Rintis Pusat Konsultasi, PIK-M Sahabat Mentari Edukasi Anggota lewat Kunjungan

Pusat Informasi dan Konseling (PIK-M) Sahabat Mentari melakukan kunjungan studi ke Badan Narkotika Nasional pada 30 Mei 2017 lalu. Acara bertema “Konselor Adiksi” tersebut diikuti oleh 30 peserta yang seluruhnya tergabung dalam PIK-M Sahabat Mentari. Di sana, mereka mendapatkan ilmu tentang narkoba dan adiksi, serta langkah-langkah yang harus diambil sebagai seorang konselor adiksi. Luaran dari acara kunjungan ini berupa penyaluran ilmu dan sosialisasi yang akan direalisasikan pada bukan Agustus mendatang. Bertempat di Kabupaten Gunungkidul, PIK-M Sahabat Mentari menyasar pada masyarakat umum, baik remaja maupun dewasa.

Yayan Kastowo, ketua PIK-M Sahabat Mentari menjelaskan bahwa kunjungan tersebut bertujuan untuk menambah wawasan anggota, khususnya Seksi Bidang (Sekbid) NAPSA tentang strategi dan bahaya narkoba. Selain itu, kunjungan tersebut juga sebagai langkah edukasi yang harus diambil dalam rangka merintis sebuah pusat konseling.

“Untuk sementara belum ada kegiatan konseling secara resmi dalam bentuk pusat konseling. Tapi, sudah ada rencana untuk ke arah sana. Saat ini, kami sedang merintis pusat konseling dalam PIK-M Sahabat Mentari. Tindakan konseling adalah tindakan yang serius, konselor sendiri harus memiliki keterampilan, ilmu, dan banyak yang harus dipersiapkan. Maka sekarang kami masih dalam tahap edukasi konselor dalam PIK-M Sahabat Mentari,” jelas Yayan.

PIK-M Sahabat Mentari merupakan organisasi eksternal bentukan BKKBN yang telah diresmikan oleh Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan berada di bawah naungan Program Studi Bimbingan Konseling (BK). PIK-M Sahabat Mentari terdiri atas bidang NAPSA, seksualitas, keagamaan, HIV/AIDS, serta bidang kecakapan dan keterampilan hidup.(dev)

Pangestu Helmi: Potret dan Ekspresi Diri

Foto hasil jepretan tangan terampil mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling Universitas Ahmad Dahlan (Prodi BK UAD) meraih peringkat pertama lomba fotografi Ramadan. Lomba yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Muslim Indonesia (FUMI) Universitas Negeri Semarang tersebut bertema “Pelita Ramadan dalam Bingkai Pendidikan”.

Adalah Pangestu Helmi Ambaryadi Putera, sosok di belakang kamera yang berhasil mengharumkan nama Prodi BK dan UAD. Pangestu begitu ia biasa dipanggil, mengaku kesulitan terbesar yang ia alami adalah waktu. Proses produksi dari pengumpulan ide, pembuatan konsep, pencarian talent dan photo session hanya dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam. Meskipun  begitu, ia mengaku puas dengan hasil yang dicapai.

“Kamera yang saya pakai itu kamera tua, peninggalan Bapak saya, Canon 50D. Lensanya juga lensa tua, Cosina 35/70 buatan tahun 1997. Jadi, lensanya itu hampir seumuran sama saya,” jelasnya saat ditanya tentang properti dan proses photo session.

Masih sambil tertawa, Pangestu kemudian melanjutkan, “Saya pakai dua speedlight. Satu ditaruh di bawah gaun tokoh malaikat, tujuannya untuk memberikan efek overlight pada tokoh malaikatnya, jadi kelihatan kalau dia itu makhluk astral. Satu speedlight lagi di belakang tokoh siswa SMA. Lalu, agar ada efek sparkly pada malaikatnya, saya pakai bedak yang ditaburkan ke udara terus ditiup, jadi pas kena speedlight ada sparkle-sparkle di sekitar malaikatnya.”

Tokoh-tokoh dalam foto “Di Hati Para Malaikat” tersebut diperankan oleh kawan-kawan sekelas Pangestu yaitu Aulia Cita sebagai malaikat, Endriya Nurfitasarai sebagai siswa SMA, dan Burhanuddin sebagai guru ngaji. Uniknya, tokoh malaikat dalam foto ini terinspirasi dari salah satu karakter game DOTA, Omni Knight. Karakter hero yang berjenis support tersebut bertugas melindungi map dan tim.

Pemuda kelahiran 11 Februari 1997 ini ternyata menyukai fotografi sejak sekolah dasar (SD). Bermula dari kedua orang tuanya yang bekerja di bidang IT, khususnya ayahnya yang sering memotret untuk kebutuhan multimedia pekerjaan. Berbekal kamera analog merek Pentax, Pangestu kecil sering mengikuti ayahnya pergi memotret. Kamera kedua yang ia miliki saat duduk di sekolah menengah pertama (SMP) adalah kamera analog Nikon F50.

“Sampai kira-kira kelas 2 SMP saya masih pakai analog. Pernah coba beli Canon 1000D yang waktu itu booming banget karena DSLR murah. Tapi setelah dicoba, menurut saya hasil fotonya masih jauh lebih bagus analog. Jadi, saya balik lagi pakai analog. Saya dulu juga sering ikut masuk kamar gelap sama Bapak buat liat proses cetak foto analog, tapi saya nggak mau ikut nyuci, takut tangan kasar,” jelasnya sambil tertawa.

Di SMP, Pangestu tergabung dalam ekstrakurikuler film dan fotografi. Dari ekstrakurikuler tersebut, ia kemudian dapat belajar dari fotografer-fotografer mumpuni yang tergabung dalam Asosiasi Fotografer Indramayu (AFI). Di Jogja, Pangestu mengaku belum mengikuti komunitas fotografi karena belum ada kesempatan. Namun, ia kerap bergaul dengan fotografer-fotografer Jogja yang ia kenal lewat media sosial asosiasi fotografer. Hingga saat ini, Pangestu masih berpegang teguh pada pesan ayahnya.

“Bapak saya itu nggak suka ikut komunitas, tapi saya malah disuruh ikut komunitas. Katanya, setiap orang itu punya warna sendiri, begitu juga dengan komunitas. Dari berbagai macam warna tersebut akan muncul warna yang baru, kamu boleh ikutin warna itu tapi kalau kamu merasa kamu punya warna sendiri dan warna kamu lebih bagus, kamu boleh belajar dari mereka tapi jangan ikut-ikutan. Karena setiap fotografer itu punya ciri khas.”

Pangestu mengaku, fotografi hanya sekadar hobi, tapi yang ia tekuni dengan sungguh-sungguh. Hingga saat ini, ia masih fokus pada jenis foto stilife. Dengan stilife, ia bisa bebas mengatur objek agar dapat mengandung pesan yang ingin ia sampaikan.

“Motret itu, menurut saya adalah ekspresi diri. Fotografi itu pokoknya tentang momen, background, foreground, story, object, subject. Gimana caranya memaksimalkan enam bidang tersebut menjadi sesuatu yang bernilai.” (dev).

Ahdi Sakha Hamida: Alumni UAD bagi Pengalaman Mengajar di Thailand

“Mengajar di sini tentu penuh tantangan karena sudah berbeda budaya. Terlebih mengajar anak-anak setingkat SD yang jumlahnya banyak. Kalau kita terlalu tegas malah diketawain. Alhamdulillah, sebelumnya sudah ada pembekalan dari kampus dan pengalaman di teater sehingga banyak membantu saya untuk mengondisikan kelas,” terang Ahdi Sakha Hamidan, S.S., saat diwawancarai via handphone oleh wartawan web Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Rabu (21/6/2017).

Ahdi, begitu sering disapa, merupakan salah satu dari 26 alumni UAD  yang mengikuti program Alumni Mengajar di Thailand yang berangkat sejak April lalu. Progam tersebut diadakan oleh Kantor Urusan Internasional (KUI) UAD yang sudah bekerja sama dengan 17 sekolah, khususnya di Thailand Selatan.

Pria yang pernah menjadi ketua Teater 42 UAD ini juga menjelaskan bahwa selain di SD, ia juga mengajar SMP dan SMA. Menurutnya, guru dan masyarakat di sana juga ramah-ramah.

“Guru-guru-guru di sini hampir semuanya ramah, sering bertegur sapa. Masyarakat di luar sekolah pun demikian. Saya sering dapat tebengan saat ada warga yang naik motor. Smiling country, hampir mirip di Indonesia,” lanjut alumnus Progam Studi Sastra Inggris UAD tersebut.

Mengenai komunikasi, menurutnya agak sedikit terbantu dengan guru-guru dan warga yang memakai bahasa Melayu. Karena secara geografis, letak Thailand Selatan masih berdekatan dengan Malaysia. (stt)

Syair Syiar Mustofa W. Hasyim

 

`

Film dokumenter-drama peraih juara 3 Pekan Seni Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PSM PTM) 2017 adalah buah karya lima mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Adalah Ridho Kamaludin, Ngudi Pratomo Bangun, Diani Noor, Catur Merianto, dan Mukti Bima Heryasa, lima mahasiswa berprestasi yang berhasil memperkenalkan tokoh penyair dan punggawa sastra di Muhammadiyah, Mustofa W. Hasyim.

Dalam film “Syiar Syair”, terdapat tiga pembagian waktu, yaitu waktu Mustofa kecil, Mustofa remaja, dan ketika Mustofa dewasa. Ketiga pembagian waktu tersebut dilakukan tentu bukan tanpa pertimbangan. Titik-titik penting dalam kehidupan Mustofa W. Hasyim dibungkus secara detail dalam film tersebut. Orang-orang sekitar yang berperan penting dalam kehidupannya pun tidak luput diceritakan. Guru sewaktu Mustofa kecil adalah salah satu orang berpengaruh dalam perkembangannya dalam kepenulisan sastra. Ayah Mustofa yang penyayang dan sering membacakan cerita Pangeran Diponegoro sebelum tidur dan istri Mustofa yang selalu mendukung seluruh usaha dan keinginannya.

“Pertimbangannya, kami ingin mengangkat tokoh Muhammadiyah yang penting, tapi belum banyak dikenal oleh masyarakat. Maka jatuhlah pilihan kepada Pak Mustofa W. Hasyim,” jelas Ridho selaku sutradara. “Pak Mus itu sebagai penyair, penulis, dan pendakwah adalah sosok yang sangat menginspirasi. Ia sangat sederhana, dan sangat menghargai waktu. Yang luar biasa, Pak Mus tidak bisa naik motor jadi ke mana-mana diantar istrinya, naik becak, atau jalan kaki. Tapi biar pun jalan kaki sekalipun, ia selalu on time,” lanjut Ridho.

Salah satu titik penting dalam film ini adalah saat diceritakan tentang salah satu karya Mustofa W. Hasyim yang berjudul Ranting Itu Penting. Buku tersebut terbit atas dasar kegelisahan tentang Muhammadiyah yang pada saat itu belum dapat menjangkau masyarakat kalangan bawah di desa-desa di Indonesia. Filosofinya adalah ketika sebuah pohon berbuah, buahnya akan tumbuh di ranting, bukan di akar.

Namun, tentu saja terealisasinya film tersebut bukan tanpa dukungan dari orang-orang sekitar. Ngudi Pratomo Bangun bertemu dan mewawancarai banyak orang dalam proses pengumpulan fakta untuk naskah film “Syair Syiar” ini.

“Karena jenisnya dokumenter, maka ceritanya harus mengandung fakta. Selain mengumpulkan literasi seperti puisi-puisi dan tulisan-tulisan Pak Mus, kami juga mewawancarai orang-orang di sekitar Pak Mus, seperti Pak Iman Budhi Santosa selaku kawan penyair, Pak Jabrohim selaku Ketua LSBO PP Muhammadiyah, Bang Iqbal H. Saputra selaku tetangga, dan Ibu Suratini Eko Purwati selaku istri Pak Mus,” tutur Bangun.

Pemuda kelahiran 30 Desember 1994 itu menuturkan bahwa proses pengerjaan naskah dilakukan selama satu minggu, mengingat waktu produksi yang sangat terbatas. Film dokumenter-drama “Syair Syiar” dapat diakses di akun Youtube Rido Kamaludin (Romantic Quantum). (dev)

Prodi BK Borong Piala Lomba Ramadan di Semarang

Program Studi Bimbingan Konseling Universitas Ahmad Dahlan (Prodi BK UAD) membawa pulang tiga piala dari dua ranting lomba bertema Ramadan. Lomba yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Semarang (UNESA) tersebut digawangi oleh organisasi Forum Mahasiswa Muslim Indonesia (FUMI) dengan tema “Ramadan dalam Bingkai Pendidikan”. Ketiga piala tersebut adalah juara 1 lomba Videografi Ramadan, juara 2 lomba Videografi Ramadhan, dan juara 1 lomba Fotografi Ramadan.

Tim pertama yang digawangi oleh Rido Kamaludin, Ngudi Pratomo Bangun, Agung Gunawan, Ifa, Hasan, dan Diani, meraih juara 1 dengan video berjudul “Peradaban: Pulang”. Konsep video tersebut berangkat dari kegelisahan Rido dan Bangun sebagai mahasiswa semester delapan yang sedang menghadapi skripsi. Sebagai mahasiswa semester akhir di tanah rantau, tentu saat bulan Ramadan muncul kerinduan akan kampung halaman. Rindu keluarga, masakan ibu, rindu sahur dan berbuka bersama, serta lainnya. Kerinduan-kerinduan tersebut digarap hingga menjadi konsep video bertema Ramadan yang penuh makna dan pesan-pesan penting. Pesan yang ingin disampaikan dalam video tersebut adalah di bulan Ramadan, sesuatu yang dilakukan atas dasar kejujuran pasti akan berbuah manis dan terhitung sebagai sebuah ibadah.

Tim kedua meraih juara 2 dengan video berjudul “Peradaban: Prasangka”. Kelompok ini digawangi oleh Fikri Ari Gumelar, Ngesi Khasan, Riska Wuryandari, dan Pangestu Helmi. Video tersebut terinspirasi dari surat al-Hujurat ayat 12. Dikisahkan seorang pemuda yang ingin membantu pengemis, tetapi karena harta yang ia miliki tidak mencukupi, ia akhirnya memberikan makanan yang disediakan masjid kepada pengemis tersebut. Hal itu ternyata menimbulkan prasangka orang-orang yang melihat tindakannya.

Piala selanjutnya yang diboyong pulang dari Semarang adalah piala juara 1 lomba fotografi. Foto yang berjudul “Di Hati Para Malaikat” tersebut adalah karya Pangestu Helmi, mahasiswa semester 2 Prodi BK.

Kendati hasil yang didapat sangat memuaskan, tentu masih ada kesulitan yang dihadapi. Salah satunya waktu yang terbatas. Foto dan kedua video tersebut diselesaikan dalam waktu 24 jam. Karena keterlambatan informasi yang didapat, kedua tim harus bekerja ekstra cepat untuk menyelesaikan karya mereka. Dan, tentu saja hal tersebut tidak pernah lepas dari dukungan dan bimbingan dari pihak Prodi. (dev)

 

Video dapat diakses di

https://www.youtube.com/watch?v=F50NChupY88

https://www.youtube.com/watch?v=Yxgkr1w2DKE

Karunia Allah terhadap Hambanya yang Bertakwa

Dalam pengajian yang diadakan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Kamis, (15/6/2017), dihadirkan Drs. H. Thoyib Hidayat, M. Si. sebagai pembicara. Selain pengajian, juga terdapat serangkaian acara lain, di antaranya pembagian door prize, buka puasa bersama, shalat Maghrib berjamaah, serta pembagian bingkisan lebaran.

Acara bertema “Bersyukur Bersama Dhuafa” ini merupakan acara rutin UAD setiap tahun. Pada tahun ini, terdapat peningkatan jumlah peserta yang sebelumnya hanya 400, menjadi 500 kaum dhuafa. Mereka berasal dari berbagai wilayah di DIY.

Dalam pengajian, dibahas tentang ketakwaan seorang hamba. Telah dijelaskan bahwa, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka akan diberi 3 karunia, Allah akan memberikan solusi terhadap segala masalah, rezeki yang tak diduga-duga, serta Allah akan mencukupi segala kebutuhan hambanya”.

Selain itu, Thoyib juga menyampaikan tentang beberapa hal yang harus umat Islam lakukan. Beberapa hal tersebut tergabung dalam kata “DUIT”.

“D adalah doa dan dzikir. Jika manusia ingin mendapatkan kesejukan hati, maka harus melakukan 3 hal, yakni dzikir, syukur, dan ibadah. Jika 3 hal itu ditinggalkan, maka akan muncul sifat iri, dengki, amarah, dan hal buruk lainnya,” ujar Thoyib.

Selanjutnya adalah U. Huruf U ini mengandung arti usaha, ubed, dan ulet. Sedangkan huruf I merupakan iman dan ikhlas. Dan yang terakhir adalah T, yakni takwa kepada Allah Swt.

Itulah beberapa hal yang seharusnya dilakukan umat muslim. “Ikhtiar dalam melakukan kebaikan hukumnya wajib, siapa yang mengerjakan amal shalih dengan didasari iman dan ikhlas, maka ia akan kuat dan menerima status paling tinggi dalam Islam, yakni takwa. Sehingga Insya Allah ia akan selamat di dunia dan akhirat,” tutur Thoyib pada akhir ceramahnya. (AKN)

Bersyukur Bersama Dhuafa

“Bersyukur Bersama Dhuafa” merupakan tema yang dicetuskan dalam acara pengajian dan buka bersama yang diadakan Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Kegiatan tersebut diselenggarakan di kampus 5 UAD, Jalan Ki Ageng Pemanahan No. 19, Sorosutan, Yogyakarta pada Kamis, (15/6/2017).

Pengajian dan buka bersama kaum dhuafa merupakan acara rutin UAD setiap tahun. Pada tahun ini, kegiatan tersebut masuk dalam serangkaian acara Ramadan di Kampus (RDK) UAD 2017.

Berbeda dengan tahun sebelumnya yang melibatkan 400 peserta kaum dhuafa, pada tahun ini UAD berkesempatan menambah kuota peserta menjadi 500 keluarga berkategori lemah (dhuafa), yang berasal dari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal ini merupakan wujud pemberdayaan kaum lemah untuk sekadar membantu peningkatan kualitas hidup.

Kegiatan yang diadakan sejak pukul 16.00-19.00 WIB tersebut terdapat beberapa serangkaian acara. Di antaranya pengajian, buka bersama, shalat Maghrib berjamaah, serta pembagian bingkisan lebaran.

Karti, salah satu peserta yang berasal dari Jalan Wonosari KM 8 mengucapkan rasa syukurnya atas pemberian bantuan dari UAD.

“Saya sudah beberapa kali menerima undangan acara ini dari UAD. Acaranya sangat bagus, kami yang mendapatkan undangan mendoakan semoga UAD semakin maju, semakin jaya, semakin banyak mahasiswanya, pokoknya semakin meningkat tahun ke depannya.”

Ia menambahkan, acara yang diadakan dari awal sampai akhir sangat bagus, serta sambutan yang diberikan pihak kampus kepada peserta sangat baik.

“Saya mendapatkan banyak ilmu dan wawasan dari acara ini. Saya berharap acara ini terus diadakan setiap tahunnya agar dapat membantu masyarakat yang kesusahan,” tutup Karti. (AKN)

Ramadan di Thailand: Alumni UAD Merindukan Tempe

 

Mengikuti Progam Mengajar di Thailand, alumnus Universitas Ahmad Dahlan (UAD) mencicipi suasana Ramadan di Thailand. Ahdi Sakha Hamidan, S.S., salah satu peserta yang mengikuti progam tersebut mengungkapkan bahwa Ramadan di Thailand tidak seramai di Indonesia.

“Suasana Ramadan di sini tidak seramai di Indonesia. Meskipun di tempat saya, Thailand Selatan, banyak dijumpai muslim dan ada juga pasar Ramadan seperti halnya di Indonesia, tetapi  jajanan dan  takjilnya berbeda.  Tidak ada gorengan tempe atau bakwan, es buah pun tak ada,” terang alumnus Program Studi Sastra Inggris UAD saat diwawancarai via handphone, Rabu (21/6/2017).

Untuk urusan ibadah shalat tarawih, ia tidak terlalu khawatir, sebab sekolah tempatnya mengajar memiliki masjid besar dan pondok pesantren.

“Jadi, setiap tarawih berjamaah bareng santri di sini. Dan tarawih di sini hampir semua masjid mengadakan 23 rakaat. Bahkan ada beberapa masjid yang menghabiskan 1 Juz dalam semalam,” lanjutnya.

Program Alumni Mengajar di Thailand ini diadakan oleh Kantor Urusan Internasional (KUI) UAD yang sudah bekerja sama dengan 17 sekolah yang ada di Thailand Selatan. Pada April 2017 lalu, 26 Aaumni dari Prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) dan Sastra Ingris telah di berangkatkan ke Thailand untuk mengikuti progam tersebut. (stt)

Ilham Rabbani : Menulis Adalah Cara Saya Berkomunikasi

Ilham Rabbani meraih peringkat kedua lomba Penulisan Puisi Remaja DIY yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (PBSI UAD) tersebut membawa pulang piala runer up atas puisinya yang berjudul Riwayat Istri Taat. Ilham mengemukakakn bahwa puisi tersebut adalah gabungan dari 4 puisi yang ia tulis sebelumnya, keempat puisi tersebut memiliki tema yang sama yaitu wanita Sasak dan hal-hal disekitarnya. Puisi karya pemuda kelahiran 1996 tersebut berhasil menyingkirkan delapan nominasi puisi lain karya mahasiswa dari berbagai universitas ternama di Yogyakarta.

“Puisi ini berlatar dari banyaknya perceraian di tanah kelahiran saya, orang-orang khususnya wanita tidak lagi mempertimbangkan kemapanan dan kesiapan untuk mempersiapkan rumah tangga. Dari puisi tersebut saya berharap pembaca akan merenungkan hal tersebut karena walau bagaimana pun perceraian itu tidak menyenangkan,” jelasnya.

Sebetulnya, di PBSI UAD nama Ilham Rabbani bukan lagi nama yang asing. Walaupun lomba penulisan puisi remaja tersebut adalah lomba pertama yang ia menangkan di luar kampus, Ilham sudah sering membawa pulang piala dari kompetisi dalam kampus. Sebut saja Lomba Resensi KRESKIT (2016), Lomba Cerpen Amazing Orange (2016), dan Lomba Esai Amazing Orange (2016). Selain dalam perlombaan, namanya juga muncul dalam beberapa kumpulan puisi. Beberapa antologi puisi tersebut anatara lain Antologi Puisi Rumah Penyair 4 (2017), Antologi Puisi Kado Terindah (2017), Antologi Puisi Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017), dan Antologi Kota Ingatan dan Jalan Pulang (2017).

Selain aktif mengikuti berbagai perlombaan, Ilham juga aktif mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (HMPS PBSI), kelompok belajar sastra Jejak Imaji dan saat ini menjabat sebagai ketua panitia Forum Apresiasi Sastra (FAS) LSBO PP Muhammadiyah.

Salah satu puisinya juga termuat dalam Antologi Requiem Tiada Henti;Kumpulan Sajak Penyair ASEAN-1. Ia mengaku hal tersebut dapat terjadi akibat dorongan dari kawan-kawan Jejak Imaji.

“Sebenarnya saya tidak berharap juara karena saya tahu saingannya luar biasa, tetapi karena saya tahu temanya terkait dengan studi saya saat ini yaitu pendidikan indonesia jadi saya ingin berpartisipasi menyuarakan keresahan saya, dari situ timbulah motivasi saya untuk mengikuti ajang tersebut sebagai sumbangsih saya terhadap pendidikan indonesia, semoga bisa menjadi salah satu pendorong perbaikan pendidikan di Indonesia,” tukas Ilham.

Pemuda asal Lombok tersebut memiliki minat dalam dunia kepenulisan sejak duduk di bangku SMA. Saat mengambil konsentrasi studi jurusan bahasa ia bertemu dengan puisi karya Amir Hamzah yang berjudul Padamu Jua dan puisi karya MH Ainun Najib yang berjudul Akan Kemanakah Angin. Berangkat dari ketertarikan tersebut ia mulai gemar membaca, dan akhirnya aktif menulis pada awal 2016.

Ilham mengaku pendorong paling kuat selama menulis adalah Abdul Wahid BS dan Sule Subaweh. Kedua orang tersebut selalu mengingatkannya untuk tetap istiqomah dalam membaca dan menulis. Karena sejatinya menulis dan membaca tidak akan pernah sia-sia. Maka dengan dorongan tersebut, ia terus berkarya. Saat ini, Ilham sedang menanti pengumuman Lomba Penulisan Esai Remaja DIY yang akan diumumkan pada akhir Juni mendatang. Ia berpesan dengan senyum, memohon doa dari seluruh pembaca agar mendapatkan hasil yang terbaik. (dev)

KPS: Ruang Belajar Calon Penegak Hukum yang Bersih

“Semoga ke depannya Komunitas Peradilan Semu (KPS) bisa memberikan kontribusi bagi UAD dan belajar menjadi penegak hukum yang bersih,” harap Nur Kholik, S.H., selaku penanggung jawab Laboratorium Fakultas Hukum (FH) sekaligus pembina KPS Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, saat ditemui di kediamannya, Nitikan, Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta, Selasa (20/6/2017).

KPS didirikan oleh Rahmat Muhajir Nugroho, S.H., M.H., yang saat ini menjabat sebagai Dekan FH, pada tahun 2008 dengan ketua pertama Fanni Dian Sanjaya, S.H.,  yang kini menjabat sebagai direktur Organisasi Bantuan Hukum (OBH), Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) UAD.

Pria  kelahiran Kudus 1985 ini juga menjelaskan bahwa terbentuknya KPS adalah sebagai wadah dan pemicu mahasiswa  FH  untuk belajar mengenai lembaga peradilan yang mendalam serta mengikuti even nasional. Sepanjang perjalanan kariernya, prestasi berskala nasional kerap diraih oleh KPS, di antaranya Berkas Terbaik ke-2 di Universitas Negeri Semarang (UNNES)  tahun 2014, dan Berkas Terbaik ke-3 di Universitas Udayana (UNUD) Bali tahun 2016.

Selain mengikuti even nasional, kegiatan lain KPS adalah menyelenggarakan diskusi-diskusi mengenai isu-isu nasional yang berkembang. Kholik, begitu sering disapa, juga menambahkan bahwa di tahun 2018 KPS FH UAD akan menjadi tuan rumah Lomba Peradilan Semu Nasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang merebutkan piala Ahmad Dahlan.

“Syarat khusus sebagai tuan rumah harus pernah ikut even nasional dan tergabung dengan Himpunan Komunitas Peradilan Semu Indonesia (HKPSI),” terangnya.

Salah satu syarat lainnya untuk mengikuti lomba tersebut adalah memiliki KPS. Menurutnya, belum semua universitas Muhammadiyah memilikinya.

“Kemarin ada studi banding dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Di sana belum ada KPS-nya karena masih prodi baru. Nah, mereka adopsi dari sini untuk buat di sana. Tahun depan kalau sudah ada, akan kami kirimi undangan,” lanjutnya. (stt)