screenshot_2017-06-24-16-12-55_1498296591331.jpg

Syair Syiar Mustofa W. Hasyim

 

`

Film dokumenter-drama peraih juara 3 Pekan Seni Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PSM PTM) 2017 adalah buah karya lima mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Adalah Ridho Kamaludin, Ngudi Pratomo Bangun, Diani Noor, Catur Merianto, dan Mukti Bima Heryasa, lima mahasiswa berprestasi yang berhasil memperkenalkan tokoh penyair dan punggawa sastra di Muhammadiyah, Mustofa W. Hasyim.

Dalam film “Syiar Syair”, terdapat tiga pembagian waktu, yaitu waktu Mustofa kecil, Mustofa remaja, dan ketika Mustofa dewasa. Ketiga pembagian waktu tersebut dilakukan tentu bukan tanpa pertimbangan. Titik-titik penting dalam kehidupan Mustofa W. Hasyim dibungkus secara detail dalam film tersebut. Orang-orang sekitar yang berperan penting dalam kehidupannya pun tidak luput diceritakan. Guru sewaktu Mustofa kecil adalah salah satu orang berpengaruh dalam perkembangannya dalam kepenulisan sastra. Ayah Mustofa yang penyayang dan sering membacakan cerita Pangeran Diponegoro sebelum tidur dan istri Mustofa yang selalu mendukung seluruh usaha dan keinginannya.

“Pertimbangannya, kami ingin mengangkat tokoh Muhammadiyah yang penting, tapi belum banyak dikenal oleh masyarakat. Maka jatuhlah pilihan kepada Pak Mustofa W. Hasyim,” jelas Ridho selaku sutradara. “Pak Mus itu sebagai penyair, penulis, dan pendakwah adalah sosok yang sangat menginspirasi. Ia sangat sederhana, dan sangat menghargai waktu. Yang luar biasa, Pak Mus tidak bisa naik motor jadi ke mana-mana diantar istrinya, naik becak, atau jalan kaki. Tapi biar pun jalan kaki sekalipun, ia selalu on time,” lanjut Ridho.

Salah satu titik penting dalam film ini adalah saat diceritakan tentang salah satu karya Mustofa W. Hasyim yang berjudul Ranting Itu Penting. Buku tersebut terbit atas dasar kegelisahan tentang Muhammadiyah yang pada saat itu belum dapat menjangkau masyarakat kalangan bawah di desa-desa di Indonesia. Filosofinya adalah ketika sebuah pohon berbuah, buahnya akan tumbuh di ranting, bukan di akar.

Namun, tentu saja terealisasinya film tersebut bukan tanpa dukungan dari orang-orang sekitar. Ngudi Pratomo Bangun bertemu dan mewawancarai banyak orang dalam proses pengumpulan fakta untuk naskah film “Syair Syiar” ini.

“Karena jenisnya dokumenter, maka ceritanya harus mengandung fakta. Selain mengumpulkan literasi seperti puisi-puisi dan tulisan-tulisan Pak Mus, kami juga mewawancarai orang-orang di sekitar Pak Mus, seperti Pak Iman Budhi Santosa selaku kawan penyair, Pak Jabrohim selaku Ketua LSBO PP Muhammadiyah, Bang Iqbal H. Saputra selaku tetangga, dan Ibu Suratini Eko Purwati selaku istri Pak Mus,” tutur Bangun.

Pemuda kelahiran 30 Desember 1994 itu menuturkan bahwa proses pengerjaan naskah dilakukan selama satu minggu, mengingat waktu produksi yang sangat terbatas. Film dokumenter-drama “Syair Syiar” dapat diakses di akun Youtube Rido Kamaludin (Romantic Quantum). (dev)