Pengumuman: Jadwal Pembagian Beasiswa UAD Tahap II Diundur

 

Kamis, 6 November 2014 jadwal pembagian beasiswa UAD tahap II mengalami perubahan jadwal. Pemberian beasiswa ini dijadwalkan akan dibagikan pada tanggal 6 November 2014 pukul 80.00 di kampus 1 UAD. Namun berubah menjadi pukul 12.00. Ditemui di kantor Biro Kemahasiswaan dan Alumni, Hendro Setiono menyatakn bahwa hal ini disebabkan oleh keterlambatan mahasiswa yang mengumpulkan KHS.

Dia melanjutkan, bahwa hampir sekitar 100 mahasiswa yang belum mengumpulkan KHS sebagai bukti bahwa mahasiswa tersebut termasuk kedalam daftar penerima beasiswa. Bagi mahasiswa yang belum mengumpulkan KHS, BIMAWA memberikan kesempatan hingga akhir bulan ini.

Beasiswa sebesar 420.000 rupiah ini akan di bagikan pada pukul 12.00 hingga selesai, kepada sekitar 600 mahasiswa. Setiap mahasiswa wajib membawa fotokopi KTM, atau menunjukan KTM kepada petugas.

PGSD dan BK Adakan Seminar Nasional

Program Studi PGSD & Bimbingan Konseling FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta akan mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Membangun Karakter Anak untuk Menyongsong Generasi Emas Indonesia”

Seminar tersebut akan diselenggarakan di Jogja Expo Center (JEC) pada hari Ahad, 14 Desember 2014.info lengkap kunjungi: www.pgsd.uad.ac.id dan www.bk.uad.ac.id

Pendaftaran peserta, via online dengan mengisi form pendaftaran di web www.pgsd.uad.ac.id disertai upload bukti transfer pembayaran seminar paling lambat 30 November 2014

Pendaftaran pemakalah: via online mengisi form pendaftaran pemakalah di web www.pgsd.uad.ac.id disertai upload abstrak.

Penerimaan abstrak  s.d 20 November  2014
Pengumuman abstrak diterima 22 November 2014
Upload full paper dan bukti transfer pembayaran seminar plg lambat 27 Nov 2014

Ciptakan Nasyid Berbeda

 

Minggu (2/11), diadakan lomba Nasyid untuk SMA dan SMK Muhammadiyah se-Yogyakarta. Lomba yang bertempat di auditorium Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kampus I ini diikuti oleh 19 grup. Lisna, mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) yang merupakan sekretaris acara lomba tersebut mengatakan, “Lomba nasyid diadakan untuk memeriahkan milad UAD yang ke-54. Selain itu, acara ini juga diharapkan dapat mengubah cara pandang orang terhadap nasyid.”

“Selama ini nasyid dianggap musik yang kuno, namun sekarang nasyid dapat dikolaborasikan dengan beatbox misalnya. Sehingga menghasilkan musik yang lebih segar. Kriteria penjurian dalam lomba ini terdiri atas materi yang dibawakan, penampilan, dan musikalitas dari masing-masing grup,” lanjutnya saat ditemui di tengah kemeriahan acara.

Salah satu peserta yang menamai grup mereka Nisanada mengatakan, persiapan yang dilakukan cukup mepet, namun mereka tetap berusaha melakukan yang terbaik untuk lomba kali ini.  

“Meskipun kami pernah menjuarai lomba Nasyid ketika Milad Fakultas Farmasi UAD, namun kali ini rasanya beda, rasanya grogi,” kata salah satu anggota Nisanada.  Grup yang terdiri atas Silma, Arika, Astria, Zulfi, dan Malika ini membawakan dua lagu. Satu lagu yang merupakan lagu wajib dan satu lagi lagu pilihan.

“Kami akan melakukan yang terbaik agar meraih juara lagi kali ini,” lanjutnya.

Lomba yang dimulai pukul 08.00 WIB ini diakhiri dengan pengumuman pemenang. Juara I diraih SMA Muhamadiyah 2 Yogyakarta, juara II diraih MA Muallimat, dan juara III diraih MA Muallimat. Selamat kepada para juara! Semoga dapat membuat nasyid yang berbeda!

UAD Gelar Training of Trainer

Sabtu (01/11), Universitas Ahmad Dahlan (UAD) adakan Training of Trainer Softskills (Pelatihan untuk Pemateri Softskills). Acara yang bertempat di Ros In Hotel Jalan Ringroad Selatan, Yogyakarta, ini diprakarsai oleh Biro Kemahasiswaan dan Alumni (Bimawa) UAD. Acara berlangsung selama satu hari dan dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama dimulai pukul 08.00−12.00 WIB, dan sesi kedua dimulai pukul 13.00−16.00 WIB.

Hadir sebagai pemateri dalam acara tersebut, dr. Taufiqurrahman, M.Kes. selaku Ketua PWM DIY dan Dr. Khoirudin Bashori. Mereka mengarahkan peserta training agar mampu menjadi trainer yang andal. Selain itu untuk menyegarkan suasana, diadakan pula simulasi game oleh Tim Trainer Bimawa UAD.

Drs. Hendro Setyono, SE., M.Si. selaku Kepala Bidang Kemahasiswaan dan Alumni (Kabid Mawa) UAD sekaligus ketua panitia acara tersebut mengungkapkan, “Acara ini bertujuan untuk menyiapkan trainer-trainer andal serta berkomitmen, untuk nantinya mampu mengisi pelatihan softskills mahasiswa baru UAD 2014.”

Acara yang dibuka dan ditutup oleh Wakil Rektor III Dr. Abdul Fadlil, MT. tersebut dihadiri oleh beberapa dosen UAD. Mereka adalah peserta training yang bertugas mengisi pelatihan softskills akhir November mendatang. (CH)

 

21 SMA Muhammadiyah Ikuti Lomba Kreatifitas di UAD

 

Sebanyak 12 sekolah Muhamamdiyah di DIY mengikuti ajang kreatifitas di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Ahad (2/11). Ajang yang menjadi rangkaian peringatan Milad UAD ke-54 ini menampilkan beberapa event lomba antarpelajar. Antara lain lomba Pidato Bahasa Inggris, Cerdas Cermat Agama, Pidato Bahasa Arab, dan Nasyid.

Humas Milad UAD, Farida, mengatakan bahwa antusias sekolah Muhammadiyah mengikuti ajang ini cukup tinggi. Terbukti dari sekolah yang mengirimkan dua timnya sekaligus. “Melihat hal tersebut, ke depan ajang ini akan kami gelar bukan hanya untuk sekolah Muhammadiyah, tetapi juga sekolah umum,” ujarnya.

Lomba Cerdas Cermat Agama dimenangkan oleh SMA Muhammadiyah I,  juara II oleh MA Mualimat Yogyakarta, dan juara III diraih MA Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Sementara itu, dalam lomba Pidato Bahasa Arab, juara I diraih SMA Muhammadiyah Boarding School, juara II diraih MA mualimat Muhammadiyah, dan juara III diraih SMA Muhammadiyah Boarding School.

Budaya Disiplin (Waktu)

Oleh: Dr. Suyatno, M.Pd.I.

Dosen Prodi PGSD Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Disiplin memang masih menjadi barang langka dan berharga di tempat kita, baik di sekolah, kampus, kantor, maupun di masyarakat umum. Kata-kata “mohon maaf Pak/Bu, saya terlambat” masih menjadi pemandangan sehari-hari. Terlambat masih dianggap hal yang wajar dan biasa, bahkan telah menjadi budaya. Bahkan di sebuah acara, ada yang telah membuat kesepakatan untuk terlambat selama 30 menit dalam setiap kali pertemuan. Sungguh mengherankan, kok “maksiat” disepakati. Apa gerangan sebabnya orang tidak disiplin dalam waktu? Sebab utamanya hanya satu, kurang menghargai nilai waktu. Kita tidak merasa kehilangan sesuatu dan eman-eman apabila kita terlambat beberapa menit bahkan jam ketika mengikuti sebuah acara rapat, seminar, kuliah, workshop dan lain sebagainya.

Bagaimana merubah budaya? Budaya memang tidak mudah untuk dirubah, dalam waktu yang singkat. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Renald Khasali dalam bukunya Myelin mengungkapkan berdasarkan pengalaman bersama tim yang dipimpinnya, setidaknya ada 5 langkah yang harus dilakukan untuk merubah budaya, yaitu; dipaksa, terpaksa, bisa, biasa, dan akhirnya menjadi budaya.

Pertama, dipaksa. Untuk membuat perubahan secara masal memang tidak cukup menunggu kesadaran dari masing-masing individu, harus ada peraturan yang memaksa. Konon, orang-orang Barat bisa disiplin bukan hanya karena faktor individu melainkan ada aturan yang tegas dan tidak dapat ditawar-tawar. Yang salah ditindak tegas, yang benar ada jaminan keselamatan.

Kedua, setelah dipaksa orang akan merasa terpaksa. Orang akan terpaksa bekerja keras agar dapat mengikuti segala jadwal dan kegiatan secara on time, tidak terlambat. Mereka akan lebih memanage waktu sebaik-baiknya agar dapat melakukan setiap kegiatan dengan tepat waktu. Ketiga, setelah terpaksa beberapa lama akhirnya bisa. Tidak bisa bukan karena sulit melainkan karena belum pernah mencoba untuk tepat waktu.

 Keempat, setelah bisa toh akhirnya menjadi biasa. Pada fase ini orang sudah tidak lagi merasakan berat, apalagi merasa dipaksa dan terpaksa. Semuanya telah berjalan secara otomatis karena saraf dalam tubuh telah terkondisikan bahwa semuanya harus berjalan sesuai waktu yang ditentukan. Kelima, kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang dan dibumbui dengan penghayatan akhirnya akan menjadi budaya. Maka terbentuklah budaya disiplin.

Menurut Khasali, untuk merubah budaya tidak disiplin menjadi budaya disiplin sebagaimana dijelaskan dalam langkah-langkah di atas, butuh waktu kira-kira 7 tahun. Memang cukup lama.

Selain lima langkah di atas ada satu hal lagi yang sangat penting untuk membentuk budaya kedisiplinan, yaitu dengan cara menetapkan the time of value. Hargailah waktu anda setinggi-tingginya. Sebagai contoh, seseorang telah menetapkan harga waktunya adalah 100.000,- rupiah per jam. Jika seseorang gagal memanfaatkan waktu 1 jam saja setiap hari maka seakan-akan orang itu telah kehilangan uang sebanyak angka itu. Bagaimana kalau gagal memanfaatkan waktu 2, 3, 4, atau 5 jam perhari? Tentu ia akan merasa kehilangan uang dalam jumlah lebih banyak lagi.

Ah, sungguh materialis. Jika ada yang berkomentar demikian, itu hanya sekedar contoh. Kita dapat menghargai waktu dengan cara yang berbeda-beda. Tetapi sebagai orang beriman, ada yang telah kita sepakati bersama bahwa bukankah Allah juga akan menanyakan kepada hamba-Nya setiap detik waktu yang telah dilewatkan?

 

Pendidikan Anti Korupsi Berbasis Keluarga

 

Ika Maryani, PGSD FKIP Universitas Ahmad Dahlan UAD

Jangan sebut korupsi sebagai budaya! Karena budaya bangsa ini terlalu mahal untuk dikonotasikan dengan istilah korup. Tapi faktanya, korupsi memang menjadi penyakit yang seolah telah membudaya di negeri ini. Tidak hanya di pemerintahan, tapi juga di berbagai aspek kehidupan kita, korupsi seolah menjadi bagian negatif yang tak bisa ditinggalkan dalam sistem birokrasi.

Korupsi disebabkan karena adanya keinginan dan kesempatan. Keinginan berkaitan dengan moral seseorang, sedangkan kesempatan berkaitan dengan sistem. Untuk itu, agar terbebas dari korupsi, perlu ditanamkan nilai-nilai anti korupsi sejak dini mulai dari lingkungan keluarga dan tempat tinggal. Pendidikan anti korupsi perlu ditanamkan sejak dini agar generasi penerus bangsa memiliki jiwa anti korupsi.

Trend usia Koruptor semakin lama semakin muda, mulai mengarah ke usia di bawah 40 tahun. Uniknya lagi, tindakan korupsi mulai melibatkan hubungan keluarga. Lihat saja kasus “dinasti” Banten yang melibatkan hampir seluruh keluarga besar Atut, kasus pengadaan Al-Qur'an  yang "kompak" dilakukan oleh Bapak dan Anak. Serta yang tidak kalah adalah kasus penangkapan Bupati Karawang beserta Istrinya karena melakukan pemerasan kepada salah satu perusahaan yang tengah mengajukan ijin pembangunan pusat perbelanjaan di kota tersebut. Tak hanya itu, Wali Kota Palembang Romi Herton dan istri, Masyitoh, juga ditangkap karena kasus penyuapan terhadap mantan Ketua MK Akhil Mochtar, sedangkan Bendahara Umum Partai Demokrat sekaligus anggota DPR Muh. Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni, ditangkap karena sejumlah tindak pidana korupsi.

Fakta-fakta menyedihkan ini menunjukkan betapa keluarga sangat berpengaruh terhadap tindakan seseorang untuk melakukan upaya korup. Hal ini menjadi keprihatinan bersama rakyat Indonesia. Wakil Ketua KPK Busro Muqoddas dalam kunjungannya ke Kampus 5 Universitas Ahmad Dahlan beberapa saat yang lalu memaparkan betapa besar peran keluarga dalam pencegahan korupsi. "Tanpa kita sadari, keluarga menjadi salah satu pemicu seseorang untuk melakukan tindakan korupsi karena pola hidup boros dan konsumtif yang dibina dari keluarga. Oleh karena itu, pendidikan anti korupsi dan penanaman hidup sederhana dalam keluarga menjadi hal yang paling utama dan menjadi salah satu fokus utama KPK saat ini”, ujarnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan Yogyakarta (dimulai dari Prenggan, Kotagede) sebagai pilot project pencegahan korupsi berbasis keluarga. Dengan merangkul berbagai komunitas, institusi pemerintah, serta Perguruan Tinggi (khususnya Universitas Ahmad Dahlan), KPK akan memberikan pendidikan antikorupsi di tingkat keluarga. Upaya ini dilakukan mengingat pembiasaan-pembiasaan hidup dalam keluarga menjadi faktor utama tindakan seseorang di masa depan. Ikatan antara suami-istri, orangtua-anak, maupun antartetangga menjadi sesuatu yang potensial untuk menanamkan nilai kejujuran berbasis keluarga. Yogyakarta dengan local content yang sangat kuat menjadi  tempat yang tepat untuk memulai program pencegahan korupsi berbasis budaya lokal. Terlebih lagi mengingat budaya yang kental akan nilai-nilai kejujuran dan berbudi luhur masih terwariskan dengan baik di wilayah Yogyakarta.

Tentu upaya ini tidak akan maksimal jika KPK hanya bekerja sendiri. Oleh karena itu dengan mengajak berbagai komponen masyarakat, salah satunya Universitas Ahmad Dahlan, menjadikan program ini akan lebih cepat memberikan hasil dan dapat diadopsi oleh daerah lain. Harapan besarnya adalah agar seluruh lapisan masyarakat di Indonesia dari Sabang sampai Merauke dapat bersama-sama menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran serta menjadi bangsa besar yang terbebas dari korupsi.

Mengaktifkan Siswa Dalam Pembelajaran

Oleh: Hendro Widodo, M. Pd

 

Belajar pada prinsipnya adalah berbuat atau bertindak (learning by doing) untuk mengubah tingkah laku yang diharapkan. Perubahan tingkah laku tersebut sebagai hasil dari melakukan kegiatan dalam proses belajar, karena tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas. Belajar membutuhkan aktivitas mental dan tindakan pembelajar itu sendiri. Kedua aktivitas tersebut tidak dapat terpisahkan dalam kegiatan belajar. Oleh sebab itu, aktivitas merupakan prinsip yang sangat urgen dalam interaksi belajar mengajar.

Aktivitas guru dan siswa dalam interakasi belajar mengajar merupakan interaksi educatif. Interaksi educatif ditandai dengan adanya interaksi yang sadar dan disengaja antara guru dan siswa maupun antar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Di sini dituntut semua pelaku pembelajaran untuk berbuat aktif, baik guru maupun siswa. Guru dituntut aktif dalam memberikan pengetahuan dan penanaman nilai edukasi kepada siswa, dengan melibatkan siswa dalam aktivitas pembelajaran dan siswa pun aktif terlibat sehingga antara keduanya menghasilkan aktivitas belajar yang optimal. 

Mengaktifkan siswa dalam pembelajaran tidak cukup hanya kemampuan guru dalam menguasai materi pelajaran saja namun harus ditopang oleh kemampuan guru dalam mengembangkan pola pembelajaran kreatif dan variatif dengan menekankan pada strategi pembelajaran aktif.  Sebagaimana nasehat  Melvin L. Silberman, ”You can tell students what they need to know very fast. But they will forget what you tell them even faster.” Anda dapat memberitahu para siswa tentang apa yang perlu mereka ketahui dengan sangat cepat. Tetapi, mereka bahkan akan lebih cepat melupakan apa yang Anda beritahukan kepada mereka. Dengan kata lain, penggunaan strategi pembelajaran aktif akan dapat mengarahkan siswa pada makna belajar yang sebenarnya.   

Di dalam strategi pembelajaran aktif menekankan pada belajar dengan melakukan. Belajar dengan melakukan perlu ditekankan karena setiap siswa hanya belajar 10% dari yang dibaca, 20% dari yang didengar, 30% dari yang dilihat, 50% dari yang dilihat dan didengar, 70% dari yang dikatakan, dan 90% dari yang dikatakan dan dilakukan. Nilai yang terkandung dari hasil temuan Wyatt & Looper (1999) ini adalah perlunya pengkondisian siswa untuk membaca materi pelajaran terlebih dahulu sebagai modal awal siswa sebelum memasuki kelas utnuk mengikuti pembelajaran. Dengan modal awal tersebut, secara psikologis siswa akan lebih percaya diri mengikuti pembelajaran. Demikian di dalam kelas, siswa mendengarkan penjelasan guru dengan baik maka konstruksi pengetahuan yang didapatkannya bertambah menjadi 20%. Dari sini berarti metode ceramah, siswa hanya mampu menangkap 20% dari yang didengar. Selanjutnya kosntruski pengetahuan siswa bertambah menjadi 30% bilamana terjadi visual activities. Hal ini perlu didukung oleh guru dalam menyajikan materi pelajaran dengan menggunakan media pembelajaran. Kemudian konstruksi pengetahuan siswa akan bertambah 50% dari yang dilihat dan didengar. Artinya, listening activities dan visual activities terintegrasi dalam pembelajaran, dan kedua aktivitas tersebut dapat mendorong konstruksi pengetahuan siswa menjadi 70% bilamana dilakukan oral activities, seperti bertanya, eksplorasi pendapat/gagasan, diskusi dan sebagainya. Akhirnya yang lebih diharapkan adalah konstruksi pengetahuan tersebut mencapai pada tingkat 90% dari yang dikatakan dan dilakukan. Di sini belajar dengan melakukan dimana siswa terlibak aktif di dalamnya. Dengan demikian, setiap materi pelajaran diharapkan selalu dikaitkan dengan pengalaman langsung siswa.

Penulis adalah Dosen Prodi PGSD UAD Yogyakarya

 

Pembatasan Waktu Kuliah, Solusi Bijak kah?

Dani Fadillah, M.A.

            Ada sebuah wacana yang muncul terkait adanya pembatasan waktu kuliah bagi para mahasiswa. Dimana tadinya seperti ada ketidakjelasan berapa waktu yang harus dilalui oleh seorang mahasiswa untuk menempih program pendidikan strata satunya, menjadi hendak dibatasi cukup hanya lima tahun saja. Tentu saja hal ini menimbulkan pro kontra dikalangan civitas akademik perguruan tinggi dan para stoke holders nya.

            Fenomena mahasiswa abadi memang bukan hal yang langka kita temui di berbagai perguruan tinggi tanah air. Entah itu kampus swasta mau pun negeri pasti ada tipe mahasiswa yang satu ini. Para mahasiswa yang tak kunjung lulus ini mau tidak mau harus diakui menimbulkan beberapa kekhawatiran hingga masalah yang menyusahkan pihak universitas, mulai dari hal-hal yang bersifat teknis seperti kesulitan mengatur jadwal kuliah karena meterbatasan ruang kuliah hingga urusan yang lebih serius seperti penilaian akreditasi.

            Sebelum mengambil kesimpulan terhadapat wacana ini ada kalanya kita mempertimbangkan beberapa hal terlebih dahulu. Penyebab munculnya fenomena mahasiswa abadi ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama dapat dikarenakan sang mahasiswa terlalu mencintai kehidupan pribadinya sebagai mahasiswa dimana dia menikmati aktifitas hariannya sebagai aktivis di organisasi mahasiswa mau pun hanya menikmati hidup hura-hura layaknya remaja yang masih belum menemukan tujuan hidup. Harus ada penelaahan lebih lanjut yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan. Jika yang menyebabkan sang mahasiswa tak kunjung lulus adalah alasan ini maka yang harus ditekankan dan ditingkatkan disini adalah fungsi dosen pembimbing akademik (PA) bagaimana seorang dosen PA mampu mempersuasif mahasiswa bimbingannya agar tetap ada di jalur yang benar dalam studi ditengah kesibukannya diluar dunia perkuliahan. Sebab tidak jarang dosen PA yang hanya tanda tangan kehadiran saja tanpa memberikan pengarahan maksimal pada mahasiswa yang menjadi tanggungjawabnya. Bahkan penulis belum pernah menemu ada pelatihan khusus bagi para dosen PA, padahal anggaran pendidikan dari APBN sangat besar.

Dan penyebab yang kedua sang mahasiswa sibuk untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah karena dia telah dituntut untuk dapat hidup mandiri. Dia sibuk bekerja untuk menghidupi dirinya (bahkan mungkin keluarganya) sehingga dangan amat terpaksa kuliahnya menjadi terbengkalai padahal sebenarnya dia mahasiswa dengan potensi yang besar. Kemudian jika penyebab sang mahasiswa tidak juga meraih gelar strata satu nya adalah alasan yang kedua, maka ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dalam memberikan bantuan dalam bentuk beasiswa hingga living cost yang layak bagi para mahasiswa supaya dunia perkuliahan akademik mereka tidak berantakan karena tanggungjawab kehidupan mereka. Pembatasan masa kuliah akan sangat membebani fisik bahkan psikis mereka, hanya akan menjadi masalah baru.

            Namun ada pula tipe ketiga yang cukup sering yang penulis jumpai saat masih berstatus mahasiswa hingga kini menjadi dosen yaitu mahasiswa yang bersangkutan kehilangan semangat kuliah ya karena sang dosen pembimbing tak kunjung menyetujui penelitian tugas akhirnya, bahkan ada yang judulnya disetujui saja tidak. Lebih parahnya lagi ada pula dosen pembimbing yang terlalu sibuk mengejar proyek diluar hingga tidak pernah ditemui oleh mahasiswanya. Jika hal ini yang terjadi maka jelas lah masalah sebenarnya bukan ada pada mahasiswa. Jangan sampai jika kebijakan pembatasan masa kuliah diberlakukan sang dosen baru muncul ketika sang mahasiswa sudah terancam DO kalau sudah begini mahasiswa yang dirugikan sedangkan sang dosen pembimbing yang tak bertanggungjawab itu aman-aman saja.

Sebenarnya masih banyak hal lagi yang menyebabkan sang mahasiswa tak kunjung lulus, namun dalam kesempatan ini penulis hanya mencoba untik menyampaikan tiga hal saja dulu. Nah minimal dengan melihat tiga fenomena ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil sebuah kebijakan tentang pembatasan masa kuliah bagi mahasiswa. Jangan sampai kebijakan ini justru malah akan menghasilkan sebuah masalah baru, bahkan merusak masa depan mahasiswa yang bersangkutan.

*Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta