Seminar Nasional Sistem Peradilan Sengketa Kesehatan

 

Pemberi pelayanan kesehatan memiliki komitmen untuk semaksimal mungkin mengurangi penderitaan pasien dalam proses penyembuhan penyakit. Tetapi, hasil yang diperoleh sering kali tidak diinginkan (unwanted result) baik oleh pasien, keluarga, maupun oleh tenaga kesehatan. Kasus cukup besar di tahun 2013 adalah perkara dr. Dewa Ayu Sasiary yang disebabkan gugatan atau tuntutan pasien terhadap pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan rumah sakit. Bila dunia kesehatan dihadapkan pada permasalahan hukum, sangatlah bijak bila mekanisme pendekatannya disamakan dengan peradilan pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan tenaga kesehatan yang diadili juga termasuk pengemban profesi kesehatan yang rawan terhadap pembunuhan karakter. Sifat terbuka pada peradilan litigasi menjadikan sanksi moral/sosial terhadap profesi telah berjalan sebelum putusan hakim menyatakan bersalah atau tidaknya seorang tenaga kesehatan.

Berdasar pentingnya kasus tersebut, Fakultas Hukum UAD bekerjasama dengan Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) cabang Yogyakarta menyelenggarakan seminar nasional dan workshop dengan tema “Sistem Peradilan Sengketa Kesehatan; Mencari Model Penyesuaian yang Tepat”. Acara yang diselenggarakan pada hari Selasa (7/1/14) di Auditorium Kampus 2 UAD ini bertujuan untuk mengkaji kasus tersebut sebagai bentuk pembelajaran di masyarakat.

Pembicara dalam acara ini berasal dari berbagai elemen. Sahlan Said, S.H., seorang praktisi hukum, memaparkan tentang kemungkinan diadakan Sistem Peradilan Profesi Kesehatan. Hadir pula Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) RI yang diwakili oleh dr. M. Nasser, Sp., KK.D. Law. yang mengupas tuntas kasus pidana kesehatan dengan kajian perkara dr. Dewa Ayu Sasiary. Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Rd. dr. Zaenal Abidin, M.Kes., M.H.Kes. menyampaikan tentang lingkup antara pelanggaran disiplin dan pelanggaran hukum. Sementara itu, dua pembicara pada sesi kedua merupakan wakil dari MHKI cabang Yogyakarta. Kajian tentang peradilan profesi kesehatan dan solusinya disampaikan oleh Dr. Arif Setyawan, S.H., M.H. dan makalah dengan judul “Mediasi dalam Sengketa Kesehatan” disampaikan oleh ketua MHKI, drg. Suryono, S.H., Ph.D.

Salah satu solusi dari kasus ini adalah dengan peradilan Restorative Justice. Adanya Restorative Justice ini diharapkan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat seperti yang dialami dr. Dewa Ayu Sasiary mendapat titik temu penyelesaian hubungan dokter dengan pasien melalui peradilan maupun non peradilan (mediasi).

Pada umumnya prinsip dasar Restorative Justice lewat mediasi membutuhkan beberapa prasyarat, yaitu (1) korban kejahatan harus menyetujui, (2) kekerasan harus dihentikan, (3) pelaku kejahatan harus mengambil tanggung jawab, (4) hanya pelaku kejahatan yang harus dipersalahkan bukan pada korban, (5) proses mediasi hanya dapat berlangsung dengan persetujuan korban.

Dari prasyarat mediasi penal tersebut terlihat bahwa martabat kemanusiaan korban kejahatan harus menjadi prioritas. Mediasi penal melibatkan proses spiritual untuk memulihkan dan membangkitkan rasa percaya diri korban. Dalam proses ini, sistem peradilan harus menjadi fasilitas untuk kedua belah pihak. Jalur di luar peradilan dianggap lebih efektif, sehingga Lembaga Peradilan tidak banyak menampung tahanan.

Acara seminar yang dibuka oleh Rektor UAD, Dr. Kasiyarno, M.Hum., dalam acara juga melakukan penandatanganan naskah kerja sama (MoU) antara Dekan FH UAD dengan ketua MHKI meliputi kerja sama dalam bidang Tri Darma Perguruan Tinggi. Selain penandatanganan MoU, dilakukan pula peluncuran Pusat Pengaduan Sengketa Medis (PSSM) DIY dan Jawa Tengah yang berkantor di PKBH FH UAD. Adanya PPSM ini diharapkan dapat membantu masyarakat DIY dan Jawa Tengah yang membutuhkan bantuan atau konsultasi hukum tentang sengketa medis. PPSM akan membuka loket pengaduan dan konsultasi dengan konsultan hukum kesehatan yang berpengalaman. Seminar pada hari itu diakhiri dengan pelaksanaan workshop terbatas untuk menentukan tindak lanjut dan langkah kedepan terkait tentang MoU yang sudah ditandatangani antara FH UAD dengan MHKI.

Pendidikan Karakter Melalui Lagu Nasional

 

Pendidikan karakter bisa diterapkan kepada peserta didik melalui lagu-lagu nasional. Hal tersebut diyakini oleh  Hamdan Nur Rahman dan Safran Rohim, dua mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UAD. Keduanya berpartisipasi sebagai pemakalah dalam seminar nasional pendidikan sains dengan tema “Inovasi Pendidikan Sains dalam Menyongsong Kurikulum 2013”. Acara tersebut digelar di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) pada18-21 Januari lalu.

Mereka berpendapat bahwa saat ini banyak siswa di sekolah yang tidak hafal dengan lagu-lagu nasional. Pemahaman terhadap makna lagu juga semakin meluntur. Menurut Hamdan dan Safran, ini dikarenakan semakin hilangnya rasa nasionalisme yang dimiliki oleh sebagian besar siswa di sekolah.

Kedua mahasiswa tersebut berhasil lolos sebagai pemakalah setelah  melalui proses seleksi dengan bimbingan seorang dosen. “Meskipun FKM tidak secara formal berkaitan dengan pendidikan namun kita bisa lihat dari perspektif kesehatan mental dan psikologis,” ujar Pembimbing mereka. Ia menambahkan, banyak pemuda yang hilang jati diri budaya sendiri pada zaman sekarang karena terlalu mengagumi budaya luar. Semangat nasionalisme yang sudah berkurang ini sangat berbeda dengan zaman dahulu.

Oleh karena itu, sasaran dari konsep makalah ini adalah anak muda, khususnya Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sampai saat ini dinilai mulai kehilangan nasionalisme. Kegiatan positif yang dilakukan Hamdan dan Safran ini diharapkan bisa menjadi contoh dan semangat bagi mahasiswa lain untuk terus berkarya, terutama dalam karya tulis ilmiah. (TS)

Cak Nun di Pengajian Perpisahan KKN Pleret

Mahasiswa KKN Reguler UAD yang mengabdi di wilayah Pleret, mengadakan pengajian akbar sebagai salam perpisahan pada warga setempat. Setelah satu bulan berada di wilayah tersebut, pada hari Rabu (19/2), mereka mengundang seorang budayawan yang juga seorang sastrawan, Emha Ainun Nadjib. Pria yang akrab dipanggil Cak Nun tersebut hadir bersama kelompok musiknya yaitu Kiai Kanjeng.

Pengajian digelar di pendopo desa Wonolelo dengan mengusung tema, “Pleret Showbis Atrium: Sinergi Ekonomi, Budaya, dan Spiritualitas demi Peningkatan Kesejahteraan Warga Kecamatan Pleret”. Tema ini diangkat karena ketiga komponen tersebut dinilai sudah melekat di dalam tubuh masyarakat Pleret. Hanya saja, potensi ini belum dikembangkan dan disadari sepenuhnya, sehingga dengan adanya pengajian ini diharapkan masyarakat semakin terbuka dan memahami apa sebenarnya ekonomi, budaya, dan spiritualitas yang dimaksud.

Hadir pula dalam kesempatan istimewa tersebut, kepala KKN UAD Dr. Rina Ratih SS, M. Hum, beserta biro dari LPM Dra. Sudarmini, dan Beni Suhendra, S.I, M. E., juga hadir camat Pleret Bantul, lurah Wonolelo dan lurah Bawuran.

Pengajian tersebut berhasil diselenggarakan karena kerja sama antara mahasiswa KKN UAD dengan pemerintah desa Pleret, serta Karangtaruna Fajarmulyo Wonolelo. Masyarakat antusias untuk hadir dalam pengajian.

Sekitar pukul 21.00 WIB, Cak Nun mulai mengajak masyarakat berdiskusi melalui pengajian yang disampaikannya. Pengajian yang serius namun tetap santai membuat para warga enggan untuk beranjak dari tempatnya. Cak Nun menyampaikan bahwa kata sinergi di dalam tema yang diangkat oleh para mahasiswa itu sama dengan tumpang sari jika diambil dari istilah pertanian. Sinergi yang baik akan menghasilkan suatu produk yang baik. Alam semesta ini merupakan ayat-ayat Allah, sehingga yang dimaksud membaca ayat-ayat Allah bukan hanya semata-mata membaca Al-quran namun juga membaca alam.

“Masyarakat Pleret yang sebagian besar berprofesi sebagai petani sebenarnya juga membaca ayat-ayat Allah, dan jika mereka meyakini bahwa semua ini dilakukan dalam rangka mengingat Allah, maka itulah yang dimaksud dengan spiritualitas,” ungkap Cak Nun.

Lebih lanjut, bapak dari Noe, vokalis band Letto tersebut menjelaskan bahwa spiritualitas akan bersinergi dengan budaya atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Hal itu dapat menghasilkan produk pertanian yang baik dan meningkatkan ekonomi. Sinergi ini hendaknya terus dikembangkan supaya masyarakat menjadi lebih maksimal dalam mengelola ekonomi, budaya, dan spiriulitasnya. Terlebih lagi, desa Pleret dahulu merupakan wilayah berdirinya kerajaan Mataram Islam Pleret yang merupakan perpanjangan tangan dari dakwah Wali Sanga. Disadari atau tidak, nilai spiritulitas di dalam masyarakat telah tertanam sejak dahulu.

“Sinergi menjadi salah satu hal yang penting. Mundur sejenak untuk mengingat sejarah akan membantu kita semua memahami bagaimana melangkah ke depan yang baik selanjutnya. Oleh karena itu, tema yang disajikan memang tepat bagi masyarakat Pleret khususnya dan masyarakat luas pada umumnya,” tegas Cak Nun.(Doc)

UAD Gali Implementasi BPJS Kesehatan

UAD Yogyakarta mengundang Kepala BPJS Kesehatan DIY, Dr. Donni Hendrawan, M.P.H. untuk menjelaskan penerapan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Selasa (18/02), di Ruang Sidang 203 Kampus 1 UAD.

Wakil Rektor II UAD, Drs. M. Safar Nasir, M.Si., menuturkan bahwa diskusi dan sosialisasi implementasi BPJS kesehatan diperlukan untuk mengetahui kejelasan penerapan BPJS Kesehatan karena hal tersebut akan berkaitan dengan kebijakan kampus. Senada dengan Wakil Rektor II, Prof. Marsudi Triatmojo sebagai Wakil Ketua Pembina Harian UAD turut menegaskan bahwa selama ini UAD mengelola sendiri uang kesehatan karyawannya.

Dalam acara tersebut,  Donni Hendrawan menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan merupakan badan yang berada langsung dibawah Presiden untuk menjamin kesejahteraan sosial terutama dalam bidang kesehatan. BPJS mempunyai konsep asuransi dan konsep sosial. Konsep asuransi  memungkinkan pesertanya untuk pindah resiko kepada pihak ketiga, dan konsep sosial karena bersifat wajib, nirlaba, subsidi silang dan manfaat medis. BPJS juga tidak mengambil keuntungan dari peserta karena statusnya sebagai Badan Hukum Publik. Untuk swasta, premi yang dikenakan adalah 4% untuk pemberi kerja (yayasan) dan 0,5% bagi pekerja dan akan berubah per 1 Juli 2015 untuk pemberi kerja 4%, sedangkan pekerja 1%.

Kegiatan diskusi dan sosialisasi ini dihadiri oleh Rektor, Dekan, Kepala Program Studi, dan para Kepala Staf. Diskusi akan ditindaklanjuti pula dalam pembahasan lebih mendetail untuk membicarakan kebijakan yang sesuai dengan BPJS Kesehatan ini. Mulai tahun 2014 hingga 2019, seluruh pegawai harus sudah menjadi peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). “Pemaparan Dr. Donni tadi tentu sangat membantu rektorat untuk menentukan kebijakan selanjutnya,” pungkas Safar Nasir dalam sambutan penutupnya. (idj)

 

DILEMA CITRA MURAH DAN BERKUALITAS

Rendra Widyatama (Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan)

 

Di tengah masyarakat, kita sering mendengar lembaga pendidikan yang mengatakan mengkampanyekan dirinya sebagai berbiaya murah tapi berkualitas. Artinya, lembaga pendidikan tersebut mematok biaya pendidikan yang murah, namun tetap mampu menjaga kualitas diri sebagai lembaga yang berkualitas. Dalam perspektif komunikasi pemasaran, citra seperti ini sebenarnya mengundang sejumlah dilema. Apa sajakah?

Kecenderungan

Pada umumnya, lembaga pendidikan tinggi (swasta) di Indonesia menggantungkan biaya operasional dari uang sumbangan pendidkan dari peserta didiknya. Berkurangnya jumlah peserta didik berarti pemasukan institusi tersebut berkurang.

Penurunan jumlah peserta didik pada sebuah lembag tentu menjadi masalah sangat serius. Sebab biaya operasional lembaga akan terganggu. Karena perguruan tinggi di samping melakukan pengajaran juga harus menjalankan kegiatan penelitian dan pengabdian, tentu aktifitas-aktifitas tersebut akan terganggu. Umum terjadi, kegiatan di luar pengajaran akan berkurang. Bahkan dalam banyak kasus akan dipangkas alias dihilangkan.

Tentu saja, keadaan seperti ini membawa konsekuensi besar. Sebab sudah jamak dipahami, selama ini saja, dosen sering mengeluh karenea kecilnya dana penelitian yang disediakan. Bagaimana jadinya, kalau dana yang sudah mepet tersebut semakin dikurangi? Bagi yang tidak menyadari bahwa penelitian dan pengabdian adalah sebagai kewajiban, mungkin dua hal tersebut malah tidak akan dilakukan.

Jadi, pengurangan dana bagi pelaksanaan Tri Darma Perguruan Tinggi, sudah tentu akan bepengaruh pada kuantitas dan kualitas kampus yang bersangkutan. Bila seperti ini, tentu kampanye murah tapi berkualitas tidak akan pernah memperlihatkan hasilnya.

 

Budaya

Selain logika di atas, tagline murah tapi berkualitas juga terhambat pada faktor budaya. Luas dan kuat berlaku di masyarakat, adanya persepsi bahwa harga akan berbanding lurus dengan kualitas. Harga yang mahal berarti kualtias yang tinggi. Sebaliknya, harga yang murah akan menunjukkan kualitas yang rendah pula. Persepsi seperti ini sudah dikenal kuat, luas dan berakar di tengah masyarakat sehingga sudah menjadi keyakinan dan budaya.

Keadaan tersebut tentu tidak dapat diabaikan. Konsep murah tapi berkualitas, jelas berbanding terbalik dengan persepsi, keyakinan dan budaya masyarakat. Pemaksaan tema kampanye murah tapi berkualitas dipastikan tidak akan bisa mewujudkan harapan. Bila demikian, akan sia-sia saja kampanye yang dilakukan, alias menghambur-hamburkan uang. Iklan yang berhasil adalah iklan yang sejalan dan atau didukung oleh budaya. Lalu, apa yang perlu dilakukan?

 

Solusi

Ada dua saran yang bisa saya berikan. Pertama, hentikan saja kampanye murah tapi berkualitas tersebut. Alihkan saja biaya promosi untuk pos kegiatan yang lain.

Bila tema promosi murah tapi berkualitas tetap akan dilakukan, maka Anda perlu melakukan langkah kedua yang tidak gampang. Caranya, sertailah promosi yang dilakukan tersebut dengan mempublikasikan prestasi-prestasi yang diraih oleh lembaga dan civitas akademika sebanyak-banyaknya. Tanpa tindakan seperti ini, kampanye murah tapi berkualitas hanya seperti menegakkan benang basah saja.

Pertanyaan selanjutnya adalah, di tengah keterbatasan dana yang ada, bagaimanakah kita dapat berprestasi?

Pertanyaan sederhana tersebut bukanlah pertanyaan mustahil yang tidak ada jawabanya. Mungkin terdengar sok, berlagu, dan sisi positifnya heroik. Di tengah keterbatasan (khusunya dana) namun dituntut melahirkan banyak prestasi, maka diperlukan sikap positif sebagai kunci utama. Secara mendasar, kunci dari sikap ini adalah, kita harus pandai menghargai diri sendiri. Sekecil apapun hal positif yang ada pada kita, sampaikanlah sebagai sebuah prestasi. Sederhana, bukan?

UAD Gali Implementasi BPJS Kesehatan

UAD Yogyakarta mengundang Kepala BPJS  Kesehatan DIY, dr. Donni Hendrawan, M.P.H. untuk menjelaskan penerapan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Selasa (18/02), di Ruang Sidang Utama Kampus 1 Universitas Ahmad Dahlan (UAD).

Wakil Rektor II UAD, Drs. M. Safar Nasir, M.Si., menuturkan bahwa diskusi dan sosialisasi implementasi BPJS kesehatan diperlukan untuk mengetahui kejelasan penerapan BPJS Kesehatan karena hal tersebut akan berkaitan dengan kebijakan kampus. Senada dengan Wakil Rektor II, Prof. Marsudi Triatmojo sebagai Wakil Ketua Pembina Harian UAD turut menegaskan bahwa selama ini UAD mengelola sendiri uang kesehatan karyawannya.

Dalam acara tersebut,  Donni Hendrawan menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan merupakan badan yang berada langsung di bawah Presiden untuk menjamin kesejahteraan sosial terutama dalam bidang kesehatan. BPJS mempunyai konsep asuransi dan konsep sosial. Konsep asuransi  memungkinkan pesertanya untuk pindah resiko kepada pihak ketiga, dan konsep sosial karena bersifat wajib, nirlaba, subsidi silang dan manfaat medis. BPJS juga tidak mengambil keuntungan dari peserta karena statusnya sebagai Badan Hukum Publik. Untuk swasta, premi yang dikenakan adalah 4% untuk pemberi kerja (yayasan) dan 0,5% bagi pekerja dan akan berubah per 1 Juli 2015 untuk pemberi kerja 4%, sedangkan pekerja 1%.

Kegiatan diskusi dan sosialisasi ini dihadiri oleh Rektor, Dekan, Kepala Program Studi, dan para Kepala Staf. Diskusi akan ditindaklanjuti pula dalam pembahasan lebih mendetail untuk membicarakan kebijakan yang sesuai dengan BPJS Kesehatan ini. Mulai tahun 2014 hingga 2019, seluruh pegawai harus sudah menjadi peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). “Pemaparan dr. Donni tadi tentu sangat membantu rektorat untuk menentukan kebijakan selanjutnya,” pungkas Safar Nasir dalam sambutan penutupnya. (idj)

 

NILAI PRO SOSIAL TAYANGAN HUMOR TELEVISI KITA

 

Oleh Rendra Widyatama, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
 

Saat ini semua stasiun siaran televisi melibatkan unsur humor. Dalam bahasa yang lebih teoritis, sering disebut melibatkan aspek entertainment (menghibur). Pelibatan unsur entertainment tersebut sangat luas. Stasiun televisi tidak harus membuat program humor secara khusus. Yang pasti, semua program yang dibuat dalam berbagai format, harus bernuansa menghibur.

Bagi pengelola stasiun televisi, secara sederhana, jabaran program yang menghibur tidak lain adalah membuat tayangan humor. Apalagi, tayangan seperti ini juga mampu dijadikan sebagai daya tarik untuk menggaet sebanyak-banyaknya jumlah penonton. Dengan penonton yang bertambah, tentu implikasi lanjutannya adalah datangnya iklan, yang berarti sumber pendapatan bagi pengelola televisi.

Itu sebabnya dewasa ini, hampir semua stasiun televisi membuat program tayangan humor. Tayangan tersebut dikemas dalam aneka format, antara lain; sinetron (baik mini seri dan serial), drama, parody, talkshow, reality show, maupun stand up comedy. Tertarik pada berbagai tayangan humor tersebut saya pernah melakukan penelitian sederhana.

Sampel

Ada 7 tayangan bernuansa humor yang diteliti, yaitu Bukan Empat Mata, Opera Van Java (keduanya ditayangkan oleh Trans 7), Sentilan Sentilun (Metro TV), Yuk Kita Sahur dan Show Imah Show (ditayangkan oleh Trans TV), Pesbuker (AN TV), dan Stand Up Comedy (Kompas TV). Dari ketujuh tayangan bernuansa humor tersebut, nilai-nilai pro sosial tayangan humor di televisi sangat bervariasi. Ada 19 materi lawakan pro sosial yang muncul, yaitu; 1). Nilai-nilai melayani orng lain; 2). Melindungi orang lain; 3). Memaafkan kesalahan orang lain; 4). Memberi nasehat yang baik; 5). Memberikan bantuan pada orang lain; 6). Memberikan penguatan; 7). Memberikan perhatian; 8). Memberikan pujian pada orang lain; 9). Meminta maaf; 10). Menghargai orang lain; 11). Mensyukuri/syukur; 12). Menujukan sikap ramah; 13). Menunjukan rasa optimis; 14). Menunjukkan empati; 15). Menunjukkan kesalehan; 16). Menunjukkan rasa optimis; 17). Menunjukkan simpati; 18). Menyampaikan kejujuran; dan, 19). Meredakan kemarahan orang lain.

Penyampaian nilai-nilai pro sosial tersebut disampaikan dalam berbagai variasi. Jumlah terbanyak disampaikan melalui humor slapstick. Yaitu humor yang disampaikan dengan cara mengandal­kan kemampuan fisik dibanding kelucuan verbal atau lewat dialog.

Meski tidak terlalu banyak, frekuensi nilai-nilai pro sosial dalam 7 tayangan yang diteliti, ada 335 kali nilai-nilai pro sosial itu muncul dalam bayolan. Namun jumlah tersebut masih relative kecil, yaitu 27,06 % dari total tayangan. Angka 27,06 % itu masih belum cukup mewakili seluruh tayangan humor. Sebab di luar tayangan yang diteliti, masih banyak lagi program humor yang ditayangkan oleh 310 stasiun televisi seluruh Indonesia.

Masih sedikitnya frekuensi nilai-nilai pro sosial dalam program humor tersebut jelas masih memprihatinkan. Fakta tersebut mengandung arti bahwa para pengelola program masih belum mampu menampilkan humor yang sehat. Yaitu humor yang menghibur sekaligus memberikan tuntunan bagi masyarakat.

Meski masih sedikit, adanya nilai-nilai pro sosial dalam tayangan humor tersebut tentu perlu diapresiasi. Sebab, keadaan ini mengandung makna bahwa di tengah-tengah tontonan yang disuguhkan, tayangan tersebut para pengelola program masih meleipkan nilai-nilai kebaikan. Keadaan positif seperti ini tentu harus ditingkatkan terus, agar nilai-nilai pro sosial pada tayangan humor senantiasa bertambah. Masyarakat sudah tentu berharap agar tayangan humor di semua stasiun televisi Indonesia mampu menjadi tontonan sekaligus tuntunan.

 

Pentingnya Penanaman Mitigasi Bencana Sejak Dini

 

Oleh: Dholina Inang Pambudi, M. Pd

(Dosen PGSD FKIP UAD, dan pemerhati masalah kebencanaan)

 

Bencana bisa datang kapan saja dan menimpa siapa saja, dan sulit diprediksi kapan terjadinya. Apabila kita cermati akhir-akhir ini, Indonesia sedang diuji dengan berbagai macam bencana yang memberikan dampak kerugian material berupa harta, benda, bahkan jiwa. Meletusnya Gunung Sinabung, gempa di Kebumen, banjir di Jakarta, Kudus, serta longsor di beberapa wilayah Jawa Tengah cukup membuat miris hati kita. Lalu dimanakah peran kita sebagai pendidik? Apa yang harus kita lakukan? Berdiam dirikah?

Indonesia merupakan kepulauan dengan potensi bencana alam sangat tinggi khususnya untuk bencana alam gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami, karena terletak pada pertemuan tiga lempeng/kerak bumi aktif. Ketiga lempeng aktif tersebut adalah lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Eurasia di bagian utara dan lempeng Pasifik di bagian Timur. Lempeng tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia. Penunjaman lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunungapi aktif. Hal tersebut diperjelas lagi oleh Mister and Jordan (1978) menjelaskan bahwa Asia Tenggara bergerak 1 cm/tahun ke arah tenggara, sedang lempeng Samudera Hindia-Australia bergerak 7 cm/tahun ke arah utara, dan lempeng Pasifik barat bergerak 9 cm/tahun ke arah barat. Banyak data tentang gerakan lempeng yang telah diperoleh sejak munculnya Global Positioning System (GPS) (Verstappen, 2000: 17). Sehingga sangat wajar apabila dari hasil inventarisasi Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) DIY, ada sekitar 3.000 sekolah di DIY yang berada di kawasan rawan bencana (Sumber: Kedaulatan Rakyat, 1 Februari 2014).

Berdasarkan sumber di atas dapat ditarik benang merah, bahwa kita tidak mungkin mengelak dari bencana. Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita belajar hidup berdampingan dengan wilayah rawan bencana. Dengan keluarnya UU no. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, telah terjadi berbagai perubahan yang cukup signifikan terhadap upaya penanggulangan bencana di Indonesia, baik dari tingkat nasional hingga daerah. Jika upaya penanggulangan bencana di Indonesia bersifat tanggap darurat saja (emergency response). Melalui UU no. 24 tahun 2007 ini mencakup semua fase bencana, diawali dengan fase mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat hingga pemulihan pasca bencana. Perubahan paradigma dari tanggap darurat menjadi siaga bencana, bahwa bencana tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja. Tetapi, juga bisa diantisipasi kejadian bencana, korban dan diminimalisir dampaknya.

Perlu kiranya pemerintah memperbanyak sosialisasi tentang pengurangan risiko bencana/mitigasi bencana melalui jalur pendidikan. Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnya tidak hanya memberikan transfer of knowledge saja, namun juga harus mampu memberikan kecakapan dan keterampilan untuk kelangsungan hidup bagi siswa ketika sudah terjun di masyarakat. Mitigasi bencana merupakan bagian dari keterampilan untuk kelangsungan hidup siswa. Siswa merupakan orang yang paling cepat menstransfer ilmu yang didapat dari sekolah untuk keluarga dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan anak usia sejak dini untuk memahami mitigasi bencana merupakan langkah awal dalam membangun masyarakat sadar bencana. Sehingga ketika terjadi bencana siswa, guru, dan masyarakat tidak lagi kebingungan, panik, karena telah memahami bagaimana cara mengurangi risiko bencana.

 Tentunya dalam hal ini sangat diperlukan media yang tepat untuk menanamkan mitigasi bencana yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa. Penanaman mitigasi bencana sejak dini di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan cerita bergambar, latihan simulasi ringan, maupun menyisipkan materi mitigasi bencana ke dalam materi pelajaran yang sesuai. Pemberdayaan anak sejak dini untuk memahami mitigasi bencana merupakan langkah awal dalam membangun masyarakat sadar bencana. Dengan harapan pengetahuan yang didapat dari sekolah dapat ditularkan pada lingkungan sekitar dalam rangka mengurangi risiko bencana.

Magister Manajemen Pendidikan UAD Menerima Dua Mahasiswa Asing

Selasa (18/02) lalu, Wakil Direktur Program Pascasarjana UAD, Dr. Dwi Sulisworo, menyambut dua mahasiswa asing dari Filipina yang akan belajar di Magister Manajemen Pendidikan UAD. Datang dari Pulau Mindanao, Filipina Selatan, Ahmad D. Hashim dan Jefferson Isaac Jagoh, berencana belajar di Program Pascasarjana UAD selama satu setengah tahun dengan Beasiswa Unggulan (BU).

Beasiswa untuk dua mahasiswa Mindanao ini merupakan kerja sama antara Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada tahun pertama yaitu tahun akademik 2012/2013, UAD menerima 3 mahasiswa Mindanao dari total 17 mahasiswa yang disebar ke beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Pada tahun ini, UAD menerima 2 mahasiswa dari total 8 mahasiswa.

Ahmad dan Jeff merasa sangat senang datang ke UAD untuk belajar, karena sejak pertama datang mereka merasa sangat terbantu dalam segala hal. Mereka diijinkan untuk tinggal di asrama UAD sebelum menemukan kos dan mereka pun dibantu untuk mencari kos oleh staf Kantor Urusan Internasional. Saat meakukan pendaftaran, mereka juga dibantu oleh staf Program Pascasarjana.

Selanjutnya, selain belajar di Magister Manajemen Pendidikan, kedua mahasiswa yang juga bisa berbahasa Arab ini berrencana mengikuti berbagai kegiatan keagamaan di UAD untuk menambah pengetahuan Islam dan kemampuan bahasa Arab mereka.(Doc)

Seberapa Majukah Publikasi Riset Di Indonesia?

Triantoro Safaria, PhD. Psi.

Pengajar di Pascasarjana Psikologi

Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

 

Indonesia memiliki lebih dari 1000 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh pelosok negeri,  baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Peran pendidikan tinggi sangat penting bagi mempercepat kemajuan suatu bangsa. Inovasi, gagasan-gagasan cemerlang, perilaku kecendikiawanan menjadi salah satu sumbangan besar pendidikan tinggi bagi kemajuan bangsa. Universitas sebagai salah satu tipe perguruan tinggi merupakan pusat dari creation, preservation and dissemination of knowledge. Creation merujuk pada peran universitas sebagai tempat pengembangkan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya menghasilkan teori-teori baru, inovasi-inovasi teknologi dan kemanusiaan. Preservation merujuk pada universitas  harus menjadi tempat penyemaian dan pelestarian ilmu pengetahuan melalui diantaranya menghasilkan sarjana-sarjana yang mumpuni, yang mampu mengembangkan dan melestarikan tradisi ilmiah di lingkungannya. Dessimination of knowledge merujuk pada peran universitas sebagai tempat pertukaran dan penyebaran ilmu pengetahuan. Hal ini dicapai melalui kegiatan penelitian dan pengajaran, diskusi ilmiah, seminar, publikasi ilmiah dan konferensi. Sehingga ketiga filosofi di atas perlu menjadi dasar dari eksistensi dan menjadi tujuan tertinggi sebuah universitas dan sivitas akademik di dalamnya.

            Kenyataan yang ada menunjukkan hal yang mengecewakan, jika dibandingkan dengan banyaknya jumlah peguruan tinggi yang berdiri di bumi pertiwi. Produk  berupa publikasi ilmiah masih menjadi kendala besar bagi sebagain besar perguruan tinggi di Indonesia. Pada hal, publikasi ilmiah merupakan unsur paling penting yang mencirikan sebuah perguruan tinggi yang berkualitas. Publikasi ilmiah ini dapat menjadi indikator penting dalam menilai apakah sebuah Negara memiliki pendidikan tinggi yang maju. Publikasi ilmiah ini tampaknya masih menjadi masalah besar bagi banyak dosen, peneliti, dan mahasiswa di Indonesia.

            Data tahun 2014 dari Scimago, menunjukkan posisi Indonesia yang mengecewakan dibandingkan dengan Negara Asia lainnya. Data di Scimago menunjukkan Indonesia  memiliki 113 artikel yang terindex di Scopus, dengan H-index 16, sehingga menduduki rangking ke 11 dibawah Philipina yang memiliki 114 artikel dengan H-index 17 di rangking ke 10. Sementara Thailand memiliki 290 artikel, dengan H-index 18, menduduki rangking ke 9. Kita masih kalah jauh dengan Malaysia yang memiliki  854 artikel terindex di Scopus, dengan H-index 19, menduduki rangking ke 8.  Posisi ke 7 ditempati oleh India dengan 1559 artikel dan  H-index 36. Posisi ke 6 ditempati oleh Singapura yang memiliki 1152, dengan H-index 40.  Peringkat lima besar ditempati oleh Jepang (7.496 artikel: H-index 74) urutan pertama, Hongkong (2.504 artikel dengan H-index 70) urutan kedua, China (2.760 artikel dengan H-index 53) urutan ketiga, Taiwan (2.494 artikel dengan H-index 53) urutan keempat, dan Korea Selatan (1.715 artikel dengan H-index 50) diposisi kelima (Scimago, 2014).

Data tahun 2014 dari Scimago di atas menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh di bawah Malaysia sebagai Negara serumpun. Ketertingalan Indonesia dibandingkan Malaysia, tidak saja pada publikasi riset, tetapi juga dalam hal besarnya dana riset bagi menyokong penelitian di perguruan tinggi. Sebagai salah satu contoh, Malaysia memberikan dana penelitian yang besar bagi universitas negeri yang dipromosikan masuk dalam universitas riset. Dana ini diberikan dalam kurun waktu tiga tahun yang nantinya akan dievaluasi secara berkelanjutan. Sepanjang tiga tahun tersebut pada tahun pertama  mendapat sekitar 65 juta ringgit (Rp. 180 milyar); tahun kedua dan ketiga meningkat menjadi sekitar 100 juta (sekitar Rp 280 milyar). Dana sebesar ini akan difokuskan pada kegiatan riset dan beasiswa riset. Jadi, jika satu universitas memiliki dosen/peneliti sebanyak 1000 orang, maka setiap dosen akan memiliki dana riset yang siap digunakan dalam jangka waktu satu tahun sebesar 65 ribu ringgit (Rp. 182 juta). 

Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia masih kalah jauh berbanding dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Philipina.  Kita hanya menang atas Brunai, Vietnam, Kamboja dan  Laos. Berbagai permasalahan muncul dan menghambat  kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia. Rendahnya minat baca, rendahnya kemampuan menulis dan banyaknya dosen yang sibuk kerja sampingan akibat gaji yang tidak mencukupi menjadi banyak sebab dari keterpurukan publikasi ilmiah di banyak perguruan tinggi Indonesia.

Ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk memacu dan meningkatkan publikasi ilmiah ini di Indonesia. Di antaranya yang bisa dilakukan adalah memberikan stimulus dana penelitian yang memadai, meningkatkan keterampilan menulis di kalangan dosen/peneliti, dan tidak lupa juga meningkatkan kesejahteraan civitas akademiknya. Sehingga, lebih focus dalam karirnya sebagai dosen/peneliti. Tak dapat dipungkiri, rendahnya publikasi ilmiah di Indonesia menunjukkan rendahnya minat penelitian dan publikasi di kalangan dosennya. Kebijakan yang mendorong tumbuhnya minat meneliti dan publikasi ini akan secara langsung meningkatkan keinginan para dosen/peneliti untuk mempublikasikan hasil risetnya di Jurnal Internasional bereputasi.