DILEMA KUALITAS PEMBELAJARAN DALAM ACTIVE LEARNING

Oleh : Rendra Widyatama, SIP., M.Si

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta


Dewsa ini active learning (pembelajaran aktif) diyakini sebagai metode pembelajaran yang paling baik, karena menggunakan prinsip pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, atau populer dengan sebutan PAKEM. Di Indonesia prinsip ini dimodivikasi dengan komponen interaktif, sehingga menjadi PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Interaktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).

Meski terlihat baik, dalam praktek pembelajaran aktif sering dijumpai masalah besar, khususnya terkait dengan managemen waktu. Dalam hal ini, waktu yang digunakan bagi pendalaman materi pelajaran jadi berkurang, sehingga kualitas pembelajaran akan dipertanyakan.

Ada dua hal yang menyebabkan kualitas pembelajaran berada dalam posisi menghawatirkan. Pertama, penyiapan kelas untuk membangun suasana pembelajaran agar sesuai tujuan pembelajaran. Kedua, saat pemberian kesempatan pada siswa untuk menyatakan pendapat. Dua kegiatan ini sering memakan waktu sehingga mengurangi jam efektif pembelajaran dan memunculkan masalah lebih lanjut berkait dengan kualitas pembelajaran yang diberikan.

Biasanya, pada saat penyiapan kelas untuk membangun suasana pembelajaran, guru/dosen sering melakukannya pada saat jam belajar. Misalnya membentuk kelompok, melakukan perpindahan kelompok, menyiapkan peraga, melakukan ice breaking, dan lainnya. Pergerakan-pergerakan tersebut sering dilakukan dengan lambat yang disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya ruangan sempit yang tidak memungkinkan siswa leluasa bergerak secara bersamaan; stamina siswa yang sudah lelah, ice breaking yang berlebihan, dan sebagainya. Sering dijumpai, peserta didik larut dengan ice breaking yang dilakukan dibanding keseriusan pembelajaran materi.

Factor kedua berkurangnya waktu pembelajaran adalah berkait dengan pelibatan siswa dalam pembelajaran. Dalam active learning, pelibatan siswa merupakan salah satu ciri utama. Asumsinya, cara seperti ini akan membuat penyerapan materi pembelajaran dapat lebih optimal. Namun sayang, cara seperti ini sering menimbulkan ekses negatif. Sebab, tidak semua siswa mampu menyampaikan pendapat dengan baik dan lancer. Ketidakmampuan ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan latihan, kemampuan komunikasi, dan kepribadian.

Seseorang yang memiliki kepribadian dan kepercayaan diri yang baik, biasanya lebih lancar menyampaikan pendapat dibanding siswa yang memiliki kepribadian pemalu, peragu, penakut, maupun kemampuan bicara tidak lancar. Komunikasi yang tidak efektif seperti ini akan berdampak pada lamanya waktu yang dibutuhkan guna berkomunikasi.

Berkurangnya waktu dalam pembelajaran juga sering diakibatkan adanya siswa yang senang memanfaatkan kesempatan dan kebebasan berekspresi secara berlebihan untuk menciptakan kelucuan. Biasanya sikap tersebut karena keinginan untuk diperhatikan oleh orang lain. Bila guru/dosen tidak dapat mengendalikan perilaku seperti ini, maka waktu pembelajaran akan banyak berkurang.

Keinginan siswa untuk bersendagurau sering dijumpai sebagai keengganan siswa untuk mengikuti pelajaran karena berbagai sebab. Misalnya, siwa sudah lelah, kejenuhan, tidak senang pada guru, suasana kelas tidak menyenangkan, siswa sedang menghadapi masalah, dan sebagainya.

Untuk mengatasi masalah sebagaimana ditulis di atas, maka selain dituntut bisa mengendalikan kelas, mampu berkomunikasi efektif, dan berkomunikasi secara lentur, maka guru/dosen perlu didukung dengan sumber belajar dan penugasan yang proposional yang mampu menstimulasi siswa lebih aktif bagi pendalaman materi lebih lanjut. Sumber belajar perlu disusun lebih operasional dan sesuai kondisi siswa didik. Penugasan juga harus terus dipantau dan terus disupervisi meski waktu pembelajaran sudah usai.

Komunikasi ringan juga perlu dilakukan oleh dosen/guru pada siswa baik di dalam mapun di luar kelas sekedar menanyakan perkembangan pengerjaan tugas. Cara seperti ini memang menguras energy karena guru/dosen harus tetap bertugas meski di luar jam pelajaran. Inilah yang perlu dilakukan oleh guru/dosen agar masalah kualitas pembelajaran tidak berkurang.

Read more

Muliakan Wanita (!)

Dedi-Pramono

Oleh Dedi Pramono

Dosen Universitas Ahmad Dahlan

(Harian Jogja, 22 Desember 2012)


Nurani kita kembali terkoyak. Seorang pejabat dari sebuah daerah yang terkenal sebagai “kota santri” telah memperlakukan wanita bagai bagai “benda” yang bisa dicampakkan kapan saja. Sebenarnya kasus tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan agama, hanya istilah ‘nikah sirri’ seakan merupakan ikon keislaman, maka Islam sebagai tertuduh. Apalagi saat sang pejabat dikonfrontasikan dengan para pakar di depan jutaan pemirsa televisi dengan gaya innosence berkata, ” siap bertanggung jawab dunia akhirat”.

Hanya pada berita terakhir terungkap, oknum tersebut nikah sirri bukan hanya sekali, namun telah berkali-kali. Kemudian kita pun diberi tahu bahwa tujuan pernikahan dari kedua belah pihak demi memburu duniawiah semata. Bahwa ada pernyataan “sang kepercayaan” tidak ingin tuannya berzina, sehingga dilakukanlah pernikahan-pernikahan tersebut. Ini jelas sebuah alasan praktis yang sekan-akan agamis.

Kita jadi teringat pada kondisi nasib wanita dalam sejarah. Pada zaman Romawi wanita sebagai barang dagangan, bapak atau suami bisa menjual anak atau istrinya. Di Arab, pada zaman jahiliyah, seorang istri bisa diwariskan kepada anaknya. Mereka tidak mempunyai hak waris dan memiliki harta benda. Lebih sadis, jika lahir wanita maka akan dikubur hidup-hidup (An-Nahl : 59) .

Para raja zaman dulu pun mempersunting wanita sampai ratusan bahkan mungkin ribuan. Mereka tidak ubahnya sebagai peliharaan yang nasibnya ditentukan sang tuan. Nah, kita khawatir sang oknum merasa diri juga berhak berperilaku seperti para raja jahiliyah tersebut.

Sebagai agama yang menjunjung kemanusiaan Islam lahir justeru memperbaiki perilaku manusia jahiliyah terhadap wanita.

Coba kita tengok dasar perlakuan kepada wanita dalam An-Nisa (4) : 19. Dalam ayat tersebut Allah swt melarang wanita dijadikan sebagai warisan. Tuhan melarangan menyusahkan wanita dan mengambil paksa yang telah mereka terima. Sekaligus Tuhan meminta agar wanita diperlakukan dengan santun. Bahkan jika tidak menyukai mereka, maka sang pria diminta bersabar untuk memperoleh kebajikan yang besar. Dari satu ayat ini saja Islam sama sekali tidak mentolelir adanya perlakuan kasar. baik secara fisik maupun psikis kepada wanita.

Sebagai muslim, yang seharusnya menjadi panutan adalah , Muhammad saw. Beliau bersabda “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada wanita” (HR Muslim). Lebih tegas beliau berujar, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya’ dan sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya” (HR Tirmidzi). Perlakuan yang baik Rosulullah bukan hanya diperintahkan bagi ummat beliau, tapi juga dicontohkan.

Dalam suatu riwayat Rosulullah datang ke rumah agak malam. Beliau mencoba mengetuk pintu dan memanggil istrinya dengan suara lembut. Setelah tiga kali tak ada sahutan, beliau pun tidur di luar pintu rumah. Esok paginya saat sang istri mengetahui, justeru Rosulullah yang segera minta maaf atas keterlambatan kehadirannya. Sungguh betapa santunnya Rosulullah kepada sang istri.

Tuhan memaparkan bahwa kehadiran wanita adalah karunia (QS Ar Rum (30): 21). Wanita adalah makhluk yang mampu menghadirkan ketenteraman. Juga mampu menumbuhkembangkan kasih sayang manusia beda jenis. Selanjutnya, wanita mampu memberikan keturunan yang akan mengembangkan kehidupan kemanusiaan. Sekaligus sebagai pendorong pencarian rizki yang tersebar di seluruh muka bumi (An-Nahl : 72).

Dengan demikian, saat kita menentukan seseorang menjadi istri, alangkah dzalimnya jika sekedar dalam perhitungan wujud ragawi semata. Namun hendaknya patut memposisikannya sebagai seseorang yang akan mampu menenteramkan dalam mahligai keluarga, mampu menumbuhsuburkan kenikmatan saling mencintai, sekaligus saling mendukung meraih kebahagiaan dunia-akhirat.

Maka, jika ada pria memperlakukan wanita (istri), secara tidak senonoh akibat egoisitas diri, berarti dia telah melanggar perintah Tuhan. Andai kemudian si pria berapologi perilakunya itu diperbolehkan agama, berarti dia telah menantang Tuhan: Sungguh adzab Allah itu amat pedih. Naudzubillah min dzalik.

Read more

Sanggar Produksi PBSI dan Teater JAB UAD Mementaskan Teater

Produksi_PBSI_2009

 

Sanggar produksi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) bekerjasama dengan Teater Jaringan Anak Bahasa (JAB) mementaskan “Tamu-Tamu Istimewa” karya Anes Prabu Sadjarwo dan “Satu Bangku Dua Lelaki” karya Triyono. Pertunjukan yang terselenggara pada hari Sabtu 22 Desember 2012 pukul 19.00 wib ini berlangsung di Parkir Bawah Tanah Kampus 2 Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

Pimpinan produksi Farida Nur’Aini menjelaskan bahwa pementasan teater tersebut merupakan tugas akhir mahasiswa PBSI UAD angkatan 2009 yang tergabung pada Sanggar Produksi Tahun 2012. Adapun persiapan untuk pementasan drama dimulai sejak September 2012. Sesudah persiapan matang, panitia melakukan promo ke berbagai universitas.

Nasirin, dan Tu-Bagus yang menjadi sutradara pada pementasan tersebut menambahkan, bahwa pemain yang terlibat dalam aksi panggung sudah melakukan latihan selama satu bulan. Pemain tersebut rata-rata berasal dari mahasiswa semester 1.

“Pemain sengaja dipilih dari semester 1 untuk memberikan pengalaman menjadi seorang aktor. Selain itu juga mengasah karakter mereka dengan memberikan nilai-nilai kehidupan melalui pementasa” papar Nasirin. (Ayy)

Read more

KOPMA UAD Selenggarakan Bazar

Salah satu agenda Rapat Anggota Tahunan (RAT) KOPMA Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menyelenggarakan bazar. Acara yang dilaksanakan pada 20-22 Desember 2012 di kampus 2 UAD menampilkan enam stand terdiri dari dawet ireng, dawet ayu, tela-tela, cilok, martabak mini, dan berbagai ragam jajanan pasar. Aneka makanan tersebut berasal dari pedagang dan anggota KOPMA UAD.

“Awalnya kami merasa kesulitan untuk mencari makanan yang ditampilkan di stand. Tapi alhamdullilah proses berikutnya berjalan lancar. Banyak pedagang dan anggota yang ikut berpartisipasi,” ungkap Habib Aziz Putra P.

Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UAD tersebut menambahkan bahwa acara bazar yang terselenggara tiap tahun dapat berjalan lancar. Keberhasilan ini karena tim bisa bekerja sama dengan baik. (HS)

Read more

Selenggarakan Seminar Internasional Green Economy

Dalam Rangka Milad ke-52 UAD:

Seminar_Internasiona_UAD_green

Dalam rangka Milad ke-52 Universitas Ahmad Dahlan menyelenggarakan seminar internasional. Acara yang diselenggarakan pada Jumat – Sabtu (21-22/12 2012) di Hotel Saphir Yogyakarta mengangkat tema “Green Economy for Sustainable Development”. Adapun yang menjadi Keynote Speech pada acara seminar internasional tersebut adalah Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D.

Sesudah penyampaian materi dari guru besar hukum international Universitas Indonesia tersebut, dilanjutkan dengan presentasi dari tiga pembicara utama, yaitu Prof. Dr. Aris Ananta (Senior Research Fellow Institute of Southeast Asian Studies, Singapura), Dr. Nora Elizabeth (Dean College of Business and Accountancy University of Nueva Caceres, Philippine), dan Rai Rake Setiyawan, SE., MSA (Peneliti Senior IPSED dan dosen Fakultas Ekonomi UAD).

Dalam penyampaian materi Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa masyarakat harus memahami isu dan mencari solusi tentang green economy.”Contoh fenomena saat ini di Kalimantan Selatan yang merupakan salah satu provinsi yang memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, di sana saat ini marak sekali terjadi penebangan pohon yang berdampak pada perusakan kualitas air, tanah, dan udara. Nah, problem ini harus dicari jalan pemecahannya, ” ungkap Hikmahanto Juwana yang juga pakar Legal Environmental dan Corporation Law ini.

Selanjutnya pada hari kedua, seminar international dilanjutkan dengan penyampaian call for paper dari akademisi berbagai Universitas di seluruh Indonesia. (HS)

Read more

Perubahan Nama Fakultas Sastra Menjadi Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi UAD

Berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) nomor 138 tahun 2012 ditetapkan perubahan nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi UAD terhitung 5 Desember 2012.

Perubahan nama fakultas tersebut menindaklanjuti usulan dari Senat Fakultas Sastra yang dilatarbelakangi oleh penambahan program studi baru yaitu program studi Ilmu Komunikasi S1. Program studi Ilmu Komunikasi S1 ini melengkapi dua program studi yang sudah ada, yaitu program studi Sastra Inggris S1 dan Sastra Indonesia S1.

Semoga dengan perubahan nama fakultas menjadikan Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi UAD semakin dikenal dan diminati masyarakat. Amin.



Read more

Mau Dibawa Kemana Menara Gading Kita?

Triyantoro Safaria P.Hd

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Pendidikan merupakan aset terbesar seuatu bangsa dan yang akan menentukan kemajuan peradaban suatu bangsa di masa depan. Ujung tombak terdepan dari pendidikan ini adalah guru dan dosen. Guru dan dosen yang berkualitas akan menghasilkan lulusan yang berkualitas, terlepas dari berbagai hambatan yang dihadapi (fasilitas pendidikan yang terbatas). Guru dan dosen lah yang lebih berperan dalam membangun dan menciptakan pendidikan berkualitas di tingkat akar rumput yaitu siswa didik.

Pada tulisan ini, penulis lebih berfokus pada peran dosen sebagai ujung tombak pendidikan tinggi di Indonesia. Bagaimana peran mereka dan apa saja yang telah dihasilkan oleh komunitas staf akademik ini bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa dosen wajib memenuhi tiga pilar yang termaktum dalam Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan publikasi ilmiah, serta pengabdian pada masyarakat. Namun kenyataan di lapangan, hanya sedikit sekali dosen yang memenuhi kewajibannya untuk melakukan Tri Darma Perguruan Tinggi. Inilah salah satu sebab utama mengapa rangking perguruan tinggi di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan perguruan tinggi di Asia Tenggara.

Data dari QS World University Rangking 2012 untuk kategori Asian University Rangking menunjukkan bahwa UI menduduki urutan ke 59, UGM menduduki urutan ke 118 sedangkan ITB ke 113. Jika kita bandingkan dengan Universitas Kebangsaan Malaysia urutan 58, Universitas Malaya ke 35, dan Mahidol University Thailand urutan ke 38. Melihat data di atas terlihat bahwa posisi rangking tiga Universitas besar di Indonesia masih kalah telak. Lebih lagi jika kita bandingkan dengan Hongkong University of Science and Technology urutan 1 seAsia, National University of Singapore urutan ke 2, University of Hongkong urutan ke 3, Seoul National University 4, Chinese university of Hongkong ke 5, University of Tokyo ke 8, Peking University ke 6, dan Kyoto University urutan ke 10.

Menurut penulis, kebanyakan dosen di Indonesia lebih banyak menghabiskan energinya untuk mengurusi bidang pengajaran, dan larut dalam rutinitas pengajaran, sehingga melupakan peran mereka sebagai ilmuwan yang juga wajib menelorkan penelitian-penelitian berkualitas, dan dipublikasikan di jurnal-jurnal international. Kebanyakan publikasi para dosen ini diterbitkan di jurnal fakultasnya masing-masing, dengan alasan klasik lebih mudah proses seleksinya dan pasti diterima untuk diterbitkan. Jika karya ilmiah tersebut dikirim ke Jurnal di luar kampus, tentu akan lebih banyak ditolak karena belum layak terbit. Apalagi jika dikirim ke Jurnal Internasional, tentu kualitas dari karya ilmiah yang dihasilkan jauh dibawah rata-rata, sehingga akan lebih banyak lagi ditolak. Sampai saat ini pun mindset dosen-dosen di Indonesia untuk menghasilkan publikasi ilmiahnya masih bertaraf lokal, belum merambah ke tingkat nasional apalagi internasional. Bahkan sebagian besar masih terkesan ogah-ogahan untuk meneliti, apalagi mempublikasikan karya ilmiahnya di jurnal bereputasi.

Melihat kenyataan di atas, penulis menganggap bahwa kebanyakan dosen di Indonesia belum layak disebut sebagai staf akademik, namun lebih cocok disebut sebagai tutor saja. Hal ini karena tutor kewajiban utamanya adalah mengajar, dan tidak dibebani untuk melakukan penelitian dan publikasi ilmiah. Pengalaman penulis ketika membaca profile staf akademik dari beberapa perguruan tinggi luar negeri, terpampang jelas berapa banyak publikasi ilmiahnya. Tidak tanggung-tanggung, keseluruahan publikasi mereka diterbitkan oleh jurnal-jurnal bergengsi yang di index oleh ISI Web dan Scopus. Beberapa penerbit jurnal yang bereputasi tersebut diantaranya Springelink, Elseviers, Sage, Pergamon, Taylor & Francis, Wiley, Emerland dan banyak lagi. Lalu bagaimana dengan para dosen di Indonesia, sudah sampai dimanakah publikasi mereka?. Bahkan saya jarang membaca publikasi para dosen Indonesia di jurnal open access yang ada, seperti yang diindeks oleh lembaga pengindeks DOAJ. Menurut penulis hal yang paling mendasar adalah merubah mindset dan paradigma berpikir para dosen di Indonesia ini, sehingga mereka memahami kewajibannya yang termaktum dalam Tri Darma Perguruan Tinggi. Tidak saja sibuk mengajar dan membimbing, tetapi juga sibuk melakukan penelitian dan mempublikasikan karya ilmiahnya di jurnal-jurnal internasional.

Read more

Pidato Ilmiah Milad Ke 52 UAD Menghadirkan Menteri Kehutanan RI

Pidato_Mentri_kehutanan

Senin (17/12/2012). Menteri Kehutanan RI Dr. Zulkifli Hasan  menyampaikan Pidato Ilmiah bertema “Green Economy for Sustainable Development in Forestry Sector“. Pidato ilmiah tersebut disampaikan pada Sidang Senat Terbuka dalam rangka Milad ke 52 Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

Dalam  uraiannya, Dr. Zulkifli Hasan menjelaskan bahwa kelestarian alam, khususnya hutan perlu penanganan serius dari berbagai pihak. Sebagai contoh UAD telah merealisasikan pengelolaan kelestarian alam dengan mengembangkan lingkungan kampus yang hijau.

Selanjutnya Dr. Zulkifli Hasan menambahkan bahwa dalam rangka menjaga kelestarian alam telah ada upaya untuk mencegah praktek-praktek pemanfaatan hutan dengan cara yang tidak benar. Dengan begitu perlu upaya pencegahan penebangan hutan secara liar. Kini penebangan hutan dengan tidak mengindahkan aspek kelestarian alam telah jauh berkurang. Buktinya penebangan hutan yang mencapai 2-3,5 juta hektar pertahun, sekarang tinggal 10 persen.

Sebelum memberikan Pidato Ilmiah ke 52 UAD, Dr. Zulkifli Hasan melakukan penanaman pohon di Kampus 4 UAD, Jl. Ringroad Selatan, Banguntapan, Bantul. Penanaman pohon tersebut dimaksudkan sebagai langkah awal mewujudkan Kampus 4 UAD sebagai green campus. Adapun pohon yang ditanam adalah Mangga (Mangifera indica L.), sawo kecik (Manilkara kauki), dan kepel (Stelechocarpus burahol). Dengan ditanamnya banyak pohon, sebagian lokasi di Kampus 4 UAD akan menjadi hutan tanaman kota. (Sbwh)

Read more

PEMBELAJARAN SASTRA DIANAKTIRIKAN

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta


Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Pardi Suratno menyampaikan pernyataan yang menarik. Ia menyatakan, pembelajaran sastra di sekolah selama ini masih menjadi pelajaran “kelas dua”, setelah pembelajaran bahasa Indonesia. “Pembelajaran sastra Indonesia, termasuk puisi di sekolah-sekolah perlu ditingkatkan,” katanya, saat acara pergelaran Lomba Cipta Puisi Indonesia dan Jawa di Semarang, Minggu (21/10) lalu.

Jauh sebelum itu, penyair yang juga guru besar ilmu sastra dari Universitas Negeri Yogyakarta, Suminto A. Sayuti, mengungkapkan, pembelajaran sastra di sekolah selama ini terkesan menyebalkan. Ungkapan itu penulis dengar tatkala mengikuti acara Apresiasi Sastra Daerah (Apresda) bagi para guru bahasa Indonesia tingkat SMA se-Indonesia di Cisarua, Bogor, dua tahun silam. Saat itu, ajaibnya, ungkapan Profesor Suminto itu kami setujui meski menyesakkan dada.

Betapa tidak, pembelajaran sastra yang semestinya memerdekakan siswa dan guru, ternyata sebaliknya. Di sekolah atau madrasah kita, pembelajaran sastra belum menjadi mata pelajaran yang disenangi oleh siswa. Para siswa hanya dicekoki oleh materi-materi tentang nama sastrawan, judul-judul karya sastra, dan angkatan dalam sastra Indonesia. Sementara itu, minat membaca dan menulis karya sastra di kalangan guru masih rendah.

Kondisi di atas, jika ditambah lagi dengan persoalan minimnya ketersediaan buku-buku sastra di perpustakaan sekolah, tentunya makin membuat hati kita miris. Melihat hal tersebut, kiranya kita tak bijak menyalahkan guru sebagai pihak yang menyebabkan pembelajaran sastra dianaktirikan ketimbang pembelajaran bahasa. Untuk itu, kita perlu mencari langkah-langkah yang jitu guna meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di sekolah lebih baik lagi.

Pertama, pola pembelajaran sastra diarahkan sebisa mungkin tidak bersifat teoretis, tetapi lebih bersifat apresiatif. Para guru dapat mengajak para siswanya untuk berkunjung ke perpustakaan daerah atau komunitas sastra di daerah. Kunjungan itu dapat dirutinkan seminggu atau sebulan sekali. Dengan cara begitu, daya apresiasi para siswa terhadap karya sastra diharapkan dapat meningkat, bahkan ke tahap penciptaan karya sastra yang unik dan menarik.

Kedua, para guru dapat mengambil bahan ajar sastra dari media massa lokal dan/atau nasional. Semua koran edisi Minggu biasanya memuat rubrik cerpen, puisi, dan esai budaya/sastra. Menurut hemat saya, kesemua rubrik itu dapat didayagunakan untuk pembelajaran sastra, sembari dipikirkan ulang mengenai pemahaman para siswa terhadap isi cerpen, puisi, dan esai budaya/sastra. Jadi, bahan ajar sastra tidak harus dari buku pelajaran yang ada.

Ketiga, saat pembelajaran sastra berlangsung para siswa dapat diajak ke luar kelas, seperti taman sekolah. Sebagai guru, kita berikan kebebasan kepada siswa-siswa untuk mengembangkan imajinasinya dengan cara menulis karya sastra. Para siswa diajak untuk merasakan desir angin yang berhembus, harumnya wangi bunga, teriknya sinar matahari, dan gejala alam lainnya. Dengan merasakan itu semua, kelak imajinasi para siswa dapat berkembang.

Dengan langkah-langkah di atas, kiranya kondisi pembelajaran sastra yang selama ini dianaktirikan dapat diubah menjadi lebih baik. Untuk mewujudkan hal itu, mau tidak mau, semua pihak memiliki peran yang sama. Para guru didorong untuk “rangkap jabatan”: sebagai pendidik sekaligus penulis sastra yang mumpuni. Pula, pihak sekolah dapat menyediakan bahan bacaan karya sastra yang lengkap di perpustakaan. Saya optimis hal itu terwujud, Anda juga? Semoga.[]

Read more

Pemicu kejahatan kemanusiaan

Oleh: Wajiran, S.S. , M.A.

(Dosen Fakultas Sastra UAD dan Pemerhati Kebijakan Politik Amerika)


Kejahatan kemanusaan dunia saat ini nampaknya semakin merajalela. Pembunuhan atas nama agama, ras, suku, ekonomi, politik bahkan kemanusiaan itu sendiri. Pembunuhan besar-besaran yang terjadi di Rohingya merupakan sebuah contoh kejahatan kemanusiaan multy interest, dimana latar belakang agama, ras dan bahkan kewilayahan memicu adanya pembasmian etnis tertentu. Di suriah, atas nama kekuasaan dan juga keyakinan melahirkan sebuah huru-hara yang menewaskan demikian banyak orang. Runtuhnya WTC, bom bali, dan bom bunuh diri yang dilarbelakangi agama telah menjadi isu paling santer di era global ini. Ironisnya lagi, atas nama kemanusiaan dan keamanan global, Amerika dan sekutunya justru sering melakukan kejahatan kemanusiaan dengan melakukan invasi militer secara besar-besaran ke negara lain.

Memperhatikan sifat dan sikap menusia yang melakukan pembunuhan dan pembantaian secara massal itu, kita jadi bertanya-tanya apa sebenarnya yang dicari oleh manusia? Jika setiap orang, setiap individu merindukan kedamaian, kesejahteraan dan kemajuan, tetapi justru saling bunuh satu dengan yang lainnya? Hal ini tentu ada yang salah dalam diri manusia itu sendiri.

Dalam makalahnya, Huntington (1993) menyebutkan bahwa di Era Global manusia akan saling memperkuat ikatan kepentingan berdasar pada identitas. Identitas muslim, identitas kristen, identitas komunis dan identitas-identitas lain akan memicu adanya persaingan global yang melahirkan adanya konflik kepentingan. Itu sebabnya perang bukan lagi hanya antar negara, tetapi perang akan terjadi antar kelompok-kelompok peradaban (Mansbach, 2008: 874). Islam seumpamnya, semua pemeluk Islam dimana pun berada akan saling bersatupadu melawan musuh bersama tanpa memandang batas negara. Demikian juga dengan identitas lainnya, mereka akan berlomba-lomba membangun kekuatan mempertahankan atau mengunggulkan identitasnya masing-masing.

Menurut Huntington peradaban manusia (identitas) dibagi dalam delapan kelompok besar; Barat, Konghucu, Jepang, Islam, Hindu, Slavia-Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika. Masing-masing peradaban itu memiliki perbedaan terutama dari sejarah, bahasa, budaya, tradisi dan yang paling penting adalah agama. Perbedaan-perbedaan ini kemudian akan mengkumulasi menjadi sebuah pertarungan sengit antara satu dengan yang lainya, disebabkan adanya perbedaan standar kebaikan atau keberadaban itu sendiri. Komunitas peradaban muslim seumpamanya, selamanya tidak akan pernah bisa menerima peradaban barat yang sekuler dan liberal. Karena di dalam sekulerisme dan liberalisme manusia hidup bebas tanpa kendali dengan syarat tidak mengganggu orang lain, sedangkan di dalam islam agama mengatur segala sendi kehidupan manusia dan setiap individu memiliki tanggungjawab untuk mengingatkan satu sama lainnya. Prinsip ini tentu sangat bertentangan dan akan menimbulkan konflik antar kedua peradaban tersebut. Itu sebabnya sampai kapanpun antara sekulerisme-liberalisme akan melahirkan adanya pertentangan bagi umat islam.

Adanya ketegangan karena perbedaan peradaban tersebut akan mudah tersulut saat ada gesekan kepentingan lain. kepentingan ekonomi, sosial dan politik akan semakin mempermudah adanya permusuhan antar kelompok peradaban tersebut. Itu sebabnya ketegangan karena perbedaan beradaban ini sering dijadikan legitimasi untuk melakukan peperangan. Karena pada dasarnya setiap kebijakan yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain akan berimplikasi pada persoalan ini; yaitu kepentingan politik yang berdampak pada ekonomi, sosial dan bahkan budaya itu sendiri.

Dengan demikian, cara-cara yang diambil negara adidaya dan sekutunya dengan mengintervensi dan mengintimidasi negara-negara lain adalah sebuah kesalahan besar. Tindakkan itu justru akan memancing lahirnya gerakan-gerakan perlawanan baik atas nama kedaulatan suatu negara atau pun identitas keberadaban itu sendiri. Semakin agresif Amerika melakukan gerakan mencampuri urusan negara lain, maka akan semakin banyak juga perlawanan yang dilakukan baik atas nama identitas peradaban atau kedaulatan negara. Karena pada dasarnya setiap negara tidak ingin kedaulatanya diganggu. Apalagi secara terang-terangan orang-orang barat memang sering menunjukan kebencian terhadap umat muslim, hal ini tentu hanya akan menambah persoalan yang semakin sulit.

Peningkatan peranan Lembaga Internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah langkah yang paling tepat untuk mengurus keamanan global. Lembaga Internasional harus meningkatkan perannya secara maksimal di dalam menjaga keamanan global. Itu sebabnya saat ada konflik di dalam suatu negara, atau antarnegara, lembaga inilah yang harusnya berperan aktif mendamaikan dan mencari jalan keluar atas segala perselisihan yang terjadi. Dengan catatan, lembaga ini harus memiliki indepensi dan lepas dari kepentingan negara tentu. Jika lembaga PBB bisa berperan maksimal, tentu peperangan dan kejahatan kemanusiaan di dunia ini bisa dikurangi. Wallahu a’lam bishawab.

Read more