalam mengembangkan fakultas” mungkasnya lagi. (Doc/Sbwh)

Kerjasama Luar Negeri Pascasarjana UAD Short Course and Intellectual Discussion

 

Program Pasacasarjana Universitas Ahmad Dahlan (PPs UAD) bekerjasama dengan Kantor Urusan Internasional (KUI) UAD menyelenggarakan program Student Mobility pada 19-23 Mei 2013 yang dipusatkan di Universiti Utara Malaysia (UUM). Program lawatan ke Luar Negeri bagi Mahasiswa Pascasarjana ini merupakan program yang kedua. Program pertama dilaksanakan pada 26-29 April 2013 di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) serta lawatan ke Singapura dan Thailand yang diikuti oleh 16 mahasiswa. Pada program kedua diikuti oleh 29 mahasiswa dari program studi Pendidikan Fisika S1 dan S2, Pendidikan Bahasa Inggris S2, Manajemen Pendidikan S2, serta 6 dosen pendamping. Kunjungan dilakukan ke Malaysia dan Thailand.

Program yang bertitel Short Course and Intellectual Discussion ini menurut Koordinator Program, Dr. Dwi Sulisworo bertujuan untuk peningkatan wawasan dan rasa percaya diri mahasiswa dalam interaksi global, peningkatan kualitas kerjasama antar Perguruan Tinggi, dan untuk pengembangan ilmu dari narasumber asing. Alhamdulillah, program yang kedua sangat sukses. Hal ini tidak terlepas dari peran dari  Visiting Profesor UAD di UUM Dr. Noer Doddy Irmawati beserta timnya.Sebagai partner pada kegiatan kali ini adalah Fakulti Education and Modern Language, School of Multimedia Technology and Communication, serta Institut Amiruddin Baki.

Berbagai aktivitas yang dilakukan meliputi International Seminar dengan pembicara Prof. Edward Caffarella dan Prof. Rosemary S. Caffarella dari Cornell University yang membahas tentang riset serta kode etik penelitian. Kegiatan lain dalam rangka menyambut Hari Guru Malaysia diselenggarakan Diskusi Intelektual dengan pembicara Dr. Widodo (UAD), Prof. Dr. Suharsimi Arikunto (UAD), Datuk Hassan Harun (Modern School Wadi Shovia). Serta benchmark Sekolah di Institut Aminuddin Baki. Institut ini merupakan lembaga yang bertugas untuk memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para pimpinan sekolah (Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah). Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan untuk 3 hari, 5 hari, 7 hari, 3 bulan, sampai dengan 5 bulan.

Kegiatan yang tidak kalah menariknya adalah penampilan seni oleh delegasi UAD (Indonesia), Thailand, dan tuan rumah Malaysia. Pentas seni 3 negara diselenggarakan dalam rangka memperingati hari guru. Thailand menampilkan tarian Ramayana, Malaysia menampilkan drama teatrikal, UAD (Indonesia) menampilkan Paduan Suara Medley Nusantara. Thailand dan Malaysia didominasi oleh kaum muda, sementara UAD didominasi oleh orang tua. Tepuk tangan meriah pun riuh rendah menyaksikan para mahasiswa pascasarjana UAD yang menyanyi sambil bergoyang menari. Sungguh…kesan yang tak terlupakan, karena membanggakan.

Outcome dari kegiatan ini adalah adanya tawaran joint research dari dua school yang berbeda, permintaan untuk dikirimkan Visiting Professor ke Universiti Utara Malaysia, permintaan segera dijawab untuk Sabbatical Program, Program Student Exchange (one semesters’ credit transfer system untuk 6 mahasiswa, free tuition, akomodasi. Living cost ditanggung oleh peserta), permintaan joint publication dari School of Multimedia Technology and Communication, pertemuan dengan guru dari Sekolah Menengah Kebangsaan Bandar Baru Sintok untuk sister school program, pertemuan dengan Kepala Sekolah Wadi Shofia yang siap untuk menjadi sister school, MoU, franchise pendidikan, pertemuan dengan dosen Bansomdejchaopraya Rajabhat University (BSRU) Thailand untuk kerjasama pelatihan bahasa.

Berbagai permintaan kerjasama tersebut akan segera ditindaklanjuti. Koordinasi dengan pihak-pihak terkait telah dilakukan. Kesempatan baik dan langka bagi para Kepala Sekolah maupun Wakil Kepala Sekolah yang berminat untuk mengikuti program pelatihan di Institute Aminuddin Baki selama 3-5 hari, tentu akan menambah wawasan global. (danangs)

Fakultas Farmasi UAD Adakan Seminar International SMCCR

Penyembuhan Terapi Perlu Kepatuhan Pasien

Fakultas Farmasi selenggarakan seminar internasional SMCCRSabtu,  25 Mei 2013 Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Adakan Seminar Internasional dengan tema The International Conference on Safety Management of Central Cytotoxic Reconstitution (SMCCR) in Pharmacy Practice. Acara yang belansung di The Grand Tjokro Hotel, Yogyakarta, Indonesia tersbut menghadirkan Pembicara dari Belanda yaitu Prof. Dr. A.A. Kaptein (Leiden University Medical center) “Drug Reconciliation”, Dra. L Endang Budiarti, M.Pharm., Apt (Bethesda Hospital Yogyakarta) “Pharmacist Role in Oncology Management” dan Dr. Dyah Aryani Perwitasari, M.Si., Apt (Lecture of Ahmad Dahlan  University) “ Development of pharmacist’s skill in medical reconciliation”

Manajemen Keselamatan Rekonstitusi sitotoksik tengah dalam Praktek Farmasi sangatlah penting bagi kemjuan kefarmasian. Ida Selaku Humas Fakultas menyampaikan, keberhasilan terapi pengobatan tidak mutlak tergantung dari obat yang digunakan, tetapi juga tergantung dari kepatuhan pasien.
Selain itu lanjutnya, lingkungan sosial, kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi keberhasilan terapi. Untuk menciptakan kepatuhan pasien dalam pengobatan sangat diperlukan kerjasama antar tenaga kesehatan dan pasien itu sendiri serta lingkungan sekitarnya. Dengan demikian perlu dikembangkan ketrampilan tenaga kesehatan untuk dapat saling bekerjasama dalam keberhasilan terapi pada pasien.
Lebih lanjut Dosen Farmasi tersebut menjelaskan. Pasien pengguna obat-obat khemoterapi, untuk keberhasilan terapinya juga diperlukan kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien, untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan. Pengelolaan obat-obat khemoterapi diketahui harus dikelola dengan baik karena dapat membahayakan baik bagi pasien maupun tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan obat-obat khemoterapi tersebut.
“Instalasi Farmasi Rumah Sakit punya tanggung jawab yang besar untuk pengelolaan obat-obat khemoterapi, dan yang perlu diperhatikan adalah banyaknya potensi obat-obat khemoterapi yang membahayakan bagi tenaga kesehatan. Untuk itu diperlukan manajemen yang baik untuk pengelolaan obat-obat khemoterapi ini, sehingga aman bagi pasien, aman bagi tenaga kesehatan, dan aman bagi lingkungan.” tambahnya dalam emailnya. (Doc)
 

PBI UAD Adakan Workshop Publikasi Jurnal Internasional

 

Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta mengadakan acara Workshop Publikasi Jurnal Internasional dengan menghadirkan pembicara Dr. Dat Bao dari Monash University, Australia, Senin (20/5) di Ruang Sidang Lantai 3 Kampus 2 UAD.

Dalam penyampaiannya, Dr. Dat Bao menjelaskan bahwa penulisan jurnal internasional dimulai dari penguasaan keilmuan atau wacana dari tiap-tiap dosen. Penguasaan keilmuan tersebut, ujar Bao, dapat dilakukan dengan cara berkolaborasi bersama dosen senior dan menjadi asisten dosen pada perkuliahan yang ada. “Di samping itu, dosen atau akademisi pun harus memperbanyak membaca berbagai literatur dari bidangnya masing-masing,” tambah doktor lulusan Leeds University, Inggris itu.

Salah seorang dosen PBI, Hendra Darmawan, S.Pd. mengatakan, materi yang disampaikan oleh Dr. Dat Bao cukup penting dan kontributif bagi para dosen PBI dan mahasiswa S2 PBI UAD. “Salah satu ungkapan beliau yang saya suka ialah ‘menulis itu tidak cukup bermodal kecerdasan, tetapi juga butuh kerja keras atau ketekunan’,” ujarnya. [sdy]

Mahasiswa UAD Raih Juara II UNITY EduComp

Dengan judul "Smart Schedule” Wisnu Arisandy, Arif Budiarti dan Merlinda Wibowo berhasil lolos menjadi finalis 10 Mobile Aplication. Mahasiswa Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Akhirnya berhasil menjadi juara II pada lomba UNITY Educomp yang diikuti empat puluh peserta tersebut.

Menurut Herman Yuliansyah, ST., M.Eng. selaku pembimbing mengungkapkan bahwa smart schedule merupakan aplikasi prototipe sebagai perluasan dari aplikasi manajemen ruangan dan penjadwalan yang sudah ada di simeru FTI (Studi kasusnya ke situ).

Dalam penjelasannya melalui akun email Herman Yuliansyah mengungkapkan.Tujuan dari aplikasi smart schedule adalah untuk membangun sarana dalam meningkatkan komunikasi antara dosen mahasiswa dan sesama mahasiswa terkait dengan penjadwalan di aktifitas akademik seperti perkuliahan, bimbingan atau aktifitas lainnya.

UNITY Educomp adalah kompetisi di bidang IT yang melombakan aplikasi edukasi, untuk kalangan mahasiswa se-Indonesia. Lomba ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-49 Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang mengusung tema Pendidikan untuk pencerahan dan kemandirian bangsa. Sejalan dengan tema itu lomba tersebut diberi tema “Digital Campus: Smart Innovation for Better Future”

Kompetisi ini bertujuan untuk menyalurkan ide dan kreatifitas mahasiswa dalam mengembangkan aplikasi yang memberi kemudahan serta meningkatkan kenyamanan di bidang akademis. “Kegiatan ini diharapkan dapat memotivasi mahasiswa untuk terus mengembangkan teknologi informasi demi kemajuan dan kemandirian bangsa.

Acar ini merupakan bagian dari Dies Natalis UNY. Pada kesempatan tersebut juga diumumkan 6 finalis dekstop aplication. (Doc/Sbwh)

 

 

Menerapkan Budaya Patient Safety di Rumah Sakit

 

 

Dugaan malpraktek yang dilakukan petugas pelayanan kesehatan yang mengakibatkan pasien mengalami kerugian mulai dari materi, cacat fisik bahkan sampai meninggal dunia memperlihatkan masih rendahnya mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. patient safety (keselamatan pasien) belum menjadi budaya yang harus diperhatikan oleh rumah sakit di Indonesia. Perubahan paradigma dalam lembaga pelayanan kesehatan yang saat ini beralih pada patient centered care belum benar-benar dijalankan dengan baik. Masih ada rumah sakit yang berorientasi pada kepentingann manajemen yang pada akhirnya melupakan keselamatan pasien di rumah sakit. Undang-undang Kesehatan no 36 tahun 2009 sudah dengan jelas bahwa rumah sakit saat ini harus mengutamakan keselamatan pasien diatas kepentingan yang lain sehingga sudah seharusnya rumah sakit berkewajiban menerapkan budaya keselamatan pasien.

Tidak ada lagi alasan bagi setiap rumah sakit untuk tidak menerapkan budaya keselamatan pasien karena bukan hanya kerugian secara materi yang didapat tetapi juga ancaman terhadap hilangnya nyawa pasien. Apabila masih ada rumah sakit yang mengabaikan keselamatan pasien sudah seharusnya diberi sanksi yang berat baik untuk rumah sakit maupun petugas pelayanan kesehatan. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, pihak rumah sakit bahkan petugas pelayanan kesehatan tidak mendapat sanksi apapun sehingga menjadikan penegakan hukum kesehatan di Indonesia masih sangat lemah. Sudah seharusnya apabila terjadi kelalaian bahkan kesengajaan dari pihak rumah sakit  yang mengakibatkan terancamnya keselamatan pasien maka tidak hanya sanksi internal tetapi juga sudah masuk ke ranah pidana. Inilah yang sampai saat ini belum berjalan sehingga masyarakat yang dirugikan karena lemahnya penegakan hukum yang pada akhirnya kasusnya menguap begitu saja.

Ada beberapa faktor yang menajdi penyebab kenapa budaya keselamatan pasien belum benar-benar diterapkan di berbagai rumah sakit. Pertama, rendahnya tingkat kepedulian petugas kesehatan terhadap pasien, hal ini bisa dilihat dengan masih ditemukannya kejadian diskriminasi yang dialami oleh pasien terutama dari masyarakat yang tidak mampu. Kedua, beban kerja petugas kesehatan yang masih terlampaui berat terutama perawat. Perawatlah yang bertanggung jawab terkait asuhan keperawatan kepada pasien sedangkan disisi lain masih ada rumah sakit yang memiliki keterbatasan jumlah perawat yang menjadikan beban kerja mereka meningkat. Selain perawat, saat ini di Indonesia juga masih kekurangan dokter terutama dokter spesialis serta distribusi yang tidak merata. Ini berdampak pada mutu pelayanan yang tidak sama di setiap rumah sakit. ketiga, orientasi pragmatisme para petugas kesehatan yang saat ini masih melekat disebagian petugas kesehatan. Masih ditemukan para petugas kesehatan yang hanya berorientasi untuk mencari materi/keuntungan semata tanpa mempedulikan keselamatan pasien. Keempat, lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan terhadap para petugas kesehatan. Lemahnya pengawasan sendiri dikarenakan beberapa faktor mulai dari terbatasnya personel yang dimiliki dinas kesehatan sampai rendahnya bargaining position dinas kesehatan.

Keempat hal tersebut diatas yang setidaknya menjadi penghalang terwujudnya budaya keselamatan pasien di setiap rumah sakit. jika hal ini tidak segera diselesaikan maka kasus-kasus yang mengancam keselamatan pasien akan terus terjadi sehingga perlu upaya yang maksimal untuk mewujudkan budaya keselamatan pasien. Mulai diterapkannya aturan baru terkait akreditasi rumah sakit versi 2012 menjadi sebuah harapan baru agar budaya keselamatan pasien bisa diterapkan diseluruh rumah sakit di Indonesia. Selain itu, harus ada upaya untuk meningkatkan kesadaran para pemberi pelayanan kesehatan tentang pentingnya menerapkan budaya keselamatan pasien dalam setiap tindakan pelayanan kesehatan. Dan juga diperlukan sosialisasi yang masif kepada masyarakat terutama yang akan menggunakan jasa pelayanan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan serta memperbaiki perilaku mereka dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Upaya-upaya ini harus segera dilakukan agar tidak ada lagi kasu dugaan malpraktik yang dapat merugikan masyarakat sehingga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit bisa meningkat. Dengan meningkatkan kepedulian terhadap pasien maka dengan mudah budaya keselamatan pasien bisa dijalankan. Jangan sampai hanya karena kesalahan sedikit yang dilakukan oleh rumah sakit bisa berakibat pada rusaknya citra dunia perumah sakitan di Indonesia dimata internasional.

 

Ahmad Ahid Mudayana,SKM.,MPH

Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta