Bedah Buku: Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama

bedah buku pluralisme menyelamatkan agama-agamaPluralisme kini sudah menjadi santapan empuk di dalam pembicaraan masyarakat. Pandangan yang berbeda-beda tentang pluralisme yang terjadi patut dibahas. Sebuah buku yang cukup berani dengan judul “Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama” karya Muhammad Sofan sengaja dijadikan sebagai materi dalam acara bedah buku yang dilaksanakan di kampus II UAD, Sabtu (4/6/2011), pukul 09.00-11.00. Acara ini diselenggarakan oleh POROS UAD.

Hadir dua pemateri dalam acara tersebut yaitu Ahmad Arif Rifan, M.Si., yang merupakan salah satu dosen di UAD dan Ali Usman, dosen luar biasa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus kolumnis Koran Nasional, acara tersebut dimoderatori oleh Muhammad Fatoni, mahasiswa Fakultas Sastra UAD.

Pluralisme jika dipelajari tanpa pemahaman yang benar tentu akan menjadi permasalahan tersendiri. Hal ini berlaku pada hal-hal yang lain. Ahmad Arif Rifan menyampaikan kutipan pernyataan resmi dari Muhammadiyah, “Muhammadiyah menerima pluralitas agama tetapi menolak pluralisme yang mengarah pada sinkritisme, sintesisme, relativisme”

Menurut beliau, keanekaragaman yang ada itu sah-sah saja namun keyakinan dalam diri manusia adalah mutlak sesuai ajaran yang diyakininya. Pengakuan adanya agama lain dan adanya rasa saling menghormati dan menghargai merupakan bentuk toleransi antarmanusia. Tetapi toleransi berbeda dengan pluralisme.

“Bagi saya manusia hidup di dunia ini selain memiliki teologi juga harus memiliki etika sosial. Etika sosial ini diwujudkan dalam bentuk pluralisme. Dan pluralisme berbeda dengan sinkritisme (Anti Agama). Mengakui pluralisme berarti seiring dengan mengakui Bhinneka Tungggal Ika dan berarti seiring pula dengan mengakui Pancasila.” papar Ali Usman. Kedua pendapat itu memang memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi adanya pluralisme. Hanya saja, jika ditarik garis tengah, keduanya sama-sama mengangkat adanya toleransai antarumat beragama.

Terlepas dari makna sesungguhnya pluralisme itu seperti apa, sudah selayaknya sebagai masyarakat kita memiliki sifat kritis terhadap fenomena yang merebak. Bahkan kedua pemateri pun berpesan agar para pendengar yang hadir dalam acara tersebut tidak serta merta menerima pendapat mereka berdua tetapi alangkah lebih baik jika pendengar juga mengkroscek hal tersebut dengan banyak membaca sehingga ilmu yang dimiliki dapat menyelamatkan mereka dari kesalahan menafsir. (FM)

bedah buku pluralisme menyelamatkan agama-agamaPluralisme kini sudah menjadi santapan empuk di dalam pembicaraan masyarakat. Pandangan yang berbeda-beda tentang pluralisme yang terjadi patut dibahas. Sebuah buku yang cukup berani dengan judul “Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama” karya Muhammad Sofan sengaja dijadikan sebagai materi dalam acara bedah buku yang dilaksanakan di kampus II UAD, Sabtu (4/6/2011), pukul 09.00-11.00. Acara ini diselenggarakan oleh POROS UAD.

Hadir dua pemateri dalam acara tersebut yaitu Ahmad Arif Rifan, M.Si., yang merupakan salah satu dosen di UAD dan Ali Usman, dosen luar biasa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus kolumnis Koran Nasional, acara tersebut dimoderatori oleh Muhammad Fatoni, mahasiswa Fakultas Sastra UAD.

Pluralisme jika dipelajari tanpa pemahaman yang benar tentu akan menjadi permasalahan tersendiri. Hal ini berlaku pada hal-hal yang lain. Ahmad Arif Rifan menyampaikan kutipan pernyataan resmi dari Muhammadiyah, “Muhammadiyah menerima pluralitas agama tetapi menolak pluralisme yang mengarah pada sinkritisme, sintesisme, relativisme”

Menurut beliau, keanekaragaman yang ada itu sah-sah saja namun keyakinan dalam diri manusia adalah mutlak sesuai ajaran yang diyakininya. Pengakuan adanya agama lain dan adanya rasa saling menghormati dan menghargai merupakan bentuk toleransi antarmanusia. Tetapi toleransi berbeda dengan pluralisme.

“Bagi saya manusia hidup di dunia ini selain memiliki teologi juga harus memiliki etika sosial. Etika sosial ini diwujudkan dalam bentuk pluralisme. Dan pluralisme berbeda dengan sinkritisme (Anti Agama). Mengakui pluralisme berarti seiring dengan mengakui Bhinneka Tungggal Ika dan berarti seiring pula dengan mengakui Pancasila.” papar Ali Usman. Kedua pendapat itu memang memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi adanya pluralisme. Hanya saja, jika ditarik garis tengah, keduanya sama-sama mengangkat adanya toleransai antarumat beragama.

Terlepas dari makna sesungguhnya pluralisme itu seperti apa, sudah selayaknya sebagai masyarakat kita memiliki sifat kritis terhadap fenomena yang merebak. Bahkan kedua pemateri pun berpesan agar para pendengar yang hadir dalam acara tersebut tidak serta merta menerima pendapat mereka berdua tetapi alangkah lebih baik jika pendengar juga mengkroscek hal tersebut dengan banyak membaca sehingga ilmu yang dimiliki dapat menyelamatkan mereka dari kesalahan menafsir. (FM)