pangestu_helmi.jpg

Pangestu Helmi: Potret dan Ekspresi Diri

Foto hasil jepretan tangan terampil mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling Universitas Ahmad Dahlan (Prodi BK UAD) meraih peringkat pertama lomba fotografi Ramadan. Lomba yang diselenggarakan oleh Forum Mahasiswa Muslim Indonesia (FUMI) Universitas Negeri Semarang tersebut bertema “Pelita Ramadan dalam Bingkai Pendidikan”.

Adalah Pangestu Helmi Ambaryadi Putera, sosok di belakang kamera yang berhasil mengharumkan nama Prodi BK dan UAD. Pangestu begitu ia biasa dipanggil, mengaku kesulitan terbesar yang ia alami adalah waktu. Proses produksi dari pengumpulan ide, pembuatan konsep, pencarian talent dan photo session hanya dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam. Meskipun  begitu, ia mengaku puas dengan hasil yang dicapai.

“Kamera yang saya pakai itu kamera tua, peninggalan Bapak saya, Canon 50D. Lensanya juga lensa tua, Cosina 35/70 buatan tahun 1997. Jadi, lensanya itu hampir seumuran sama saya,” jelasnya saat ditanya tentang properti dan proses photo session.

Masih sambil tertawa, Pangestu kemudian melanjutkan, “Saya pakai dua speedlight. Satu ditaruh di bawah gaun tokoh malaikat, tujuannya untuk memberikan efek overlight pada tokoh malaikatnya, jadi kelihatan kalau dia itu makhluk astral. Satu speedlight lagi di belakang tokoh siswa SMA. Lalu, agar ada efek sparkly pada malaikatnya, saya pakai bedak yang ditaburkan ke udara terus ditiup, jadi pas kena speedlight ada sparkle-sparkle di sekitar malaikatnya.”

Tokoh-tokoh dalam foto “Di Hati Para Malaikat” tersebut diperankan oleh kawan-kawan sekelas Pangestu yaitu Aulia Cita sebagai malaikat, Endriya Nurfitasarai sebagai siswa SMA, dan Burhanuddin sebagai guru ngaji. Uniknya, tokoh malaikat dalam foto ini terinspirasi dari salah satu karakter game DOTA, Omni Knight. Karakter hero yang berjenis support tersebut bertugas melindungi map dan tim.

Pemuda kelahiran 11 Februari 1997 ini ternyata menyukai fotografi sejak sekolah dasar (SD). Bermula dari kedua orang tuanya yang bekerja di bidang IT, khususnya ayahnya yang sering memotret untuk kebutuhan multimedia pekerjaan. Berbekal kamera analog merek Pentax, Pangestu kecil sering mengikuti ayahnya pergi memotret. Kamera kedua yang ia miliki saat duduk di sekolah menengah pertama (SMP) adalah kamera analog Nikon F50.

“Sampai kira-kira kelas 2 SMP saya masih pakai analog. Pernah coba beli Canon 1000D yang waktu itu booming banget karena DSLR murah. Tapi setelah dicoba, menurut saya hasil fotonya masih jauh lebih bagus analog. Jadi, saya balik lagi pakai analog. Saya dulu juga sering ikut masuk kamar gelap sama Bapak buat liat proses cetak foto analog, tapi saya nggak mau ikut nyuci, takut tangan kasar,” jelasnya sambil tertawa.

Di SMP, Pangestu tergabung dalam ekstrakurikuler film dan fotografi. Dari ekstrakurikuler tersebut, ia kemudian dapat belajar dari fotografer-fotografer mumpuni yang tergabung dalam Asosiasi Fotografer Indramayu (AFI). Di Jogja, Pangestu mengaku belum mengikuti komunitas fotografi karena belum ada kesempatan. Namun, ia kerap bergaul dengan fotografer-fotografer Jogja yang ia kenal lewat media sosial asosiasi fotografer. Hingga saat ini, Pangestu masih berpegang teguh pada pesan ayahnya.

“Bapak saya itu nggak suka ikut komunitas, tapi saya malah disuruh ikut komunitas. Katanya, setiap orang itu punya warna sendiri, begitu juga dengan komunitas. Dari berbagai macam warna tersebut akan muncul warna yang baru, kamu boleh ikutin warna itu tapi kalau kamu merasa kamu punya warna sendiri dan warna kamu lebih bagus, kamu boleh belajar dari mereka tapi jangan ikut-ikutan. Karena setiap fotografer itu punya ciri khas.”

Pangestu mengaku, fotografi hanya sekadar hobi, tapi yang ia tekuni dengan sungguh-sungguh. Hingga saat ini, ia masih fokus pada jenis foto stilife. Dengan stilife, ia bisa bebas mengatur objek agar dapat mengandung pesan yang ingin ia sampaikan.

“Motret itu, menurut saya adalah ekspresi diri. Fotografi itu pokoknya tentang momen, background, foreground, story, object, subject. Gimana caranya memaksimalkan enam bidang tersebut menjadi sesuatu yang bernilai.” (dev).