Terjemah: Suatu Pekerjaan yang Membutuhkan Dedikasi, Komitmen, dan Amanah

Penerjemah lebih dekat dengan sumber penghasilan hidup, sehingga kita harus memantaskan diri, dan yakinlah bahwa terjemah layak dijadikan suatu pekerjaan yang berdedikasi, karena implementasinya berhubungan dengan dunia dan akhirat.”

-Fuad Syaefudin Nur-

Itulah ungkapan seorang praktisi penerjemah Arab-Indonesia, yang telah memiliki karya terjemahan lebih dari 50. Selain karya terjemahan berupa sastra, Fuad Syaefudin Nur, S. Ag. juga telah berhasil menerjemahkan beberapa kitab kajian keagamaan, seperti fiqh, ibadah, dan lain sebagainya. Seluruh karya tersebut telah berhasil dikerjakan selama puluhan tahun.

Fuad merupakan narasumber yang didatangkan dalam kuliah umum yang diadakan berkat kerja sama Program Studi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan (Prodi BSA-FAI-UAD) dengan Pesantren Mahasiswa Ahmad Dahlan (Persada). Bersama Dr. Eko Setyo Humanika, M. Hum (Pakar Penerjemah), Fuad hadir dalam acara yang mengusung tema “Terjemah: Permasalahan, Solusi, dan Perkembangannya”.

Dalam kuliah umum yang diselenggarakan pada Sabtu, (22/4/2017), dan bertempat di aula Islamic Center UAD tersebut, Eko menjelaskan bahwa terjemah memiliki beberapa permasalahan. Di antaranya, satu kata yang diartikan dengan kata sesungguhnya, satu kata yang diartikan kata yang lain, serta ambiguitas.

Sementara itu, Fuad mengungkapkan bahwa terjemah merupakan pekerjaan yang memiliki dedikasi, yakni harus teliti, tidak malas membuka kamus, serta berusaha menghindari kesalahan dalam penerjemahan.

Selain dedikasi, Fuad menambahkan, dalam menerjemahan juga dibutuhkan komitmen. Komitmen untuk mematuhi deadline, menjaga kualitas terjemahan, dan kredibilitas tinggi. Selanjutnya, yang diperlukan adalah amanah, yaitu jujur. Sebab, kesalahan akan mengakibatkan jariyah su’, serta pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.

Di akhir acara, Fuad berujar, “Jangan khawatir terhadap order yang kita terima, tapi khawatirlah terhadap apa yang kita berikan. Jangan ragu untuk memulai dan hilangkan rasa malas. Jika akan amat banyak kebaikan yang dapat dilakukan, maka tidak akan ada waktu untuk sedikit pun melakukan suatu keburukan.” (AKN)

Madapala UAD Sukses Selenggarakan Operasi Katarak

Bertempat di Rumah Sakit Holistika Media (RS UAD), Minggu (23/4/2017), Mahasiswa Ahmad Dahlan Pecinta Alam (Madapala) sukses menyelenggarakan operasi katarak. Kegiatan bakti sosial ini bekerja sama dengan Yayasan DHARMAIS dan PERDAMI Yogyakarta.

Dari tahap screening yang dilakukan di green hall kampus 1 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, pasien yang lolos dan dinyatakan dapat dioperasi sekitar 70 orang. Kebanyakan dari penderita katarak ini merupakan lansia.

Rektor UAD, Dr. Kasiyarno, M.Hum., sangat mengapresiasi kerja keras yang telah ditunjukkan oleh Madapala untuk menyelenggarakan operasi katarak. Menurutnya, bakti sosial ini merupakan bukti nyata bahwa mahasiswa pecinta alam tidak selalu berkaitan dengan kekerasan seperti yang terjadi belakangan ini.

Di lain pihak, pada sambutannya, Titiek Soeharto yang mewakili Yayasan DHARMAIS merasa heran dan terkejut. Pasalnya, yang menginisiasi kegiatan operasi katarak adalah Madapala UAD. Ia menambahkan bahwa biasanya penginisiasi kegiatan semacam ini berasal dari organisasi maupun lembaga yang ada di luar kampus.

Apresiasi tinggi perlu diberikan kepada Madapala UAD yang telah melakukan counter culture terhadap citra mahasiswa pecinta alam yang identik dengan kekerasan. Kegiatan operasi katarak ini bukti bahwa mereka melakukan pengabdian masyarakat sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. (ard)

Rektor UAD Buka Acara Operasi Katarak Madapala

Bertempat di green hall kampus 1 Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Jl. Kapas 9, Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta, operasi katarak yang diselenggarakan Madapala resmi dibuka oleh Rektor UAD, Dr. Kasiyarno, M.Hum.

Acara yang berlangsung Sabtu (22/4/2017) ini merupakan tahap awal berupa screening untuk memastikan calon pasien yang terkena katarak dan membutuhkan tindak lanjut operasi. Total ada 200 orang pendaftar yang didominasi dari Yogyakarta dan beberapa dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, dan Kalimantan.

Dalam sambutannya, Kasiyarno menyampaikan kegiatan Mahasiswa Ahmad Dahlan Pecinta Alam (Madapala-UAD) ini merupakan suatu bentuk pendidikan yang mendewasakan dan bermanfaat, serta merupakan suatu bentuk pengabdian kepada masyarakat.

Perwakilan dari PERDAMI, dr. Albaaza Nuady menjelaskan, pihaknya sangat terkejut ketika pertama kali mahasiswa Madapala meminta bantuan dan dukungan untuk melakukan bakti sosial operasi katarak.

“Kami dari PERDAMI sangat mengapresiasi apa yang telah diinisiasi Madapala. Semoga kerja sama yang pertama ini bisa berkelanjutan untuk kegiatan bakti sosial selanjutnya,” papar Albaaza. (ard)

Serangkaian Acara MoU Fakultas Psikologi UAD dengan University of South Africa

Rabu, (19/4/2017) Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menyelenggarakan kuliah umum bagi mahasiswa S1 dan S2 yang bertempat di Aula Islamic Center UAD, Jalan Ringroad Selatan, Banguntapan, Bantul.

Kuliah umum yang diadakan dari pukul 08.30-10.30 WIB tersebut merupakan serangkaian acara atas kunjungan Prof. Mohammed Seedat dari Institute for Social and Health Sciences dan Director MRC-UNISA Violence, Injury, and Peace Research Unit, University of South Africa.

Perlu diketahui bahwa pada Senin, (17/4/2017) UAD untuk pertama kalinya melaksanakan MoU dengan University of South Africa, dengan dilakukannya penandatanganan oleh Dr. Kasiyarno, M.Hum. selaku Rektor UAD.

Kerja sama itu bertujuan untuk menjalin kedekatan antarkedua universitas, yang diharapkan dapat melahirkan kolaborasi penelitian dan kegiatan akademik di UAD, terutama Fakultas Psikologi.

Sementara itu, selain penandatanganan MoU dan kuliah umum, terdapat beberapa agenda yang akan dilakukan oleh Mohammed Seedat.

“Masih terdapat serangkaian acara dari kunjungan Mohammed Seedat, di antaranya workshop kolaborasi riset dan diskusi intervensi komunikasi,” ujar Drs. Choirul Anam, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi.

Dengan diadakannya serangkaian agenda tersebut, diharapkan civitas akademika Fakultas Psikologi UAD mendapatkan wawasan mendalam terkait Psikologi Komunitas di Afrika, sehingga dapat diaplikasikan dalam kegiatan perkuliahan, pengabdian masyarakat, juga penelitian. (AKN)

Novi Diadara Pratiwi: Kartini Kini Harus Terus Berbenah Diri

Jangan pernah berhenti mencoba dan jangan takut gagal. Karena sebuah kegagalan adalah langkah awal menuju kesuksesan.

Kalimat itulah yang sampai saat ini terus diingat oleh Novi Diadara Pratiwi. Juara satu Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (PBSI-UAD) tahun 2017.

Perempuan kelahiran Gunungkidul ini aktif di berbagai organisasi di dalam maupun di luar kampus. Saat ini ia sedang mendalami kepenulisan, khususnya di bidang karya tulis ilmiah (KTI), mendalami tarian klasik gaya Yogyakarta di Yayasan Siswa Among Beksa (YSAB), dan aktif berkegiatan Pramuka di tingkat ranting, cabang, maupun daerah di Yogyakarta.

“Saya mengikuti pemilihan Mawapres untuk menguji sejauh mana perkembangan kemampuan saya untuk bersaing dengan mahasiswa lain. Alhamdulillah setelah proses seleksi, saya juara 1,” terang Novi ketika ditemui di kampus 2 UAD, Jl. Pramuka 42, Sidikan, Yogyakarta, Rabu (19/4/2017).

Menurutnya, seorang perempuan harus memiliki impian agar terus berkembang dan dapat bersaing dengan kaum laki-laki. Pada perkembangannya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan.

“Setiap perempuan harus menjadi Kartini di masanya. Setiap perempuan harus mampu mengangkat derajat kaumnya. Nasib ada di tangan kita sendiri, jadi tunjukkan kalau perempuan itu tidak lemah dan memiliki kekuatan untuk bersaing.”

Novi menambahkan, perempuan selalu memiliki perannya sendiri di balik kesuksesan sebuah keluarga, masyarakat, bahkan negara. Beberapa perempuan Indonesia sudah membuktikan bahwa mereka mampu memegang peran penting dalam membangun bangsa.

Penggemar Didi Ninik Towok ini merasa beruntung karena sampai saat ini aktif di berbagai organisasi. Ia merasa ilmu akademik saja tidak akan cukup untuk menjadi seorang perempuan tangguh. Ilmu akademik itu harus dibarengi dengan keahlian maupun keterampilan yang mampu menunjang karier.

Misalnya ilmu kepramukaan yang bisa diaplikasikan di kehidupan nyata. Dari kesehatan, kemasyarakatan, cara bertahan hidup, ilmu navigasi, dan lainnya. Kemudian di seni tari, ada nilai-nilai filosofis yang dipelajari. Setiap gerakan memiliki makna dan arti tersendiri. Di bidang KTI, Novi bisa menuangkan ide-ide kreatifnya.

Pada peringaan Hari Kartini kali ini, Novi memiliki harapan agar kaum perempuan di Indonesia mampu memperjuangkan haknya dan tetap teguh dengan kodratnya sebagai seorang perempuan.

“Bagi saya, setiap perempuan harus memiliki kebebasannya sendiri. Mereka harus bebas dari segala bentuk penindasan dan perbudakan. Para Kartini kini harus memerdekakan diri mereka sendiri dengan terus berbenah diri,” pungkasnya menggebu. (ard)

 

Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah

 

SEMINAR NASIONAL KEWIRAUSAHAAN “Berbisnis ala Mahasiswa dengan Modal “Dengkul”

Seminar Nasional dengan tema "Berbisnis ala Mahasiswa dengan Modal "Dengkul".

Acara tersebut akan diselenggarakan pada Minggu, 07 Mei 2017, di Auditorium Kampus 1 UAD, jalan Kapas 9, Semaki Yogyakarta.  Hadir sebagai pembicara utama Among Kurnia E., (provokator bisnis otak kanan, enterpreneur dan pembicara internasional).

 

Informasi lebih lanjut hubungi Cp yang sudah tertera diatas.

Studi Banding UAD ke UMM dan UNIBRAW

Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta mengadakan studi banding ke Universitas Muhammadiya Malang (UMM) dan Universitas Brawijaya (UNIBRAW). Kegiatan ini dalam rangka silaturahmi dan sharing terkait kemahasiswaan, lebih khusus membahas terkait Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan bagaimana pola kaderisasi PKM yang ada di lingkungan universitas.

Acara yang berlangsung 18-19 April 2017 ini diikuti oleh Wakil Dekan dari beberapa fakultas dan dosen-dosen yang menangani PKM mahasiswa di UAD. Turut mendampingi, Wakil Rektor III, Dr. Abdul Fadlil, M.T. dan Kepala Bidang Kemahasiswaan Biro Kemahasiswaan dan  Alumni (BIMAWA) UAD, Drs. Hendro Setyono, S.E.,M.Sc.

Saat di UMM, staf ahli Wakil Rektor III UMM, Drs. Joko Widodo M.Si., memberikan penjelasan terkait pola kaderisasi di UMM. Kaderisasi ini sangat diperlukan, agar ke depannya PKM mahasiswa dapat dimaksimalkan. Studi banding ke UMM ini juga membahas kegiatan kemahasiswaan secara umum.

“Dari kegagalan kita dapat belajar. Ada pelajaran berharga yang dapat dipetik supaya kegagalan itu tidak terulang kembali dan dapat diantisipasi,” terang Joko.

Kunjungan hari ke-2 di UNIBRAW, mantan Ketua Kontingen Pimnas UNIBRAW 2016, yang saat ini menjabat Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Teknologi Pangan, Yusuf Hendrawan, STP.,M.App.Life.Sc.,Ph.D., menceritakan pengalamannya terkait pembimbingan mahasiswa yang mengikuti PKM.

“Input penting, tetapi yang paling penting adalah proses mendidik mahasiswa. Artinya, yang harus ditekankan adalah mengarahkan dan mendidik mahasiswa untuk menjaga serta meningkatkan kualitas. Dengan demikian, nanti output yang didapatkan juga akan maksimal, terutama di bidang PKM,” tegas Yusuf.

Dari pihak UAD, Abdul Fadlil mengungkapkan bahwa sharing perihal PKM yang dilakukan dengan UMM dan UNIBRAW ini sangat bermanfaat dan menambah wawasan baru. Ia berharap setelah studi banding ini UAD dapat mengaplikasikan apa yang telah dipelajari dari kedua kampus di Jawa Timur ini. (ard)

Kartini: Jalan Menjemput Takdir

 

Judul Film                   : Kartini

Jenis Film                    : Drama, Biopik

Durasi                          : 106 menit

Sutradara                     : Hanung Bramantyo

Penulis Naskah            : Bagus Bramanti, Hanung Bramantyo

Produser                      : Robert Ronny

Produksi                      : Legacy Pictures, Screenplay Films

 

 

 

Pusat Studi Wanita Universitas Ahmad Dahlan (PWS UAD) menyambut Hari Kartini dengan cara yang berbeda. Rabu (19/4/2017), bioskop Empire XXI ramai dipenuhi tamu undangan acara nonton bersama film “Kartini”. Acara tersebut digelar oleh PWS UAD sebagai upaya menyambut Hari Kartini yang jatuh pada 21 April. Tri Wahyuni Sukesih, S.Si.,M.P.H. menjelaskan bahwa tujuan acara tersebut adalah untuk kembali mengingat perjuangan Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan gender yang tetap tidak melenceng dari agama.

Film “Kartini” adalah film biopik yang mengangkat sosok Raden Ajeng Kartini (Dian Sastro Wardoyo), sebagai pejuang emansipasi Indonesia. Film ini menceritakan perjalanan hidup R. A. Kartini sejak kecil hingga ia menikah. Sebagai perempuan Jawa, ia ingin mendobrak tradisi yang mengekang perempuan. Ia harus masuk kamar pingitan sejak menstruasi pertama, dan harus menunggu hingga “dibebaskan” oleh calon suami. Selama ini, sosok Kartini dikenal sebagai perempuan idealis dan berpikiran bebas. Namun, siapa yang “memantik” pemikirannya agar sanggup terbang bebas? Adalah Kartono (Reza Rahardian), kakak laki-lakinya yang memberikan kunci pembuka pikiran Kartini.

Dalam sebuah adegan, Kartono yang akan berangkat sekolah ke Belanda memberikan sebuah hadiah kepada Kartini. Awalnya ia menolak, “Kalau Kangmas dapat membawa saya keluar dari kamar pingitan, itu akan jadi hadiah yang paling bagus untuk saya.”

Kartono, dengan senyum kemudian berkata bahwa fisik bisa saja terpasung, tetapi pikiran tidak. Ia mengatakannya sembari menyerahkan sebuah kunci. “Masuklah ke kamarku, di sana ada pintu yang bisa membawamu keluar kamar pingitan,” ujarnya.

Kemudian, berangkatlah Kartono ke Belanda. Kartini lalu pergi ke kamar kakaknya dan menemukan sebuah pintu yang dapat dibuka oleh kunci tersebut. Pintu lemari, berisi buku-buku peninggalan Kartono. Dan begitulah ia mulai membaca, dan membaca, dan membaca, hingga pikirannya dapat bebas berargumen dan berpendapat.

Kartini tidak melakukan perjuangan sendiri. Sebagai kakak, ia membimbing kedua adik perempuannya; Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita). Bersama, mereka mengembangkan diri menjadi putri-putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Utomo) yang cerdas dan berwawasan luas.  Kartini berjuang dengan tulisan-tulisannya, Roekmini dan Kardinah berjuang lewat seni batik dan kayu pahat. Bahkan pada satu titik, mereka dapat membangkitkan industri pahat dan pada saat yang sama memperkenalkan kebudayaan dan kesenian Jepara ke Belanda.

Kendati mengalami masa kecil yang sulit karena terpisah dari ibu kandungnya, Ngasirah (Christine Hakim) yang harus menjadi pembantu dan hidup di rumah belakang karena tidak memiliki darah ningrat, Kartini tetap bersemangat untuk memperjuangkan pemikiran dan pendidikan untuk anak-anak perempuan. Halangan terbesar yang menghadang perjuangannya adalah cibiran dari lingkungan bangsawan sekitar yang menganggap bahwa sebagai perempuan ia liar dan tidak menghormati tradisi. Namun, belakangan yang terjadi justru ayahnya mendukung perjuangan Kartini.

Film ini memiliki alur yang padat dan sangat menginspirasi. Sayangnya, film ini hanya menampilkan sedikit penekanan pada sisi agama. Di antaranya ketika ia bertanya kepada seorang kiai tentang ayat al-Qur’an yang membahas ilmu, dan apakah ayat itu khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Film ini juga menunjukkan bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang menentang poligami.

Faijah Ida, staf Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) UAD, berpendapat bahwa film ini sangat menginspirasi. Namun, terkesan belum selesai karena perjuangan R.A. Kartini tidak dapat dengan mudah dirangkum dalam film berdurasi 106 menit. Masih banyak hal yang belum muncul dalam film ini seperti buku Habis Gelap Terbitlah Terang dan kisah Kartini setelah menikah yang menjadi salah satu titik tolak reformasi perempuan.

“Adegan yang paling aku suka saat Kartini dan ibunya ngudo roso di pinggir danau. Pertanyaan ibunya tentang apa yang tidak bisa ia temui di aksara londo, adalah bakti. Bakti sebagai anak, istri, dan wanita yang membuat ibunya rela menjadi pembantu demi masa depan anak-anaknya sebagai keluarga ningrat,” jelas Faijah. (dev)

 

Sumber foto : Legacy Pictures dan Internet Movie Database (IMDB)

Alanse Juni Setiawan Bondan: Kasih Sayang Guru Harus Merata

“Kesulitan utama ada di bahasa dan manajemen kelas. Tetapi, murid-murid sangat aktif dan antusias, jadi hal itu dengan mudah dapat diatasi,” Alanse Juni Setiawan Bondan, S.S., menceritakan pengalamannya mengajar di Sangkhom Islam Wittaya, Songkla, Thailand Selatan. Alan, begitu ia biasa disapa mengaku pengalaman mengajar di Thailand sebagai bagian dari program Kantor Urusan Internasional (KUI), Alumni Mengajar di Luar Negeri, adalah pengalaman yang sangat langka. Biar pun berasal dari Program Studi Sastra Indonesia, Alan tetap membekali diri dengan pengalaman mengajar sebagai mentor les privat. Alan juga kerap mengikuti organisasi seperti IMM Fakultas, BEM, dan Komunitas Karate Indonesia.

Di Thailand, Alan mengajar berbagai mata pelajaran di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Pada tahun pertama, ia mengajar Bahasa Inggris, Sains, dan Matematika. Sedang di tahun kedua, ia mengajar Kesenian, Olahraga, dan Ilmu Agama Dasar. Tahun ini adalah tahun ketiga Alan mengajar di Thailand. Ketika ditanya tentang rencana masa depan, Alan menjawab bahwa setelah selesai tugasnya mengajar di tahun ketiga, ia berencana untuk melanjutkan studi S2.

Ketika ditemui di kampus 1 UAD, pemuda kelahiran Blora, 4 Juni 1991 itu mengaku sedang cuti dan akan kembali ke Thailand pada Mei mendatang. Tujuan awal Alan mengikuti program tersebut adalah untuk mencari pengalaman mengajar. Kesempatan untuk mengajar di luar negeri adalah kesempatan langka. Maka saat direkomendasikan oleh fakultas, ia langsung menerima tawaran tersebut dan mengikuti seleksi.

“Saya beruntung ditempatkan di daerah yang mayoritas penduduknya beragama muslim. Di sana saya melihat kaum minoritas bisa berkembang di tempat yang kurang mendukung. Saya juga kagum dengan kehidupan bermasyarakat di Thailand. Di sana, keberagaman dan perbedaan bisa lumer. Padahal jika dibandingkan dengan Indonesia, kehidupan muslim di sana lebih ketat, bisa dibilang seperti kehidupan pesantren. Tetapi perbedaan bisa benar-benar lumer,” jelasnya.

Perbedaan budaya lain yang ia temui selama mengajar di Thailand adalah budaya mengucap salam.

Assalamu’alaikum, teacher,” ucap Alan menirukan gaya murid-murid biasa menyapanya, tidak peduli di dalam atau di luar sekolah.

Walaupun di Thailand Alan adalah “orang asing”, sebagai guru, ia sangat dihormati oleh murid-muridnya. Bahkan, ia dikenal dapat mengatasi kelas yang paling sulit diatur.

“Di sekolah saya, ada pembagian, seperti kelas unggulan dan kelas biasa. Walaupun kondisinya seperti itu, menurut saya guru tetap harus adil. Kasih sayang yang diberikan harus merasa ke semua murid. Dengan begitu, murid pun juga akan memberikan perhatian dan menghormati kita.” (dev)