BERMAIN API DENGAN KURIKULUM

Artikel ini di Muat Koran Merapi Pembaharuan 25 Februari 2013

Oleh: Sudaryanto, M.Pd,

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD Yogyakarta

Dalam sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden di Jakarta, Senin (18/2) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar kurikulum baru terus disosialisasikan kepada masyarakat, parlemen, media, serta pihak terkait lainnya. Selain itu, Presiden juga meminta penjelasan dari pihak Kemendikbud mengapa perlu dilakukan penataan dan pengembangan kurikulum. Pertanyaannya, apakah publik sudah menerima penjelasan yang lengkap dari Kemdikbud?

Sejauh ini, penulis menyatakan bahwa publik belum menerima penjelasan yang lengkap dari pihak Kemdikbud. Mendikbud sendiri hanya menjelaskan, kurikulum baru nanti akan bertujuan membangun kemampuan berpikir anak secara ilmiah. Bahkan, Mendikbud begitu yakin bahwa kurikulum baru akan berdampak baik, mengingat banyaknya laboratorium alami yang dapat dieksplorasi oleh anak-anak, baik di kelas maupun luar kelas.

Kemudian, Mendikbud menyoroti kekurangan kurikulum yang berlaku saat ini (baca: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Menurutnya, kurikulum saat ini justru membuat anak-anak malas mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya karena kemampuan berpikir mereka dibelenggu pada hal-hal yang sifatnya biner. Intinya, kata Mendikbud, kurikulum saat ini perlu diubah dengan kurikulum baru atau lebih dikenal dengan Kurikulum 2013.

Jika dicermati, penjelasan Mendikbud di atas sebetulnya bukan hal baru. Artinya, kemalasan anak-anak dalam mengembangkan imajinasi dan kreativitas sudah terjadi sejak lama. Dalam Kurikulum 1994 yang menggunakan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), misalnya, para siswa di semua jenjang pendidikan sudah diarahkan untuk aktif berpikir. Hanya saja, pembelajaran di sekolah tidak menjalankannya dengan baik.

Alih-alih mengarahkan siswa untuk aktif berpikir, justru sebaliknya siswa hanya diminta pasif dan menerima materi apapun dari gurunya di kelas. Bahkan, ada seloroh yang unik, yaitu plesetan ‘CBSA’ (Catat Buku Sampai Abis) atau (Cah Bodoh Soyo Akeh). Munculnya plesetan ini, diakui atau tidak, dapat merefleksikan kondisi bahwa para siswa di kelas saat itu hanya diminta mencatat semua materi yang diberikan oleh guru, tanpa diberikan kesempatan berpikir.

Fenomena kemalasan siswa berpikir, berimajinasi, dan berkreativitas nyatanya terjadi hingga sekarang. Tak sedikit guru yang mengeluhkan bahwa siswanya malas membaca. Ketika guru menyuruh ke perpustakaan, wajah para siswanya cemberut dan tidak bahagia. Ketika guru memberikan tugas membaca buku tertentu dan meringkasnya, para siswa langsung mencarinya di internet. Artinya, siswa kita memang bertipe malas berpikir dan berimajinasi.

Penulis yakin, pihak Kemdikbud yang diisi oleh orang-orang pintar nan hebat (baca: para guru besar PTN), tidak memiliki ambisi utama bahwa kurikulum baru nanti dapat menjadi ‘obat’ bagi ‘penyakit’ seperti kemalasan guru dan siswa berpikir, berimajinasi, dan berkreativitas. Di atas semua itu, kurikulum hanya menjadi sarana atau alat untuk menggerakkan para guru dan siswa agar aktif berpikir, berimajinasi, dan berkreativitas.

Berhasil-tidaknya pembelajaran di sekolah ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya ialah guru. Apabila guru mengajar dengan sepenuh hati dan berinovasi, kelak para siswanya dapat berpikir, berimajinasi, dan berkreativitas. Sayang, hal ini terabaikan dalam aktivitas pendidikan selama ini. Untuk itu, cukup sudah pemerintah berwacana tentang kurikulum baru yang bermanfaat ini-itu. Jika pemerintah bermain api dengan kurikulum, kita semua yang akan musnah.[]

Artikel ini di Muat Koran Merapi Pembaharuan 25 Februari 2013

Oleh: Sudaryanto, M.Pd,

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD Yogyakarta

Dalam sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden di Jakarta, Senin (18/2) lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar kurikulum baru terus disosialisasikan kepada masyarakat, parlemen, media, serta pihak terkait lainnya. Selain itu, Presiden juga meminta penjelasan dari pihak Kemendikbud mengapa perlu dilakukan penataan dan pengembangan kurikulum. Pertanyaannya, apakah publik sudah menerima penjelasan yang lengkap dari Kemdikbud?

Sejauh ini, penulis menyatakan bahwa publik belum menerima penjelasan yang lengkap dari pihak Kemdikbud. Mendikbud sendiri hanya menjelaskan, kurikulum baru nanti akan bertujuan membangun kemampuan berpikir anak secara ilmiah. Bahkan, Mendikbud begitu yakin bahwa kurikulum baru akan berdampak baik, mengingat banyaknya laboratorium alami yang dapat dieksplorasi oleh anak-anak, baik di kelas maupun luar kelas.

Kemudian, Mendikbud menyoroti kekurangan kurikulum yang berlaku saat ini (baca: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Menurutnya, kurikulum saat ini justru membuat anak-anak malas mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya karena kemampuan berpikir mereka dibelenggu pada hal-hal yang sifatnya biner. Intinya, kata Mendikbud, kurikulum saat ini perlu diubah dengan kurikulum baru atau lebih dikenal dengan Kurikulum 2013.

Jika dicermati, penjelasan Mendikbud di atas sebetulnya bukan hal baru. Artinya, kemalasan anak-anak dalam mengembangkan imajinasi dan kreativitas sudah terjadi sejak lama. Dalam Kurikulum 1994 yang menggunakan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), misalnya, para siswa di semua jenjang pendidikan sudah diarahkan untuk aktif berpikir. Hanya saja, pembelajaran di sekolah tidak menjalankannya dengan baik.

Alih-alih mengarahkan siswa untuk aktif berpikir, justru sebaliknya siswa hanya diminta pasif dan menerima materi apapun dari gurunya di kelas. Bahkan, ada seloroh yang unik, yaitu plesetan ‘CBSA’ (Catat Buku Sampai Abis) atau (Cah Bodoh Soyo Akeh). Munculnya plesetan ini, diakui atau tidak, dapat merefleksikan kondisi bahwa para siswa di kelas saat itu hanya diminta mencatat semua materi yang diberikan oleh guru, tanpa diberikan kesempatan berpikir.

Fenomena kemalasan siswa berpikir, berimajinasi, dan berkreativitas nyatanya terjadi hingga sekarang. Tak sedikit guru yang mengeluhkan bahwa siswanya malas membaca. Ketika guru menyuruh ke perpustakaan, wajah para siswanya cemberut dan tidak bahagia. Ketika guru memberikan tugas membaca buku tertentu dan meringkasnya, para siswa langsung mencarinya di internet. Artinya, siswa kita memang bertipe malas berpikir dan berimajinasi.

Penulis yakin, pihak Kemdikbud yang diisi oleh orang-orang pintar nan hebat (baca: para guru besar PTN), tidak memiliki ambisi utama bahwa kurikulum baru nanti dapat menjadi ‘obat’ bagi ‘penyakit’ seperti kemalasan guru dan siswa berpikir, berimajinasi, dan berkreativitas. Di atas semua itu, kurikulum hanya menjadi sarana atau alat untuk menggerakkan para guru dan siswa agar aktif berpikir, berimajinasi, dan berkreativitas.

Berhasil-tidaknya pembelajaran di sekolah ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya ialah guru. Apabila guru mengajar dengan sepenuh hati dan berinovasi, kelak para siswanya dapat berpikir, berimajinasi, dan berkreativitas. Sayang, hal ini terabaikan dalam aktivitas pendidikan selama ini. Untuk itu, cukup sudah pemerintah berwacana tentang kurikulum baru yang bermanfaat ini-itu. Jika pemerintah bermain api dengan kurikulum, kita semua yang akan musnah.[]