Bahasa Indonesia Bertujuan Kompetensi

LENTERA Harian SUARA MERDEKA

 

I

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD Yogyakarta;

Tutor Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia 2013

 

Di lingkup kampus, Bahasa Indonesia menjadi mata kuliah yang sifatnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa program studi. Umumnya, dosen pengampu mata kuliah tersebut ialah para dosen di bawah naungan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, ataupun dosen kontrak/dosen luar biasa. Dari pengamatan saya, praktik perkuliahan Bahasa Indonesia di beberapa program studi agaknya masih jauh dari hasil yang optimal. Apa buktinya?

Ada dua hal yang dapat saya kemukakan di sini. Pertama, dari segi materi/bahan ajar. Materi-materi ajar yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia, di antaranya kata baku dan tidak baku, kalimat efektif, paragraf, hingga Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Padahal, materi-materi tersebut sudah didapatkan di bangku SMA/sederajat. Artinya, materi mata kuliah Bahasa Indonesia bersifat pengulangan, “jadul”, dan tidak ada hal baru.

Menyiasati hal di atas, saya mengusulkan agar para dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia melakukan analisis kebutuhan materi ajar terhadap mahasiswa. Hal itu dapat dilakukan di awal pertemuan kuliah dengan cara membagikan angket. Setelah angket terkumpul, dosen pun dapat “membaca” kebutuhan mahasiswa. Misalnya, mahasiswa butuh keterampilan menulis makalah, maka fokus perkuliahan Bahasa Indonesia ke arah tersebut.

Kedua, dari segi model pembelajaran. Umumnya dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia lebih menyukai model ceramah dan diskusi mahasiswa di kelas. Hal itu wajar, mengingat daya kreativitas para dosen tersebut terbilang minim dan kurang melirik sumber-sumber belajar yang tersedia, salah satunya ialah surat kabar dan karya sastra. Padahal, dengan memanfaatkan surat kabar, misalnya, mahasiswa dapat mengenali ragam dan karakteristik bahasa Indonesia.

Di samping itu, para dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia juga kurang memanfaatkan sarana kampus berupa perpustakaan dan taman kampus (jika ada). Sebagai contoh, dosen mengajak mahasiswa ke perpustakaan kampus untuk belajar menulis daftar pustaka dari beragam referensi, seperti buku, jurnal, surat kabar, majalah, skripsi, modul, hingga internet. Dengan cara begitu, saya yakin dosen dan mahasiswa tidak akan jenuh di dalam kelas saja.

Pungkasnya, apabila dosen pengampu mata kuliah Bahasa Indonesia telah melakukan analisis kebutuhan materi ajar, serta merancang perkuliahan tersebut dengan model active learning, saya yakin kompetensi berbahasa Indonesia tulis mahasiswa akan meningkat. Selain itu, seperti usulan Alwasilah (2005) agar tampak berwibawa, nama mata kuliah Bahasa Indonesia perlu diganti dengan nama Komposisi Universitas atau Kompetensi Berbahasa Indonesia Tulis.[]