Meramal Gagasan Koalisi Partai Islam di 2014

Anang Masduki*

Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Namun seolah ibarat timur dan barat. Partai islam sulit bernafas, apalagi mendulang suara, akhir-akhir ini. Sehingga pemilu tahun 2014, banyak pengamat yang memprediksi partai islam juga tidak akan banyak berkiprah. Memang partai islam pernah berjaya saat pemilu 1955, dimana partai Masyumi memperoleh kursi yang cukup signifikan. Selain itu, sepak terjang partai islam juga pernah menorehkan keberhasilan dengan terpilihnya Gus Dur menjadi presiden tahun 1999.

Maka akhir-akhir ini muncul wacana koalisi partai-partai islam guna mengusung calon presiden pada pemilu 2014 mendatang. Wacana yang digagas oleh PPP beberapa waktu lalu menuai pro dan kontra. Ada yang mengapresiasi gagasan tersebut, namun juga ada yang mencibirnya. Masuk akal sebenarnya, karena kans partai islam memperoleh suara 20% untuk memenuhi ambang batas sehingga dapat mencalonkan presiden (presidential threshold) kecil, maka solusinya partai-partai islam harus melakukan koalisi, meski itu tidak mudah.

Selain faktor presidential threshold, ruang untuk koalisi semakin lebar karena fragmentasi politik yang terjadi pada partai-partai islam, akhir-akhir ini tidak bersifat idiologis. Ini bisa dicermati ketika melihat platform masing-masing partai. PKB yang lahir dari rahim NU dan PAN dari Muhammadiyah telah menjadi partai revormis yang terbuka. Bahkan PKS yang selama ini menjadi ikon partai dakwah juga telah menyatakan terbuka terhadap semua golongan. Sehingga kemudian faktor pragmatism politik (bagi-bagi kekuasaan) yang meneguhkan untuk mewujudkan koalisi tersebut.

Permasalahan yang muncul, siapa yang akan dijadikan calon presiden saat pemilu 2014 mendatang. Mengingat partai-partai islam minim kader yang memiliki elektabilitas yang tinggi. Sejumlah survey memperlihatkan justru kader partai nasionalis yang memiliki elektabilitas cukup tinggi. Sebut saja misalnya Jokowi, Prabowo Subianto.

Jika yang dimunculkan adalah Mahfud MD, Rhoma Irama atau Hidayat Nurwahid, secara popularitas memang cukup dikenal luas. Permasalahannya adalah, popularitas bukan penentu seseorang akan dipilih ketika pemilu. Dalam komunikasi politik, penentu seseorang dipilih adalah persepsi publik. Bagaimana sosok calon presiden tersebut. Istilah Jawanya, bibit, bobot dan bebet. Bibit merujuk pada tingkat keturunan seseorang, atau ketokohan seseorang. Bobot merujuk pada kekuasaan yang dimiliki seseorang. Adapun bebet merujuk pada seberapa banyak kekayaan yang dimiliki seseorang. Jangan sampai karena secara finansial lemah kemudian menjadikan presiden sebagai pekerjaan, bukan pengabdian.

Selain itu,  Mahfud MD tidak memiliki partai politik. Adapun Hidayat Nurwahid, ketika pilkada Gubernur DKI saja tidak mampu unjuk gigi. Mahfud MD memang memiliki kedekatan dengan PKB dan tokoh NU, akan tetapi itu belum cukup sebagai modal untuk membangun koalisi partai-partai Islam. Dan jika maju menggunakan jalur independen, secara konstitusi ketatanegaraan di Indonesia belum membuka ruang untuk itu. Sungguh sebuah ironi jika partai-partai islam hanya menjadi pelengkap dan pengembira di pemilu 2014 mendatang.  

 

*penulis adalah Dosen Komunikasi UAD dan aktivis Intelektual Muda Muhammadiyah (IMM)

Kaburnya Pendidikan Humanisasi

Penulis adalah Dosen PGSD UAD

Oleh: Hendro Widodo, M. Pd

 

Hakikat pendidikan adalah upaya untuk membantu subjek didik agar berkembang menjadi sosok manusia yang potensial secara intelektual melalui proses transfer of knowledge dan potensial secara spiritual melalui proses transfer of values yang terkandung di dalamnya. Muatan upaya yang dibawa dalam proses pendidikan merupakan proses yang padu dan komprehensif. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya mampu memperhatikan semua aspek perkembangan subjek didik sebagai manusia seutuhnya, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis tidak direduksi menjadi pemenuhan kebutuhan praktis sesaat.

Tugas humanistik dari pendidikan seakan luntur oleh terjadinya proses dehumanisasi dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Humanisasi dan dehumanisasi adalah dua hal yang bersifat antagonistik. Dehumanisasi dalam pendidikan dimaksudkan sebagai proses pendidikan yang terbatas pada pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Dalam prakteknya, institusi pendidikan lebih merupakan proses transfer ilmu dan keahlian daripada usaha pembentukan kesadaran dan kepribadian peserta didik sebagai pembimbing moralnya melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki. Padahal, kecenderungan pendidikan yang sekedar transfer ilmu dan keahlian dan mengabaikan pembangunan moralitas merupakan ciri utama dehumanisasi pendidikan.

Hal tersebut mengakibatkan perkelahian antar siswa, baik yang terjadi di dalam satu sekolahan sendiri maupun melakukan penyerangan ke salah satu sekolahan, geng pelajar, aborsi, penyalahgunaan pornografi dan obat terlarang di kalangan siswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi dehumanisasi di dunia pendidikan.

 Di ruang–ruang kelas, peserta didik kurang didengar aspirasinya, kecuali menuruti kehendak pendidik yang secara sepihak menyatakan diri sebagai orang yang lebih dewasa. Pendidik menempatkan dirinya sebagai pusat segalanya, ”penguasa” dengan memerankan dirinya sebagai orang yang ”maha tahu”, mendikte, kemudian berdiri di hadapan peserta didik seraya berkhotbah tentang ”doktrin-doktrin” yang ia miliki. Peserta didik dianggap objek yang patuh dan mendengar, mencatat, menghafal dam terus dijejali dengan pengetahuan, tanpa terjadi proses interaksi timbal balik atau dialog kritis. Pola pendidikan tersebut membentuk budaya yang serba verbal, mekanistik dan dangkal sehingga jauh dari nilai-nilai humanistik.

Kondisi empiris lainnya menunjukkan bahwa sampai saat ini masih sering terjadi praktik pendidikan yang membelenggu kebebasan hakiki manusia. Peserta didik masih saja menjadi objek bukan subjek yang berkembang. Pendidikan sering kali dianggap sebagai pabrik intelektual yang dituntut agar mampu menghasilkan pelaku-pelaku pembangunan yang tangguh dan handal, sehingga pendekatan yang digunakan lebih menekankan pada sebagian aspek saja, misal aspek intelektual, sedangkan aspek lain belum mendapat posisi yang kuat atau intensif, terutama aspek afektif. Akibatnya pendidikan kurang mengarah pada penanaman potensi kemanusiaan lainnya, terutama yang bermuara pada sisi emosional peserta didik. Padahal, inti dari sebuah pendidikan adalah agar menjadikan manusia-manusia yang cerdas, kreatif, dan humanis (Setya Raharja, 2008).

Merespon kenyataan tersebut, perlu kesadaran bersama dari semua pelaku pendidikan dalam berbagai tingkatan untuk mengembalikan pendidikan pada hakikatnya yakni sebuah proses humanisasi. Proses humanisasi tersebut tidak saja memberikan pengetahuan mengenai bahan-bahan yang diajarkan, tetapi mengajak menghayatinya, mengajak mencoba menyelami dan memahami berbagai bentuk ekspresi kemanusiaan dengan berbagai dimensinya. Tidak hanya potensi intelektual peserta didik yang tersentuh, tapi juga kemanusiaannya sendiri. Semua karakteristik manusia hendaknya dapat berkembang secara optimal lewat pendidikan. Dalam proses humanisasi dalam pendidikan seorang pendidik sangat menghindari adanya penekanan pada siswa. Seorang peserta didik diterima apa adanya, dengan kelebihan dan kekurangannya sehingga tidak ada yang merasa tertekan, baik pihak siswa maupun pendidik, psikis maupun fisiknya. Pendidikan memiliki tugas berat untuk membantu peserta didik agar dapat berkembang secara normatif menjadi lebih baik dalam segala aspeknya sehinga pengembangan potensi diri peserta didik yang mencakup intelektual dan spiritual menjadi keniscayaan dalam pendidikan.  

Kerja Sama UAD dengan Universitas Belanda dan Jerman

Demi meningkatkan kemajuan akademik dan penelitian, UAD jalin kerja sama dengan tiga universitas di Eropa, yaitu University of Groningen (RUG) dan Leiden University Medical Centre (LUMC) di Belanda, serta University of Oldenburg di Jerman.  Pada tanggal 14-17 Januari lalu, pihak UAD mengadakan kunjungan ke Eropa.

Kepala Kantor Urusan Internasional, Ida Puspita, S.S., M.A.Res., menjelaskan, kunjungan ke dua negara di Eropa merupakan upaya mempersiapkan kerja sama riset, pertukaran tenaga pengajar (academic staff exchange), pengiriman staf untuk studi S3, serta penjajakan kerja sama yang lebih kongkret di bidang akademik lainnya. Terutama yang tertuang dalam tawaran skema pembiayaan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI).

Di University of Groningen Belanda, tim UAD disambut oleh Prof. Sibrand Poppema yang membahas penjajakan kerja sama riset dan akademik Fakultas Farmasi, Teknologi Industri, serta jurusan Pendidikan Fisika dan Biologi. Selanjutnya, tim UAD berkunjung ke Faculty of Mathematics and Natural Sciences untuk berdiskusi dengan perwakilan jurusan Pendidikan Fisika, Teknologi Manajemen, Computer Science, Science and Society, dan Farmasi untuk membahas beberapa proposal riset S3 yang dikirim oleh dosen-dosen di FTI, Farmasi, MIPA dan Pendidikan Fisika FKIP. Kunjungan ke fakultas tersebut juga bertujuan untuk menjalin kerja sama di bidang riset dan pertukaran staf akademik.

“Proposal kerja sama riset yang diajukan oleh Pusat CIRNOV (Center for Integrated Research and Innovation) UAD ke Science and Society RUG mendapat respon yang baik. Mereka akan bekrerja sama riset pemanfaatan “pletekan” sebagai sistem peringatan dini bagi bahaya banjir. Kemudian, proposal S3 yang telah mendapatkan potential professor adalah dari Pendidikan Fisika UAD,” terang Ida.

Ida pun melanjutkan bahwa di Leiden University Medical Centre (LUMC) rencana kerja sama yang ditawarkan oleh UAD dalam bidang riset disambut dengan baik. Hal itu diwujudkan dengan rencana pengiriman staf untuk studi S3 serta pertukaran staf akademik.

Kerja sama dengan LUMC sudah dirintis sejak UAD mengundang staf akademik dari LUMC, Prof. A. Kaptein, sebagai visiting professor di Fakultas Farmasi (S1 dan S2) dan Fak. Psikologi (S1 dan S2) selama satu bulan pada Oktober 2013. Kegiatan tersebut akan dilanjutkan pada Oktober 2014 mendatang. “Peluang kerja sama antara LUMC dengan Farmasi UAD terutama di bidang pharmacology dan pharmaco-economics,” kenang Ida.

Sedangkan di University of Oldenburg Jerman, tim UAD mengunjungi pusat penelitian untuk energi terbarukan dan berdikusi dengan jajaran dekanat Faculty of Mathematics and Sciences dan Ketua Program Pascasarjana universitas tersebut. Mereka membicarakan tentang peluang kerja sama riset dan pertukaran staf akademik. Selanjutnya, delegasi UAD disambut oleh Vice President University of Oldenburg, Prof. Dr. Bernd Siebenhüner.

Ida menuturkan bahwa hasil-hasil dari kunjungan ini sangat positif bagi kedua universitas. Salah satu yang terpenting adalah University of Oldenburg membuka peluang bagi staf akademik UAD untuk mengadakan kerja sama riset di bidang unggulan seperti wind energy research, organic photovoltaics, nano energy research, marine biology, tidal energy (energy arus laut) dan neurosciences.

Selain itu, lanjut Ida, University of Oldenburg juga terbuka bagi alumni UAD yang ingin melanjutkan studi master pada program pascasarjana renewable energy dan memberikan tawaran staf pengajar untuk melakukan riset S3/PhD bidang renewable energy, manajemen pendidikan, biologi, fisika, teknik kimia dan teknik elektro.

Kerja sama dengan universitas tersebut sangat terbuka lebar mengingat universitas ini berangkat dari College of Teacher Training. Hal ini serupa dengan sejarah IKIP di UAD sehingga terdapat banyak jurusan kependidikan di University of Oldenburg yang fokus pada bidang riset dan pengajaran. Mereka menawarkan pada para staf akademik UAD yang akan melakukan kerja sama riset untuk dapat mengajar selama berkegiatan di University of Oldenburg.

Selain Ida Puspita, kunjungan juga diikuti oleh Rektor UAD Dr. Kasiyarno, M.Hum., Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Dr. Widodo, Dekan Fakultas Farmasi,  Dr. Dyah Aryani Perwitasari, Apt., Ph.D., Dekan Fakultas Teknologi Industri, Kartika Firdausy, S.T., M.T., dan Dosen Teknik Kimia, Dr. Ing. Suhendra. “Dengan hasil kunjungan di tiga universitas Eropa tersebut, semoga UAD dapat mencapai kemajuan dan prestasi akademik serta meningkatkan prestasi mahasiswa dan lulusannya,” harap Kasiyarno.

 

Seminar Nasional Sistem Peradilan Sengketa Kesehatan

Pemberi pelayanan kesehatan memiliki komitmen untuk semaksimal mungkin mengurangi penderitaan pasien dalam proses penyembuhan penyakit. Tetapi, hasil yang diperoleh sering kali tidak diinginkan (unwanted result) baik oleh pasien, keluarga, maupun oleh tenaga kesehatan. Kasus cukup besar di tahun 2013 adalah perkara dr. Dewa Ayu Sasiary yang disebabkan gugatan atau tuntutan pasien terhadap pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan rumah sakit. Bila dunia kesehatan dihadapkan pada permasalahan hukum, sangatlah bijak bila mekanisme pendekatannya disamakan dengan peradilan pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan tenaga kesehatan yang diadili juga termasuk pengemban profesi kesehatan yang rawan terhadap pembunuhan karakter. Sifat terbuka pada peradilan litigasi menjadikan sanksi moral/sosial terhadap profesi telah berjalan sebelum putusan hakim menyatakan bersalah atau tidaknya seorang tenaga kesehatan.

Berdasar pentingnya kasus tersebut, Fakultas Hukum UAD bekerjasama dengan Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) cabang Yogyakarta menyelenggarakan seminar nasional dan workshop dengan tema “Sistem Peradilan Sengketa Kesehatan; Mencari Model Penyesuaian yang Tepat”. Acara yang diselenggarakan pada hari Selasa (7/1/14) di Auditorium Kampus 2 UAD ini bertujuan untuk mengkaji kasus tersebut sebagai bentuk pembelajaran di masyarakat.

Pembicara dalam acara ini berasal dari berbagai elemen. Sahlan Said, S.H., seorang praktisi hukum, memaparkan tentang kemungkinan diadakan Sistem Peradilan Profesi Kesehatan. Hadir pula Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) RI yang diwakili oleh dr. M. Nasser, Sp., KK.D. Law. yang mengupas tuntas kasus pidana kesehatan dengan kajian perkara dr. Dewa Ayu Sasiary. Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Rd. dr. Zaenal Abidin, M.Kes., M.H.Kes. menyampaikan tentang lingkup antara pelanggaran disiplin dan pelanggaran hukum. Sementara itu, dua pembicara pada sesi kedua merupakan wakil dari MHKI cabang Yogyakarta. Kajian tentang peradilan profesi kesehatan dan solusinya disampaikan oleh Dr. Arif Setyawan, S.H., M.H. dan makalah dengan judul “Mediasi dalam Sengketa Kesehatan” disampaikan oleh ketua MHKI, drg. Suryono, S.H., Ph.D.

Salah satu solusi dari kasus ini adalah dengan peradilan Restorative Justice. Adanya Restorative Justice ini diharapkan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat seperti yang dialami dr. Dewa Ayu Sasiary mendapat titik temu penyelesaian hubungan dokter dengan pasien melalui peradilan maupun non peradilan (mediasi).

Pada umumnya prinsip dasar Restorative Justice lewat mediasi membutuhkan beberapa prasyarat, yaitu (1) korban kejahatan harus menyetujui, (2) kekerasan harus dihentikan, (3) pelaku kejahatan harus mengambil tanggung jawab, (4) hanya pelaku kejahatan yang harus dipersalahkan bukan pada korban, (5) proses mediasi hanya dapat berlangsung dengan persetujuan korban.

Dari prasyarat mediasi penal tersebut terlihat bahwa martabat kemanusiaan korban kejahatan harus menjadi prioritas. Mediasi penal melibatkan proses spiritual untuk memulihkan dan membangkitkan rasa percaya diri korban. Dalam proses ini, sistem peradilan harus menjadi fasilitas untuk kedua belah pihak. Jalur di luar peradilan dianggap lebih efektif, sehingga Lembaga Peradilan tidak banyak menampung tahanan.

Acara seminar yang dibuka oleh Rektor UAD, Dr. Kasiyarno, M.Hum., dalam acara juga melakukan penandatanganan naskah kerja sama (MoU) antara Dekan FH UAD dengan ketua MHKI meliputi kerja sama dalam bidang Tri Darma Perguruan Tinggi. Selain penandatanganan MoU, dilakukan pula peluncuran Pusat Pengaduan Sengketa Medis (PSSM) DIY dan Jawa Tengah yang berkantor di PKBH FH UAD. Adanya PPSM ini diharapkan dapat membantu masyarakat DIY dan Jawa Tengah yang membutuhkan bantuan atau konsultasi hukum tentang sengketa medis. PPSM akan membuka loket pengaduan dan konsultasi dengan konsultan hukum kesehatan yang berpengalaman. Seminar pada hari itu diakhiri dengan pelaksanaan workshop terbatas untuk menentukan tindak lanjut dan langkah kedepan terkait tentang MoU yang sudah ditandatangani antara FH UAD dengan MHKI.(Tw/Sbwh)

Sambut Kunjungan Unisza, UAD Sampaikan Semangat Peningkatan Kualitas Mahasiswa

Rabu lalu (15/1/14), UAD kedatangan tamu dari Universiti Sultan Zainal Abidin (Unisza) Terengganu, Malaysia. Bertempat di Kampus 1, pihak UAD diwakili oleh Kepala Biro Kemahasiswaan dan Alumni (BIMAWA), Ir. Tri Budiyanto, M.T., memberikan sambutannya. Dalam sambutan tersebut, Tri Budiyanto menekankan pada visi UAD untuk menjadikan menjadikan mahasiswa mampu berprestasi sampai ke lingkup internasional dan berkarakter islami.

“Untuk itu, kami harus memberikan layanan dan dukungan kepada mahasiswa yang berorientasi pada pencapaian prestasi dan pembentukan karakter tersebut,” ujarnya. Salah satu jalannya adalah dengan menyelenggarakan pelatihan keterampilan bagi mahasiswa. Selain itu, UAD juga mengirimkan mahasiswa dalam berbagai kegiatan perlombaan baik bidang penalaran maupun minat bakat. Tak lupa, UAD juga berupaya mendukung pemberdayaan alumni.

Hadir dalam kesempatan tersebut, Wakil Rektor 3, Dr. Abdul Fadlil, M.T. dan Wakil Rektor 4, Prof. Sarbiran M. Ed., Ph.D. yang juga menyambut 8 mahasiswa dan 3 dosen dari Unisza. Kedatangan mereka ke UAD adalah untuk melihat pola pembinaan yang dilakukan BIMAWA serta berbagai kegiatan mahasiswa di UAD. Tentunya kunjungan ini juga bertujuan untuk meningkatkan hubungan kerja sama dosen dan mahasiswa.(Sbwh)

Cita Rasa Baru Makrab JAB

 

Teater Jaringan Anak Bahasa (JAB) UAD Yogyakarta menyelenggarakan workshop teater untuk pertama kalinya. Acara diadakan selama empat hari yaitu pada tanggal 25 dan 29 Desember 2013 di Auditorium dan RHT Kampus 2 UAD serta pada 3 dan 4 Januari 2014 di ruang GB4 Kampus 2 yang langsung dilanjutkan ke Pantai Pelangi. Workshop diikuti oleh 38 calon anggota baru JAB.

Workshop ini diselenggarakan sebagai wujud inovasi atau pembaharuan yang dilakukan oleh JAB untuk menggantikan makrab yang biasanya dilaksanakan satu malam namun dengan materi yang sangat banyak,” jelas Diyah Hidayani selaku Ketua Panitia.

Nasirin, Ketua Teater JAB menambahkan, “Semoga workshop ini menjadi titik awal dari tercetaknya generasi-generasi teater JAB yang berdedikasi, intuitif, dan inspiratif dalam seni maupun akademik.”

Hari pertama workshop di hari Rabu (25/12/13), menghadirkan tokoh-tokoh teater yang ada di Yogyakarta seperti Harjanto Said, S. Arimba, Zuhdi Sang, dan Puntung C.M. Pudjadi. Masing-masing memberikan materi tentang sejarah teater dunia, sejarah teater JAB, keaktoran, serta penyutradaraan.

Workshop selanjutnya pada hari Minggu (29/12/13), hadir pemateri lain seperti Latif S. Nugraha yang berbicara tentang manajemen produksi, Anter Asmorotedjo dengan materi tentang tari, Mahwi Air Tawar menyampaikan bidang kesusastraan, serta Ramdhani Mangku Alam (Dhani Brian) dengan materi rias karakter. Sementara itu, pada Jumat (3/1/14), Afrizal Okta Putra menyampaikan materi tentang musik dan Agus Prasetyo (Agus Laylor) menyampaikan tentang setting dan lighting. Sabtu (4/1/14), hari terakhir diisi dengan materi olah tubuh yang disampaikan oleh Yusup Riawan, olah vokal oleh Nasirin, dan olah rasa oleh Edi Sulistyo.

Silvi, salah satu peserta mengaku senang mendapatkan motivasi dan ilmu baru. Dia pun merasa semakin akrab dengan teman-teman. Meski kaki terasa pegal kegiatan lebih banyak dilakukan dengan mendengarkan materi seharian namun lebih banyak pengalaman yang tak perlu diungkapkan dengan banyak kata. Hanya satu kata, asyik!(idj)

 

Pejuang Polusi

  

Yogyakarta dikenal sebagai kota wisata, kota budaya, dan kota pendidikan. Pelancong berbondong-bondong berdatangan pada musim liburan sekolah atau hari raya. Tiap tahun ajaran baru, ribuan calon siswa dan calon mahasiswa mendaftar sekolah di Yogyakarta. Membanggakan tentunya, tetapi bukan tanpa resiko.

Ribuan unit kendaraan digunakan untuk mendukung mobilitas penduduk dan pendatang di Yogyakarta. Dalam setiap trafic light pada perempatan besar di tengah kota, ada puluhan sampai ratusan kendaraan bermotor berhenti menunggu lampu hijau. Dari observasi di lapangan, hampir tidak ada pengedara yang mematikan mesin kendaraannya selama 120 – 30-an detik berhenti di lampu merah. Asap kendaraan bermotor memenuhi udara.

Polusi udara selain mengangu kenyaman berkendara, juga menggangu kesehatan. Apabila pengendara dapat mematikan mesin kendaraan bermotor selama berhenti di lampu merah akan membantu mengurangi polusi. Masyarakat Yogyakarta dapat menjadikan perilaku tersebut menjadi sebuah kebudayaan. Budaya sebagai pejuang polusi. Budaya untuk memetikan mesin sampai minimal 5 detik sebelum lampu hijau. Bentuk perjuangan yang sangat mudah dilakukan tetapi berkontribusi besar bagi kelangsungan bumi dan kesehatan masyarakat. Mudah karena hampir setiap trafic light memiliki count down sebagai indikator pergantian lampu.

Ribuan kendaraan mematikan mesin saat berhenti walau hanya beberapa detik. Asap kendaraan bermotor akan berkurang. Kenyamanan saat menunggu lampu lalu lintas menjadi hijau akan meningkat. Tidak akan ada yang terganggu asap ketika berhenti di belakang kendaraan yang lain. Apalagi dilakukan secara kolektif akan mengurangi polusi udara di perkotaan. Resiko perubahan iklim, efek rumah kaca, dan hujan asam akan menurun. Umur bumi dapat diperpanjang.

Sumber polusi udara terutama berasal dari sektor transportasi, terutama yang menggunakan bahan bakan fosil, misalnya bensin. Hampir 60% dari polutan yang dihasilkan berasal dari karbon monoksida (CO) dan sekitar 15% terdiri dari Hidrokarbon, sisanya NOx, HC, dan partikel lain. Efek dari Hidrokarbon dapat menyebabkan iritasi sampai dengan kematian. Efek dari CO lebih besar karena konsentrasi dan lebih mudahnya terikat dalam darah.

Kontak antara CO dengan kadar tertentu dengan menusia dapat mengakibatkan kematian. Disebabkan karena kontak antara CO dengan Hemoglobin (Hb) dalam darah.  Hb berfungsi membawa oksigen dalam bentuk oksihemoglobin dari paru-paru ke seluruh sel tubuh dan membawa kerbondioksida dari sel tubuh ke paru-paru. Dengan adanya CO, Hb akan membentuk karboksihemoglobin, sehingga kemampuan Hb untuk mentranspor oksigen menjadi berkurang. Afinitas CO terhadap Hb adalah 200 kali lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen terhadap Hb. Akibatnya apabila ada CO dalam darah, Hb akan lebih banyak berikatan dengan CO dari pada oksigen. Sel akan kekurangan oksigen sehingga fungsi tubuh terganggu.

Menurunkan resiko dari polusi udara sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama masyarakat. Sudah saatnya masyarakat menjadikan isu masalah lingkungan sebagai bagian dari budaya keseharian. Marilah kita mulai dari warga Yogyakarta yang terkenal sebagai kota budaya. Matikan mesin kendaraan ketika di trafic light. Pilih kendaraan bermotor yang menggunakan teknologi dengan pembakaran sempurna. Gunakan bahan bakar dengan nilai oktan tinggi. Gunakan kendaraan umum. Tanamlah pohon. Jadikan Yogyakarta kota ramah lingkungan. Tanpa kita sadari kita akan menjadi pahlawan bagi sekitar kita, kita dapat menjadi pejuang polusi.

 

Oleh :

Surahma Asti Mulasari, S.Si,M.Kes.

Ketua Pusat Kajian Manusia dan Lingkungan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan.

 

Merawat Eksistensi Jurnal Ilmiah

 

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan;

Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities, China

 

Dalam buku-buku pidato pengukuhan guru besar yang pernah saya baca, salah satunya dari Universitas Negeri Malang (UM), tampak jelas bahwa dosen yang meraih jabatan guru besar cukup rajin mempublikasikan tulisannya ke jurnal ilmiah. Prof. Dr. Dawud (UM), misalnya, begitu rajin mempublikasikan tulisannya ke beberapa jurnal ilmiah, seperti Diksi, Bahasa dan Seni, dan Sekolah Dasar. Bagaimana cara para dosen kita dalam merawat eksistensi jurnal ilmiah?

Eksistensi jurnal ilmiah di perguruan tinggi kita, diakui atau tidak, mengalami pasang-surut. Ada jurnal ilmiah yang dapat terbit (setahun dua kali terbitan) karena didukung oleh pengelolanya dan ingin mempertahankan nilai akreditasi “A” (unggul). Ada pula jurnal ilmiah yang terbit dengan mutu “apa adanya” tanpa berpikir soal akreditasi. Bahkan yang lebih ironi, ada juga jurnal ilmiah yang justru mengalami “mati suri”.

Kondisi “mati suri” sebuah jurnal ilmiah kiranya dapat diurai penyebab-penyebabnya. Di antaranya, keengganan pihak kampus membiayai penerbitan dan distribusi, kesulitan mencari naskah yang berkualitas, hingga pengabaian pengelola terhadap nilai kebermanfaatan jurnal ilmiah. Kesemua penyebab itu sesungguhnya dapat dijawab secara singkat: belum adanya interkoneksitas jurusan atau program studi antara satu kampus dengan kampus lainnya.

Di Yogyakarta, tercatat ada 5 kampus yang memiliki Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yaitu UAD, UNY, USD, UST, dan UPY. Para dosen dari kelima kampus tadi dapat menjalin kerja sama untuk mengatasi kesulitan mencari naskah, sekaligus mengurangi besarnya biaya penerbitan. Misalnya, melalui aturan bahwa para penulis yang tulisannya dimuat harus berlangganan jurnal selama setahun.

Selain itu, dapat pula dibentuk forum pertemuan antarpengelola jurnal ilmiah dari kelima kampus di atas. Melalui forum tersebut, pengelola jurnal bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dapat berbagi perkembangan informasi meliputi buku referensi dan jurnal dari luar negeri. Yang tak kalah penting ialah informasi mengenai profil peneliti atau akademisi luar negeri yang berpeluang sebagai editor/penyunting ahli bagi jurnal dari kelima kampus tadi.

Saya percaya, semakin banyak kampus yang bergabung ke dalam forum pertemuan, semakin besar peluang untuk memperbaiki kualitas jurnal ilmiah. Lagi pula, jika kualitas jurnal ilmiah sudah baik dan bahkan berakreditasi “A”, saya yakin banyak dosen dari kampus lain yang akan tertarik menulis. Di samping itu, nilai kebermanfaatan jurnal ilmiah, terutama bagi kemudahan karier akademik para dosen dapat semakin nyata. Bagaimana pendapat Anda?[]

Lomba Cerpen PGPAUD UAD dengan Tema Membangun Karakter Anak Usia Dini Melalui Cerita

Yang berminat. Silahkan mendaftar langsung. Keterangan lebih lanjut baca di poster, atau menghubungi langsung di Prodi PGPAUD UAD di Kampus 5. Selamat membaca.

Pendidikan Perlu Melek Media

 

Muhammad Ragil Kurniawan, M.Pd

Dosen PGSD FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

(ragilkur@yahoo.com)

            Kini, tak seorang pun dapat lepas dari media televisi, termasuk anak-anak. Melalui televisi anak-anak menerima informasi dan pengalaman yang tidak ada dalam diri mereka. Pada batas-batas tertentu televisi telah beralih fungsi sebagai pendidik. Televisi membentuk karakter anak, memperluas lingkungan dan memberi anak bentuk-bentuk baru dari pengalaman.

Perubahan fungsi televisi  menjadi pendidik telah membawa problem tertentu. Anak-anak usia sekolah tidak lagi mendiskusikan pelajarannya, tapi ramai dengan tayangan favotitnya, mengikuti perkembangan artis idolanya, hingga sibuk menyamakan dandanan dengan idola mereka. Media televisi, layaknya pisau bermata ganda. Pada satu sisi, televisi telah memberikan ruang bagi generasi muda untuk menyalurkan kreativitasnya, memperoleh informasi, dan membuka cakrawala. Namun pada sisi lain televisi semakin menguatkan nilai-nilai dominan masyarakat yang masih kental dengan aspek-aspek diskriminasi, stereotipe, dan eksploitasi, serta mengarah pada konsumerisme dan budaya hedon.

Kekhawatiran terbesar mengenai televisi adalah mengenai isi dan mutunya yang tidak lagi bernilai pendidikan sebagaimana idealnya, bahkan dengan gaya penyajian yang tak lengkap, meloncat-loncat serta tidak hierarhis. Arus informasi media televisi yang akrobatik tersebut, selain menjauhkan anak-anak dan remaja dari proses konstruksi pengalaman yang sedang mereka bangun, juga akan membawa anak pada budaya berpikir yang akrobatik dan setengah-setengah. Hal ini sangat berkebalikan dengan apa yang diajarkan pada institusi sekolah, yaitu internalisasi pengetahuan secara hierarkis dan holistik.

 

Sekolah harus bicara

Sekolah sebagai instansi yang tereintegrasi dengan lingkungan tak boleh luput dari fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Materi yang diajarkan di sekolah hendaknya tidak bergerak menjauh dari fenomena yang menggejala di masyarakat. Sebaliknya, sekolah harus selalu memberikan materi yang kontekstual dan memiliki unsur kedekatan dengan lingkungan di mana sekolah dan siswa berada.

Sekolah harus bicara ketika banyak hal yang diperoleh anak dari televisi ditafsirkan secara dangkal tanpa arahan dan bimbingan. Sebuah contoh kecil, konsep cantik bagi remaja kita telah jatuh termakan oleh doktrin media televisi. Bagi remaja kita, seorang perempuan dikatakan cantik apabila memiliki tubuh langsing bak peragawati, kulit berwarna putih mulus, rambut yang panjang lurus, kaki jenjang bak model, juga paras seperti Luna Maya. Karena media televisi, konsep inner beauty telah terkalahkan oleh kecantikan ragawi.

            Sampai pada titik ini, peranan pendidikan melek media menjadi sangat signifikan untuk diajukan. Mengajarkan sikap aktif terhadap terpaan opini televisi tak bisa di tunda lagi, karena televisi tidak hanya memberikan informasi, pendapat dan penjelasan yang saling bertentangan, tetapi sering juga berlawanan dengan pengalaman anak-anak dan remaja. Bahkan kontradiktif dengan pengetahuan yang mereka dapat di sekolah sekalipun.

Menurut hemat saya, muatan pendidikan media massa meliputi wawasan untuk memahami, menganalisis serta menafsir berbagai agenda terselubung dan manipulasi-manipulasi di balik pesona televisi. Tujuan pendidikan melek media bukan hanya menjaga nalar logis siswa. Lebih dari itu, tujuan pendidikan melek media adalah untuk menilai keabsahan informasi yang disampaikan media dan data dokumentasi yang menjadi dasarnya; kebenaran fakta yang tersaji, jumlah fakta dan hubungannya dengan kesimpulan yang ditarik, serta landasan etis yang mendasarinya.

            John Nasbit dalam high-tech hight-touch (1999) mengingatkan, kita tidak boleh mengkonsusmsi media, kecuali sebagai konsumen yang kritis. Sistem sosial yang dipenuhi dengan terpaan opini media, membutuhkan penyeimbang. Jika masyarakat paham tentang etika jurnalistik secara total dan mendalam, maka tidak canggung untuk mengajukan protes, somasi atau kontrol terhadap tayangan-tayangan yang menyesatkan, baik secara moral maupun perundang-undangan. Pertanyaan yang mendasar adalah, bagaimana mengetahui ada masalah jika masyarakat tidak mengetahui idealnya? Bagaimana mau memprotes, mengajukan somasi jika masyarakat buta tentang etika media?

Pendidikan media massa akan menjadi sarana yang efektif dalam mengimbangi derasnya terpaan propaganda media televisi, khususnya bagi remaja dan generasi muda. Selain sebagai penetralisir racun opini publik, pendidikan media massa juga lebih berperan sebagai “buku” petunjuk pemanfaatan berbagai jenis media massa oleh masyarakat, terkhusus siswa-siswi kita.

———-