Mahasiswa UAD Yogyakarta Kembangkan Pendeteksi Alkohol

UAD_Alat_deteksi_alkohol

Mahasiswa Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Meldi Rahma Saputra mengembangkan alat untuk mendeteksi kadar alkohol melalui embusan napas.

“Alat untuk mendeteksi kadar alkohol yang saya kembangkan itu memiliki keunggulan dalam kecepatan waktu deteksi dibandingkan dengan pendeteksi alkohol melalui tes urine,” kata Meldi di Yogyakarta, Rabu (13/2/2013).

Menurut dia, dengan alat tersebut deteksi kadar alkohol bisa dilakukan dalam waktu tujuh detik, sedangkan tes kadar alkohol melalui urine membutuhkan waktu deteksi minimal dua jam.

“Alat itu bertujuan untuk memudahkan saat mendeteksi kadar alkohol dengan waktu yang tidak terlalu lama. Alat itu dirancang dengan ukuran portabel sehingga mudah untuk dibawa,” katanya.

Ia mengatakan alat deteksi kadar alkohol melalui embusan napas tersebut bekerja dengan menggunakan sensor alkohol Taghuci Gas Sensor (TGS) 2620, yang merupakan sensor sensitif.

“Sensor tersebut akan bekerja ketika saklar diaktifkan. Pengukuran kadar alkohol dilakukan dengan menghembuskan napas pada corong alat dan hasilnya akan ditampilkan di layar LCD,” katanya.

Wakil Rektor III Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Dr Abdul Fadlil mengatakan pengembangan penelitian mahasiswa itu sekaligus untuk membuat mahasiswa menjadi lulus dengan percaya diri.

Jadi, menurut dia, selain membuat skripsi, karya yang mereka ciptakan juga bisa dimanfaatkan masyarakat atau dilombakan. “Alat deteksi kadar alkohol melalui hembusan napas karya mahasiswa itu akan dimasukkan sentra Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) milik UAD untuk kemudian mendapatkan paten,” katanya.

Read more

FTI UAD Menerima Kunjungan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta

Selasa, 12 Pebruari 2013 Fakultas Teknologi Industri (FTI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) memperoleh kehormatan mendapat kunjungan dari Fakultas Teknik (FT) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Tamu yang hadir dipimpin langsung oleh Dekan FT UMJ Ir. Mutmainah, S.Sos., MM. Seluruh jajaran pengurus fakultas, program studi, kepala laboratorium, dosen, dan kepala humas ikut menyertai kunjungan tersebut.

Adapun pihak FTI UAD diterima oleh Dekan FTI UAD Kartika Firdaus, S.T., M.T, Wakil Rektor III Dr. Abdul Fadlik, MT, Kaprodi di lingkungan FTI, dan beberapa dosen.

Menurut Mutmainah kunjungan tersebut dalam rangka tukar informasi mengenai pengelolaan fakultas. “Kami senang berkunjung ke FTI UAD, karena mendapat banyak informasi terutama pembinaan terhadap mahasiswa FTI UAD yang berhasil menumbuhkan tradisi juara berbagai perlombaan kemahasiswaan, ” katanya.

Read more

(Bukan) Akhir Dari Partai Berlabel Agama

Dani Fadillah*

Beberapa waktu yang lalu santer diberitakan bahwa partai-partai yang berlabel agama mengalami penurunan elektabilitas yang dapat dikatakan cukup drastis. Kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan itu adalah partai-partai yang berlabel agama tidak lagi ‘menjual’, partai dengan embel-embel agamat tidak lagi memiliki daya tarik bagi masyarakat. Benarkah? Jika memang iya, kenapa bisa demikian?.

Harapannya, kehadiran partai-partai yang berlabel agama diharapkan dapat menjadi pembeda untuk mengimbangi keberadaan partai-partai lain yang tidak berlabelkan agama. Dapat memberikan masukan dari sisi kerohaniyahaan ketika hendak mengambil sebuah kebijakan misalnya, supaya kebijakan yang diambil tidak menjadi sebuah kebijakan liberal yang lepas dari spirit Ketuhanan YME. Namun sayangnya dalam praktinya belakangan ini partai berlabel agama cenderung terjebak dalam Simbolitas belaka, simbol dari sisi ikonografi tokoh dan simbol dari logo yang digunakan oleh partai. Seperti memakai lambang ka’bah, dua kalimat syahdat, hingga logo partai yang menyerupai lambang dua ormas kegamaan terbesar di Indonesia. Penegasan ideologis seolah tidak lagi dipandang penting.

Tokoh

Faktanya, dibandingkan tampil sebagai pembela umat, tokoh-tokoh partai berlabel agama lebih terlihat sebagai representasi pemerintah. Ada yang menjadi menteri agama, menteri tenaga kerja dan transmigrasi, menko perekonomian, Menkominfo, dll. Dan tokoh-tokoh yang tidak mendapat di kursi pemerintahan cenderung terlihat sebagai perwujudan dari profesi yang dianutnya, bukan sebagai petinggi partai berlabel agama, contohnya Yusril Ihza Mahandra yang lebih dikenal sebagai praktisi hukum ketimbang petinggi PBB. Atau malah seperti hilang ditelan bumi, sebagaimana bapak reformasi dari partai berlambang matahari yang tidak lagi terdengar bagaimana lagi langkah-langkah prestisius yang diambilnya untuk membangun negeri.

Bagi partai, apalagi yang membawa simbol-simbol keagamaan, keberadaan tokoh sangat penting karena dipandang sebagai blue print konkrit wujud partai-partai tersebut. Sebagaimana partai Masyumi yang tidak mungkin akan terdengar kisah kebesarannya jika tidak ada tokoh-tokoh mendunia seperti Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo,Mohamad Roem, dll.

Keluar Dari Keterpurukan

Penulis pernah mendengarkan keluhan kader sebuah partai dengan label agama yang menyatakan bahwa partainya adalah korban dari politik pragmatisme-transaksional, kesimpulannya, partai-partai berlabel agama kalah bukan karena sentimen nasionalisme atau yang bersifat ideologis, tetapi karena ketidakmampuan mengimbangi kekuatan kapital atau dana partai yang besar.

Mungkin ada benarnya, namun penulis rasa tidak sesederhana itu kesimpulan yang seharusnya diambil. Memang, di lapangan tidak sedikit masyarakat yang sudah terkondisikan bermental pragmatis. Akan tetapi bukankah itu merupakan sebuah celah bagi partai-partai berlabel agama untuk tampil beda? Kenapa hal itu tidak dijadikan cambul untuk untuk lebih kreatif sehingga umat percaya dan mendukung.

Penulis pun berharap partai-partai dengan label agama jangan ikut masuk dalam ke dalam pendekatan pragmatisme-transaksional karena jika sampai begitu maka parta-partai dengan label agama akan turut berjasa merusak akhlak politik semua lapisan masyarakat, tentu itu jauh dari ajaran agama. Partai-partai berlabel agama harus menang dengan cara-cara yang mengedepankan keluhuran akhlak, bukan sebaliknya.

*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan,

Pengamat Komunikasi Politik

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Dani Fadillah

TTL : Langsa, 29 Juni 1988

Alamat : Perumahan Jatimulyo Baru Blok F-2 Yogyakarta

Telp : 0898 5117 210

E-Mail : danifadillah@uad.ac.id

Riwayat pendidikan

• S1 UIN Sunan kalijaga Yogyakarta

• S2 UGM Yogyakarta

Pengalaman Organisasi

• Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UIN Sunan Kalijaga 2009

• Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah Kabupaten Sleman 2010

Read more

Ini Dia 30 Perguruan Tinggi Terkemuka di Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID,Ini Daftar 30 perguruan tinggi di Indonesia

JAKARTA–Universitas Gadjah Mada berada pada peringkat pertama perguruan tinggi terkemuka versi 4ICU.org. Pada daftar yang dirilis Januari 2013, peringkat kedua diduduki ITB dan disusul ITB.

Di tingkat Asia, Universitas Gadjah Mada menempati peringkat 53 dalam daftar 100. Pada ‘Top 100 Universities and College in Asia’ hanya tiga universitas di Indonesia yang masuk daftar, yakni Universitas Gadjah Mada (UGM) pada posisi 27 Universitas Ahmad Dahlan (UAD), posisi 53, Institut Teknologi Bandung (ITB) 69, dan Universitas Indonesia (UI) 84.

Berikut daftar 30 perguruan tinggi top di Indonesia versi 4ICU.org:

1. Universitas Gadjah Mada,

2. Institut Teknologi Bandung,

3. Universitas Indonesia,

4. Universitas Brawijaya,

5. Universitas Gunadarma,

6. Institut Pertanian Bogor,

7. Universitas Diponegoro,

8. Universitas 11 Maret,

9. Universitas Pendidikan Indonesia

10. Institut Teknologi Sepuluh November,

11. Universitas Mercu Buana

12. Universitas Airlangga,

13. Universitas Padjajaran,

14. Universitas Islam Indonesia

15. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

16. Universitas Bina Nusantara

17. Universitas Sumatera Utara

18. Universitas Negeri Malang

19. Universitas Muhammadiyah Malang

20. Universitas Sriwijaya

21. Universitas Negeri Yogyakarta

22. Universitas Hasanuddin

23. Universitas Komputer Indonesia

24. Univesitas Kristen Petra

25. Universitas Udayana

26. Universitas Atma Jaya Jakarta

27. UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA

28. Universitas Negeri Semarang

29. Universitas Lampung

30. Universitas Surabaya

Read more

100 Besar Universitas Terbaik di Indonesia rilis Januari 2013

Webometrics, sebuah situs yang melakukan pemeringkatan universitas-universitas di seluruh dunia berdasarkan parameter digital, kembali mengeluarkan pemeringkatan terbaru pada Januari 2013. Setiap tahunnya, Webometrics mengeluarkan dua kali rilis pemeringkatan, yaitu pada Januari dan Juli. Kali ini, ada 356 perguruan tinggi di Indonesia yang masuk pemeringkatan Webometrics.

Pemeringkatan oleh Webometrics ini didasarkan pada sejumlah aspek, antara lain terkait konten global yang terindeks oleh Google, jumlah rich file (pdf, doc, docs, dan ppt) yang terindeks di Google Scholar, dan karya akademik yang terpublikasi di jurnal internasional.

Tujuan dari pemeringkatan ini adalah mempromosikan publikasi situs, mendukung keterbukaan akses, dan akses elektronik untuk publikasi ilmiah. Indikator situs dinilai sangat berguna untuk pemeringkatan karena tak hanya berdasarkan jumlah kunjungan, tetapi juga pada jumlah konten global dan visibilitas dari universitas yang bersangkutan.

Berikut adalah peringkat 100 besar perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, seperti dimuat pada situs Webometrics:

100 besar perguruan-perguruan tinggi di Indonesia

1 440 Universitas Gadjah Mada

2 497 Institute of Technology Bandung 1875

3 581 University of Indonesia

4 634 Gunadarma University

5 722 Brawijaya University

6 781 Diponegoro University

7 839 Bogor Agricultural University

8 848 Institut Teknologi Sepuluh Nopember

9 885 Universitas Padjadjaran

10 929 (2) Airlangga University

11 1020 Petra Christian University

12 1045 Universitas Negeri Malang

13 1078 Universitas Sriwijaya

14 1097 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

15 1108 Universitas Pendikan Indonesia / Indonesia University of Education

16 1196 Universitas Islam Indonesia

17 1240 Universitas Sebelas Maret

18 1277 Universitas Mercu Buana

19 1440 Universitas Muhammadiyah Malang

20 1481 Hasanuddin University

21 1528 Indonesia University of Computer UNIKOM

22 1707 Universitas Negeri Semarang

23 1720 Universitas Muhammadiyah Surakarta

24 1783 Universitas Esa Unggul (Universitas Indonusa)

25 1848 Bina Nusantara BINUS University

26 1926 Universitas Udayana

27 1939 Yogyakarta State University

28 1951 Universitas Sumatera Utara

29 1985 Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Jakarta

30 1991 Universitas Lampung

31 2000 Informatics and Computer College Stmik Amikom

32 2013 Andalas University

33 2043 Universitas Pendidikan Ganesha

34 2080 Universitas Jenderal Soedirman

35 2096 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang [Image:

36 2400 AHMAD DAHLAN UNIVERSITY

37 2627 STISI Telkom

38 2653 Universitas Narotama

39 2768 Universitas Surabaya

40 2785 Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

41 2785 Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta

42 2809 Universitas Riau Beranda

43 2852 Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

44 2875 Institut Teknologi Nasional

45 2956 Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur

46 2985 (1) Electronic Engineering Polytechnic Institute of Surabaya

47 3002 Universitas Negeri Surabaya

48 3012 Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel

49 3045 Sekolah Tinggi Informatika dan Komputer Indonesia

51 3140 Universitas Negeri Padang

52 3182 Universitas Nusa Cendana

53 3200 Maranatha Christian University

54 3236 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

55 3266 Universitas Dian Nuswantoro

56 3310 Politeknik Negeri Malang

57 3311 Duta Wacana Christian University

58 3360 Universitas Negeri Papua

59 3364 STIKOM Surabaya

60 3366 Universitas Hang Tuah

61 3424 Universitas Katolik Parahyangan

62 3425 (1) Universitas Tarumanagara

63 3450 Institut Sains & Teknologi Akprind

64 3544 Universitas Terbuka

65 3700 Institut Teknologi Telkom (Sekolah Tinggi Teknologi Telkom)

66 3759 Universitas Negeri Makassar

67 4036 Universitas Trisakti

68 4044 ISI Denpasar

69 4096 Universitas Sam Ratulangi

70 4173 Universitas Kristen Satya Wacana

71 4358 Universitas Bengkulu

72 4370 Telkom Institute of Management

73 4419 Universitas Negeri Gorontalo

74 4419 STMIK MDP & STIE MDP

75 4463 Universitas Jember

76 4535 Universitas Pasundan

77 4602 Universitas Islam Bandung

78 4651 Universitas Muslim Indonesia

79 4780 Universitas Bina Darma

80 4832 Universitas Katolik Soegijapranata

81 4836 Politeknik Telkom

82 4862 Universitas Kuningan

83 4919 Widya Manadala Catholic University

84 4922 Universitas Tadulako

85 4935 Universitas Pancasila

86 5010 Islamic University of Sultan Agung

87 5072 Universitas Muhammadiyah Semarang

88 5130 Universitas Tanjungpura

89 5150 Atma Jaya Yogyakarta University [Image: Details.jpg]

90 5150 Universitas Darussalam Ambon [Image: Details.jpg]

91 5166 Universitas Negeri Jakarta

92 5211 Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

93 5265 Universitas Negeri Medan

94 5375 Universitas Stikubank Semarang

95 5413 Universitas Lambung Mangkurat

96 5485 Universitas Pelita Harapan

97 5629 Universitas Paramadina

98 5724 Universitas Jambi

99 5834 Universitas Sanata Dharma

100 5921 Muria Kudus University

UAD 36 Peringkat Indonesia

2400 Peringkat Dunia

Read more

Menciptakan Budaya Sekolah

Oleh : Hendra Darmawan*)

Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, definisi pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Definisi tersebut menyiratkan bahwa pendidikan adalah pembudayaan (culturalization) dan pemberdayaan (empowerment) untuk menumbuhkembangkan potensi dan kepribadian peserta didik sehingga mereka dapat menjadi pribadi yang cerdas, berakhlak mulia, dan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang berguba bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara. Penulis berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan strategi kebudayaan untuk mencerdaskan kehidupan sekaligus pilar strategis untuk membangun peradaban bangsa (nation civilization).

Pendidikan hari ini menjadi tuntutan hidup bagi setiap orang. Ia menjadikan seseorang memiliki harapan hidup yang lebih baik dimasa depan karena pendidikannya. Akhir-akhir ini kita sering kita dapati berita bahwa banyak siswa ditengah-tengah proses belajar mengajar tiba-tiba mengalami kesurupan. Hal ini sejak lama tidak pernah kita dapati, namun hari ini itu seakan-akan menjadi trend. Pihak sekolahpun disibukkan dengan terapi-terapi alternative penanganannya. Suatu sekolah bahkan menyelenggarakan berdoa bersama agar warga sekolah tidak mengalami kesurupan. Ada pertanyaan yang muncul dalam benak para pendidik, kenapa hal itu terjadi.

Benak manusia modern hari ini banyak disusupi hal-hal yang tidak rasional, tidak mendidik, saru dan lain-lain. Sehingga rasionalitasnya tumpul. Bombamdir acara pertelevisian hari ini mulai dari tayangan yang informative, mendidik, sampai yang mistik semua ada. Acara Tv hari ini tidak semata informative tetapi menjadi ancaman masa depan generasi muda. Acara yang ada cenderung hanya menjadikan audien sebagai penerima pasif, tanpa berpikir panjang. Emha Ainun Nadjib (kompas 16/12) menegaskan bahwa kebanyakan manusia tidak mau berpikir” atau minimal’ banyak manusia yang tidak menggunakan akal. Karena kemalasan mengolah logika dan system rasio, orang menyangka dunia dan akhirat itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak bahkan bertentangan.

Bervariasinya program televisi hari ini menjadikan para orang tua tidak mampu mengontrol apa yang dipilih oleh putra-putrinya. Dunia pertelevisian seakan tidak mengenal istilah Prime time. Meskipun dibeberapa daerah sudah ada yang namanya jam belajar dan jam mengaji, tetapi itu kalah efektif dibandingkan dengan TV. Seakan anak-anak dapat menemukan ayat tuhan di TV dibandingkan dengan dengan membaca kitab suci. Seorang Psikolog dari UGM menyarankan perlunya diet nonton Televisi, tidak hanya diet karena obesitas. Dengan mempersiapkan strategi-strategi lain yang efisien dan mendampingi generasi muda lebih intensif, kita berharap muncul etos generasi muda yang lebih mencintai ilmu, gemar membaca, peduli sesama dan mencipta peradaban.

Budaya Sekolah

Zawawi Imron: mengutip pesan hikmah dari timur tengah ” bahwasanya hidup pemuda harus bergelimang ilmu dan ketaqwaan, jika itu luput maka baginya takbir empat kali symbol atas kematiannya. Salah satu metode paling efektif untuk pendidikan karakter adalah melalui budaya sekolah. Jika sekolah dapat menciptakan kehidupan keseharian yang jujur, bersih, tertib, santun, toleran, kerja keras dan dibarengi dengan penanaman norma kehidupan dengan guru sebagai model (Uswatun hasanah) perilaku tersebut secara bertahap akan menjadi budaya sekolah (school culture). Kesemuanya akan menjadi keadaban publik (civic virtue) jika budaya sekolah tersebut dapat diwujudkan .

*) Dosen PBI FKIP UAD

Read more

AKADEMIA REPUBLIKA INDONESIA MINUS DOKUMENTASI BAHASA

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD Yogyakarta

Judul tulisan ini mirip dengan judul berita yang pernah muncul di sebuah harian nasional beberapa hari lalu. Penulis sengaja menggunakannya, tanpa mengubah sedikit pun dengan beberapa alasan. Sekurangnya, ada dua alasan yang mendasar, yaitu pertama, judul itu dibaca sebagai realitas/kenyataan yang saat ini sedang terjadi, dan kedua, judul itu pula dibaca sebagai tantangan yang mestinya dijawab dengan komitmen dan perbuatan. Dengan kedua alasan itu, kita akan terhindar dari kemungkinan yang terburuk: Indonesia darurat dokumentasi bahasa.

Alasan pertama, yakni bahwa Indonesia dipandang minus dokumentasi bahasa. Pandangan ini muncul dari RMT Multamia Lauder, seorang guru besar bidang bahasa dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI). Sebagai orang yang menaruh minat pada bidang sosiolinguistik, khususnya etnolinguistik, Multamia Lauder seolah mengingatkan kita tentang betapa pentingnya dokumentasi bahasa, khususnya bahasa-bahasa daerah yang kondisinya terancam mengalami kepunahan.

Terkait itu, dalam sebuah edisinya, majalah Tempo pernah menurunkan liputan tentang aktivitas para peneliti LIPI yang terjun ke wilayah-wilayah di Indonesia bagian timur, seperti Flores, Maluku, dan Papua. Diberitakan, bahwa di daerah Flores ada satu dialek bahasa daerah yang penuturnya tinggal seorang diri. Bisa dibayangkan jika penutur tadi suatu waktu meninggal dunia, dialek bahasa daerah itu pun hilang. Makanya para peneliti LIPI dengan usahanya yang tak kenal menyerah, mencatat dan merekam dialek bahasa tersebut.

Namun, catatan tinggal catatan; rekaman tinggal rekaman, ternyata kaset yang digunakan untuk merekam tidak terawat dengan baik. Alih-alih dirawat, justru dibiarkan rusak dengan sendirinya. Alhasil, usaha yang telah dilakukan oleh para peneliti LIPI menjadi sia-sia, muspra. Kejadian ini pun mengingatkan kita pada berita tidak terawatnya dokumentasi sastra pada Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, beberapa waktu lalu. Jika tak salah ingat, Pemerintah DKI Jakarta saat itu sudah tidak lagi mengucurkan dana perawatan bagi PDS HB Jassin.

Alasan kedua, yakni bahwa Indonesia dipandang minus dokumentasi bahasa. Pandangan ini mestinya dipahami sebagai suatu tantangan yang perlu dijawab dengan komitmen dan perbuatan, terutama oleh/dari pemerintah pusat dan daerah. Selama ini, jujur saja, nasib bahasa daerah ditentukan oleh penuturnya sendiri. Seolah pemerintah daerah menutup mata terhadap kewajibannya untuk membina, mengembangkan, dan melestarikan bahasa daerahnya masing-masing. Padahal, hal tersebut telah diatur dalam konstitusi.

Bahasa Jawa, misalnya, sebagai bahasa yang memiliki jumlah penutur sangat banyak dan beragam dialek itu, namun belum tentu aman dari ancaman kepunahan. Selama ini, yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah barulah pada tahap pembuatan Peraturan Daerah (Perda) tentang Bahasa Jawa, tidak lebih dari itu. Terlepas dari kenyataan betapa banyak siswa yang tidak berminat menggunakan bahasa Jawa, hal itu menjadi kenyataan yang tidak bisa ditutup-tutupi. Entahlah, apakah pemerintah daerah terbuka matanya akan hal tersebut.

Sementara itu, penerbitan karya-karya sastra daerah, khususnya sastra Jawa, berjalan tersendat-sendat. Untungnya Ajip Rosidi melalui Yayasan Rancage-nya, juga Rachmat Djoko Pradopo melalui Yasayo-nya, memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap pengarang-pengarang yang setia berkarya sastra dengan bahasa daerah (Jawa, Sunda, dan Bali). Meski bersifat nonprofit, juga nonpartisan partai politik, kedua yayasan tersebut secara rutin memberikan penghargaan bagi pengarang-pengarang sastra daerah.

Kita telah memiliki Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang dibangun dengan susah payah oleh almarhum HB Jassin. Sebagai bentuk penghormatan kepada jasa-jasanya, selayaknya pusat dokumentasi tersebut kita jaga sepenuh hati. Pun, jika kita nantinya memiliki pusat dokumentasi sekelas PDS HB Jassin, maka kita jaga pula sepenuh hati. Jika tidak, pada tahun 2045 mendatang bahasa-bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, Dayak, hingga Flores hanya akan dapat kita jumpai dalam museum bahasa yang bisu dan pengap.[]

Read more

Memahami Anak Gifted

Dessy Pranungsari, M.Psi

Memahami anak gifted bisa merujuk dari pendapat ahli. Istilah kemampuan dan kecerdasan luar biasa sering dipadankan dengan istilah “gifted” atau berbakat. Meskipun hingga saat ini belum ada satu definisi tunggal yang mencakup seluruh pengertian anak berbakat. Sebutan lain bagi anak gifted ini misalnya genius, bright, dan talented.

Semua sebutan ini menurut Soemantri (2006) merujuk kepada adanya keunggulan kemampuan yang dimiliki seseorang. Satu ciri yang paling umum diterima sebagai ciri anak berbakat ialah memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dari anak normal, sebagaimana di ukur oleh alat ukur kecerdasan (IQ) yang sudah baku. Pada mulanya memang tingkat kecerdasan (IQ) dipandang sebagai satu-satunya ukuran anak berbakat. Pandangan ini disebut pandangan berdimensi tunggal tentang anak berbakat.

Ahli lain Binet dan Simon mendefinisikan intelligensi sebagai kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau tindakan, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut dilaksanakan, dan kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan autocriticsm. Menurut Binet, intelligensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang. Intelligensi dipandang sebagai sesuatu yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai tingkat perkembangan individu berdasar suatu kriteria tertentu.

Thorndike (Azwar, 2004) mengatakan bahwa intelligensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta. Intelligensi terdiri atas berbagai kemampuan spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku intelligen. Thorndike mengklasifikasikan intelligensi dalam bentuk kemampuan abstraksi yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan gagasan dan simbol-simbol, kemampuan mekanik yaitu suatu kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan alat-alat mekanis dan pekerjaan dengan aktivitas indra gerak (sensory-motor), dan kemampuan sosial yaitu kemampuan untuk menghadapi orang lain di sekitar diri dengan cara-cara yang efektif.

Menurut Munandar (1999) anak yang mendapat predikat gifted dan talented adalah mereka yang didefinisikan oleh orang-orang yang benar-benar professional atas dasar kemampuan mereka yang luar biasa dan kecakapan mereka dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berkualitas tinggi. Dengan demikian mereka akan dapat mewujudkan atau memberi sumbangan baik terhadap dirinya maupun masyarakat.

Dalam pandangan mutakhir, keberbakatan tidak semata-mata merujuk kepada fungsi kognitif, melainkan merujuk kepada totalitas dan keterpaduan fungsi otak. Cattell (dalam Barbara Clark, 1998:8) mengartikan intelligensi adalah perpaduan sifat manusia yang memadukan kapasitas untuk memahami hubungan secara keseluruhan, mampu memahami proses termasuk berfikir abstrak, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan untuk memperoleh kecakapan baru. Dalam konsep luas dan terpadu ini istilah keberbakatan akan mencakup anak yang memiliki kecakapan intelektual superior, yang cecara potensial dan fungsional mampu mencapai keunggulan akademik di dalam kelompok populasinya; dan/atau berbakat tinggi dalam bidang tertentu, seperti matematika, IPA, seni, musik, kepemimpinan social, dan perilaku kreatif tertentu dalam interaksi dengan lingkungan dimana kecakapan dan unjuk kerjanya itu ditampilkan secara konsisten. (Soemantri, 2006)

Berdasarkan beberapa pengertian gifted di atas, maka dapat diketahui bahwa pendekatan multikriteria tampaknya lebih diterima oleh banyak kalangan dalam identifikasi anak gifted. Meskipun begitu, kemampuan intelligensi masih menjadi salah faktor penting dalam identifikasi keberbakatan dilihat dari adanya aspek kecerdasan tinggi (superior) pada definisi keberbakatan. Tingginya kemampuan khusus haruslah ditunjang dengan tingginya intelligensi. Misalnya kemampuan berfikir kreatif atau kreativitas, tidaklah dapat berkembang tanpa adanya superioritas intelligensi. Anggapan semacam ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Burt, bahwa tidaklah ada kreativitas yang murni tanpa disertai oleh tingkat intelligensi umum yang tinggi.

Maka kenalilah anak didik kita. Siapa tahu siswa kita memenuhi kriteria menjadi anak gifted ?

Penulis adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
AR-SA

MicrosoftInternetExplorer4

Memahami  Anak Gifted

Dessy Pranungsari, M.Psi

Memahami anak gifted bisa merujuk dari pendapat ahli. Istilah kemampuan dan kecerdasan luar biasa sering dipadankan dengan istilah “gifted” atau berbakat. Meskipun hingga saat ini belum ada satu definisi tunggal yang mencakup seluruh pengertian anak berbakat. Sebutan lain bagi anak gifted ini misalnya genius, bright, dan talented.

       Semua sebutan ini menurut Soemantri (2006) merujuk kepada adanya keunggulan kemampuan yang dimiliki seseorang. Satu ciri yang paling umum diterima sebagai ciri anak berbakat ialah memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dari anak normal, sebagaimana di ukur oleh alat ukur kecerdasan (IQ) yang sudah baku. Pada mulanya memang tingkat kecerdasan (IQ) dipandang sebagai satu-satunya ukuran anak berbakat. Pandangan ini disebut pandangan berdimensi tunggal tentang anak berbakat.

Ahli lain  Binet dan Simon mendefinisikan intelligensi sebagai kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau tindakan, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut dilaksanakan, dan kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan autocriticsm. Menurut Binet, intelligensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang. Intelligensi dipandang sebagai sesuatu yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai tingkat perkembangan individu berdasar suatu kriteria tertentu. 

Thorndike (Azwar, 2004) mengatakan bahwa intelligensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta. Intelligensi terdiri atas berbagai kemampuan spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku intelligen. Thorndike mengklasifikasikan intelligensi dalam bentuk kemampuan abstraksi yaitu suatu kemampuan untuk menggunakan gagasan dan simbol-simbol, kemampuan mekanik yaitu suatu kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan alat-alat mekanis dan pekerjaan dengan aktivitas indra gerak (sensory-motor), dan kemampuan sosial yaitu kemampuan untuk menghadapi orang lain di sekitar diri dengan cara-cara yang efektif.        

       Menurut Munandar (1999) anak yang mendapat predikat gifted dan talented adalah mereka yang didefinisikan oleh orang-orang yang benar-benar professional atas dasar kemampuan mereka yang luar biasa dan kecakapan mereka dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berkualitas tinggi. Dengan demikian mereka akan dapat mewujudkan atau memberi sumbangan baik terhadap dirinya maupun masyarakat.

       Dalam pandangan mutakhir, keberbakatan tidak semata-mata merujuk kepada fungsi kognitif, melainkan merujuk kepada totalitas dan keterpaduan fungsi otak. Cattell (dalam Barbara Clark, 1998:8) mengartikan intelligensi adalah perpaduan sifat manusia yang memadukan kapasitas untuk memahami hubungan secara keseluruhan, mampu memahami proses termasuk berfikir abstrak, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan untuk memperoleh kecakapan baru. Dalam konsep luas dan terpadu ini istilah keberbakatan akan mencakup anak yang memiliki kecakapan intelektual superior, yang cecara potensial dan fungsional mampu mencapai keunggulan akademik di dalam kelompok populasinya; dan/atau berbakat tinggi dalam bidang tertentu, seperti matematika, IPA, seni, musik, kepemimpinan social, dan perilaku kreatif tertentu dalam interaksi dengan lingkungan dimana kecakapan dan unjuk kerjanya itu ditampilkan secara konsisten. (Soemantri, 2006)

       Berdasarkan beberapa pengertian gifted di atas, maka dapat diketahui bahwa pendekatan multikriteria tampaknya lebih diterima oleh banyak kalangan dalam identifikasi anak gifted. Meskipun begitu, kemampuan intelligensi masih menjadi salah faktor penting dalam identifikasi keberbakatan dilihat dari adanya aspek kecerdasan tinggi (superior) pada definisi keberbakatan. Tingginya kemampuan khusus haruslah ditunjang dengan tingginya intelligensi. Misalnya kemampuan berfikir kreatif atau kreativitas, tidaklah dapat berkembang tanpa adanya superioritas intelligensi. Anggapan semacam ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Burt, bahwa tidaklah ada kreativitas yang murni tanpa disertai oleh tingkat intelligensi umum yang tinggi.

            Maka kenalilah anak didik kita. Siapa tahu siswa kita  memenuhi kriteria menjadi anak gifted ?

 

                            Penulis adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:Arial;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}

Read more

MEMASYARAKATKAN SASTRA, KENAPA TIDAK?

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta

Saat ini, pemasyarakatan sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra daerah, masih dianggap kurang baik. Bagi masyarakat kita, sastra bukanlah sebuah kebutuhan yang mestinya dipenuhi layaknya kebutuhan pokok sehari-hari. Betapa tidak? Lihatlah tiras penjualan buku-buku sastra belakangan ini, meskipun beberapa mengalami cetak ulang (best seller), namun hal itu tidak lantas menjamin bahwa masyarakat kita memiliki kegemaran membaca yang tinggi.

Selain dianggap bukan kebutuhan, bagi masyarakat kita, sastra juga tidak mendatangkan keuntungan ekonomi. Lain halnya dengan kegiatan pentas musik atau olahraga yang memperoleh dukungan dana besar dari pihak sponsor. Di sisi lain, harga buku sastra yang cenderung mahal, selain juga kurang tersedia di toko-toko buku dan perpustakaan daerah, justru mengakibatkan kurang populernya sastra Indonesia dan daerah di mata siswa dan mahasiswa.

Deskripsi di atas, jelas menyebabkan rendahnya mutu pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Dalam makalahnya, Budi Darma (1999) mengidentifikasi faktor-fakor penyebab ketidakberhasilan pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Di mata guru besar sastra Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu, ada 12 faktor, di antaranya, mutu calon guru bahasa Indonesia tidak baik, minat baca siswa-guru kurang, dan kemampuan menulis siswa-guru kurang.

Kondisi serupa juga kita jumpai pada jenjang pendidikan tinggi (PT). Para mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia atau Jurusan Sastra Indonesia rata-rata memiliki minat baca yang kurang. Jika minat baca kurang, logikanya kemampuan menulisnya juga kurang. Pada gilirannya, tatkala mahasiswa tersebut menyusun tugas akhir skripsi atau makalah cenderung “asal-asalan” (asal kutip sana-sini, tidak membaca buku aslinya).

Melalui artikel ini, penulis ingin mengajukan beberapa saran guna memasyarakatkan sastra Indonesia dan daerah, baik di lingkup pendidikan maupun masyarakat umum. Pertama, pembelajaran sastra lebih diarahkan pada ketrampilan mengarang. Untuk itu, para guru/dosen serta pimpinan sekolah/kampus dapat menyediakan sarana publikasi karangan, selain juga memberikan insentif bagi para penulisnya.

Kedua, para siswa dan mahasiswa sebisa mungkin diajak untuk menyenangi karya sastra, baik puisi, prosa, maupun drama. Terlepas dari genre-nya apakah sastra pop atau sasta bukan-pop, kelebihan dan kekurangan pada masing-masing, kita perlu terima dengan lapang dada. Yang penting bagi kita, para siswa dan mahasiswa melek karya sastra terlebih dahulu, lantas barulah diajak untuk berpikir perihal kebermanfaatan karya sastra itu bagi dirinya dan orang sekitar.

Keiga, pihak sekolah/kampus dapat menambah frekuensi kegiatan sastra berupa seminar, lokakarya, bedah buku, lomba mengarang, lomba membaca, dan lain-lain. Jika perlu, kegiatan-kegiatan tersebut tak hanya digelar di sekolah/kampus, tetapi juga di kalangan masyarakat luas. Pula, penyediaan buku-buku sastra di ruang tunggu hotel, bank, halte, hingga pasar perlu dipikirkan sebagai upaya konkret guna mendekatkan sastra dengan masyarakat.

Keempat, pihak pemerintah daerah (kota/kabupaten), khususnya lingkup DI Yogyakarta dapat mengajak masyarakat untuk menghormati para mendiang sastrawan layaknya pahlawan bangsa. Caranya, dengan menjajaki pemberian nama mendiang sastrawan kita pada nama jalan di DI Yogyakarta. Misalnya, Jalan Kuntowijoyo, Jalan Umar Kayam, Jalan Linus Suryadi AG, Jalan Kirjomulyo, atau Jalan WS Rendra. Senoga saja upaya-upaya di atas berhasil![]

Read more