img_13902.jpg

Literasi Harus Dikenalkan sejak Dini

Sejak masih kanak-kanak, Sudaryanto, S.Pd., M.Pd., memiliki kebiasaan yang berbeda dengan dua saudara laki-lakinya. Dia memiliki kesenangan membaca buku dan majalah anak-anak. Menurut penuturannya, hobi ini diturunkan dari ayahnya yang juga suka membaca. Selain membaca, laki-laki yang akrab dipanggil Yanto ini juga memiliki bakat menggambar.

“Saya ingat betul, dulu waktu masih kecil, Ayah sering membelikan buku bacaan, terutama majalah Bobo dan Tomtom,” terangnya ketika ditemui di ruang Dekanat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan (FKIP-UAD) Yogyakarta.

Selain senang membaca, Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UAD ini juga giat dalam menulis. Sampai 2017, dia sudah menghasilkan 12 buku. Buku pertamanya yang terbit berjudul Ayo Meresensi Buku (2008).

Pada 2006, saat masih menempuh pendidikan S1 di salah satu universitas di Yogyakarta dan aktif dalam pers mahasiswa, tulisan pertama Yanto terdokumentasikan dalam sebuah buku antologi biografi seorang tokoh. Sejak saat itulah dia mulai meningkatkan kemampuan menulis dan menerbitkan buku.

Bagi laki-laki kelahiran Jakarta ini, motivasi dia menulis adalah agar tulisannya bisa dibaca oleh orang lain dan dapat memberikan dampak positif bagi orang yang membacanya.

“Saya suka menulis, bagi saya yang terpenting adalah apresiasi terhadap tulisan. Saya tidak begitu mementingkan royalti maupun insentif.”

Buku-buku Sudaryanto yang sudah terbit umumnya buku bidang linguistik pendidikan dan penulisan kreatif. Coraknya juga beragam, ada buku ajar maupun kumpulan tulisan, baik artikel maupun makalah.

Menurut penjelasannya, daripada tulisan dan makalah hasil penelitiannya tergeletak begitu saja serta memenuhi rak-rak buku, dia berinisiatif untuk menyusun ulang kemudian menerbitkan menjadi sebuah buku.

“Dalam bentuk buku, akan lebih banyak orang yang membaca tulisan-tulisan saya. Saya ingin karya saya diapresiasi, terlepas dari kekurangan maupun kelebihannya,” ungkap anak sulung dari tiga bersaudara ini.

Dalam proses menulis buku, Yanto memiliki sistem nyicil. Dia akan mengerjakan bab demi bab dan mulai mengerjakan dari yang paling mudah dulu. Tidak setiap hari dia menulis, hanya ketika ada waktu luang saja. Setiap kali menulis minimal ada lima lembar yang dihasilkan. Terget setiap tahun minimal menerbitkan 2 buku.

Sebagai salah satu dosen muda di UAD, Yanto pernah memiliki pengalaman mengajar di China, di Guangxi University. Ia mengajar sebagai dosen tamu di Fakultas Kajian Bahasa dan Budaya Asia Tenggara, Program Studi Bahasa Indonesia.

“Menyenangkan bisa mengajar di China, mahasiswa di sana memiliki ketekunan yang luar biasa dalam hal belajar. Saya kira mahasiswa UAD perlu juga memiliki ketekunan yang demikian,” ujarnya sambil berkelakar.

Laki-laki yang pernah memperoleh penghargaan sebagai dosen berprestasi tahun 2013 ini menerangkan bahwa mahasiswa UAD harus lebih giat lagi untuk meningkatkan sinergi dalam membaca dan menulis (bidang literasi).

“Kita tidak bisa menyalahkan siapa pun terkait rendahnya tingkat literasi mahasiswa, karena menurut saya, terkait dengan literasi seharusnya sudah dikenalkan kepada anak sejak dini. Artinya pengenalan literasi pertama diperoleh di dalam keluarga.”

Salah satu upaya yang Yanto lakukan untuk menggairahkan budaya literasi di UAD adalah dengan membimbing mahasiswa yang ingin belajar menulis, entah itu karya sastra, artikel, makalah, maupun karya tulis ilmiah.

“Saya selalu membuka diri untuk mahasiswa yang mau belajar, misalnya untuk menulis di media masa. Proses semacam ini, jika dilakukan secara berkesinambungan akan menumbuhkan budaya literasi. Namun, semua dikembalikan kepada mahasiswa, apakah mereka mau membuka diri dan pikiran untuk mulai menekuni literasi,” pungkasnya saat ditemui Rabu (15/3/2017). (ard)