Bangkitkan Kurikulum Kepancasilaan


Dani Fadillah*


Sangat aneh dan miris, bukan? Bagaimana mungkin sosok seorang pelajar yang setiap hari senantiasa membawa pena dan buku bisa sampai hati menyerang bahkan sampai membunuh temannya, sesama pelajar pula. Dalam perspektif psikologi sosial, tawuran masuk dalam kategori agresivitas kolektif, dimana pelajar (bahkan terkadang mahasiswa) memasukan tawuran sebagai sebuah kegiatan normatif dan dengan penuh kesadaran percaya bahwa kebenaran ada pada kelompoknya. Dan sikap ini secara psikologi akan membangkitkan gejolak “tempur”, tumbuhnya tidak takut mati kepada yang bersangkutan untuk turut andil memperlihatkan solidaritas pada teman-temannya dengan ikut tawuran.

Akan tetapi harus diingat baik-baik, budaya bar-bar seperti itu bukan budaya kita, apa lagi jika dilakukan oleh manusia yang berstatus pelajar dan mahasiswa. Tindak kekerasan di dunia pelajar bukanlah sesuatu yang bisa sebagai kenakalan biasa, karena layaknya efek domino, tindakan tersebut dapat berimbas pada krisis social dan moralitas, harus ada langkah aktif menghapus jejak kekerasan pada diri pelajar.

Diantara tanda kehancuran suatu bangsa adalah meningkatnya kekerasan pada remaja dan aktifnya penggunaan kosa kata yang memburuk diantara mereka (cemoohan dan makian), serta meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas. Ditambah dengan menjadi abu-abunya sikap baik dan buruk,makin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, serta degradasi tanggung jawab individu dan membudayanya ketidakjujuran dan rasa saling curiga (Thomas Lickona [Sutawi, 2010]). Dan jujur saja, bukankah tingkah laku degradasi moral menuju kehancuran bangsa itu tengah terjadi diantara para pelajar kita saat ini?

Lalu apa penyebab degradasi moral yang menjadi tanda kehancuran bangsa ini muncul? Sudah tentu penyebabnya adalah, tidak dihidupkannya ruh pendidikan Pancasila dalam kurikulum pendidikan para pelajar kita. Padahal sudah jelas termaktub dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun dalam praktiknya siswa hanya disuruh mengejar nilai dalam selembar kertas dan dimotivasi untuk menjadi kelas pekerja.

Spirit Pancasila akan redup tanpa sarana pendidikan dan pendidikan pun akan menjadi sesuatu yang semu tanpa spirit Pancasila. Oleh karena itu tuntutan pembentukan karakter dalam diri pelajar yang tertuang dalam UU Sisdiknas sebenarnya sudah tersedia jawabannya dalam Pancasila. Kurikulum pendidikan yang kental akan semangat kepancasilaan akan menanamkan nilai-nilai pendidikan yang dapat dipastikan akan melahirkan generasi penerus bangsa yang berjiwa Pancasila pula.

Janganlah Pancasila dipisahkan dari mata pelajaran (dan mata kuliah) yang lain. Kemudian disampaikan pada para peserta didik dengan sangat membosankan pula. Pancasila bukan sekedar untuk dihafalkan dan memilih jawaban dalam soal-soal ujian, namun dirumuskan menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan dan diimplementasikan dalam kehidupansehari-hari. Berikan ruang dan waktu bagi para siswa untuk merumuskan nilai Pancasila dalam tiap mata pelajaran yang mereka pelajari sebaga proses pengembangan dan penumbuhan nilai budaya serta karakter dalam diri mereka.

Jika Pancasila dipisahkan dari kurikulum mata pelajaran lain, dan dalam praktik pengajarannyapun hanya berupa hafalan dan membosankan, maka itu hanaya akan sia-sia. Hilang ruh yang sebenarnyadari Pancasila, Pancasila hanya menjadi jasad tanpa emosi. Coba saja perhatikan dalam upacara bendera, para siswa membaca Pancasila dengan asal-asalan, dan ketika menyanyikan lagu-lagu cinta picisan mereka dapat menyanyikannya dengan emosi yang terdalam.

Kemudian yang tak kalah penting, jangan hanya fokus pada kurikulum dalam kegiatan belajar mengajar formal dalam kelas saja. Kurikulum kepancasilaan juga harus dimasukan dalam segala aktifitas pembelajaran luar kelas seperti organisai dan olahraga. Dengan berkembangnya kurikulum kepancasilaan di dunia pendidikan kita, maka tidak hanya akan menhapus budaya kekerasan dalam diri pelajar, namun akan mengembalikan kebanggaan kita sebagai anak-anak ibu pertiwi.

*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan,



Dani Fadillah*


Sangat aneh dan miris, bukan? Bagaimana mungkin sosok seorang pelajar yang setiap hari senantiasa membawa pena dan buku bisa sampai hati menyerang bahkan sampai membunuh temannya, sesama pelajar pula. Dalam perspektif psikologi sosial, tawuran masuk dalam kategori agresivitas kolektif, dimana pelajar (bahkan terkadang mahasiswa) memasukan tawuran sebagai sebuah kegiatan normatif dan dengan penuh kesadaran percaya bahwa kebenaran ada pada kelompoknya. Dan sikap ini secara psikologi akan membangkitkan gejolak “tempur”, tumbuhnya tidak takut mati kepada yang bersangkutan untuk turut andil memperlihatkan solidaritas pada teman-temannya dengan ikut tawuran.

Akan tetapi harus diingat baik-baik, budaya bar-bar seperti itu bukan budaya kita, apa lagi jika dilakukan oleh manusia yang berstatus pelajar dan mahasiswa. Tindak kekerasan di dunia pelajar bukanlah sesuatu yang bisa sebagai kenakalan biasa, karena layaknya efek domino, tindakan tersebut dapat berimbas pada krisis social dan moralitas, harus ada langkah aktif menghapus jejak kekerasan pada diri pelajar.

Diantara tanda kehancuran suatu bangsa adalah meningkatnya kekerasan pada remaja dan aktifnya penggunaan kosa kata yang memburuk diantara mereka (cemoohan dan makian), serta meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas. Ditambah dengan menjadi abu-abunya sikap baik dan buruk,makin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, serta degradasi tanggung jawab individu dan membudayanya ketidakjujuran dan rasa saling curiga (Thomas Lickona [Sutawi, 2010]). Dan jujur saja, bukankah tingkah laku degradasi moral menuju kehancuran bangsa itu tengah terjadi diantara para pelajar kita saat ini?

Lalu apa penyebab degradasi moral yang menjadi tanda kehancuran bangsa ini muncul? Sudah tentu penyebabnya adalah, tidak dihidupkannya ruh pendidikan Pancasila dalam kurikulum pendidikan para pelajar kita. Padahal sudah jelas termaktub dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun dalam praktiknya siswa hanya disuruh mengejar nilai dalam selembar kertas dan dimotivasi untuk menjadi kelas pekerja.

Spirit Pancasila akan redup tanpa sarana pendidikan dan pendidikan pun akan menjadi sesuatu yang semu tanpa spirit Pancasila. Oleh karena itu tuntutan pembentukan karakter dalam diri pelajar yang tertuang dalam UU Sisdiknas sebenarnya sudah tersedia jawabannya dalam Pancasila. Kurikulum pendidikan yang kental akan semangat kepancasilaan akan menanamkan nilai-nilai pendidikan yang dapat dipastikan akan melahirkan generasi penerus bangsa yang berjiwa Pancasila pula.

Janganlah Pancasila dipisahkan dari mata pelajaran (dan mata kuliah) yang lain. Kemudian disampaikan pada para peserta didik dengan sangat membosankan pula. Pancasila bukan sekedar untuk dihafalkan dan memilih jawaban dalam soal-soal ujian, namun dirumuskan menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan dan diimplementasikan dalam kehidupansehari-hari. Berikan ruang dan waktu bagi para siswa untuk merumuskan nilai Pancasila dalam tiap mata pelajaran yang mereka pelajari sebaga proses pengembangan dan penumbuhan nilai budaya serta karakter dalam diri mereka.

Jika Pancasila dipisahkan dari kurikulum mata pelajaran lain, dan dalam praktik pengajarannyapun hanya berupa hafalan dan membosankan, maka itu hanaya akan sia-sia. Hilang ruh yang sebenarnyadari Pancasila, Pancasila hanya menjadi jasad tanpa emosi. Coba saja perhatikan dalam upacara bendera, para siswa membaca Pancasila dengan asal-asalan, dan ketika menyanyikan lagu-lagu cinta picisan mereka dapat menyanyikannya dengan emosi yang terdalam.

Kemudian yang tak kalah penting, jangan hanya fokus pada kurikulum dalam kegiatan belajar mengajar formal dalam kelas saja. Kurikulum kepancasilaan juga harus dimasukan dalam segala aktifitas pembelajaran luar kelas seperti organisai dan olahraga. Dengan berkembangnya kurikulum kepancasilaan di dunia pendidikan kita, maka tidak hanya akan menhapus budaya kekerasan dalam diri pelajar, namun akan mengembalikan kebanggaan kita sebagai anak-anak ibu pertiwi.

*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan,