BIOGRAFI TOKOH, ALAT PENGAJARAN YANG BERKARAKTER BANGSA

Dedi Wijayanti, M. Hum

Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Pada saat ini perilaku sebagian generasi muda dan pelajar sangat memprihatinkan. Mereka secara terbuka melakukan pelanggaran terhadap ajaran agama, peraturan ketertiban masyarakat, berbangsa dan bernegara, misalnya terlibat tawuran, tindak kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan pelanggaran-pelanggaran norma sopan santun. Apabila hal ini berlarut-larut dan tidak segera mendapatkan penanganan yang serius dan terencana dari pihak yang terkait, dikhawatirkan proses dekandensi moral dan demoralisasi bangsa tinggal menunggu waktu. Untuk itulah, diperlukan adanya benteng yang kokoh yang dapat menahan derasnya arus informasi yang menyesatkan serta filter budaya yang memungkinkan terseleksinya pengaruh-pengaruh negatif sehingga pemuda pelajar bangsa Indonesia tidak terseret pada sisi negatif pada kehidupan modern sebagai akibat dari globalisasi.

Sekolah diyakini sebagai institusi pembelajaran dan basis penanaman nilai-nilai moral dan budaya kepada siswa. Dari sisi ini, sekolah diakui sebagai ajang sosialisasi yang tepat untuk memperkenalkan sastra kepada para siswa, sehingga kelak menjadi generasi-generasi bangsa yang cerdas, pintar, dan terampil, sekaligus bermoral. Dengan kata lain, jika sekolah mampu melaksanakan pembelajaran sastra secara optimal, maka negeri ini akan dihuni oleh penduduk yang bermoral tinggi, berperikemanusiaan, dan sarat sentuhan nilai keluhuran budi serta kearifan hidup.

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab III Pasal 3 yaitu: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membuat watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Secara yuridis bunyi undang-undang tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan kita harus memiliki karakter positif yang kuat, artinya praktik pendidikan tidak semata berorientasi pada aspek kognitif, melainkan secara terpadu menyangkut tiga dimensi taksonomi pendidikan, yakni kognitif (aspek intelektual, pengetahuan, pengertian, keterampilan berfikir), afektif (aspek perasaan dan emosi: minat, sikap apresiasi, cara penyesuaian diri) dan psikomotor (aspek keterampilan motorik), serta berbasis pada karakter positif dengan berbagai indikator.

Bila pendidikan di Indonesia hanya mengarah kepada ‘intelektualisme’ maka watak bangsa Indonesia tidak akan terbangun, dan akhirnya menjadi bangsa yang individualistis. Kebersamaan untuk mengisi kemerdekaan tidak akan dapat diwujudkan. Pendidikan semacam ini tidak akan membangun jiwa nasionalisme bangsa. Generasi bangsa tidak lagi memiliki patriotisme bangsa dan tidak memiliki jiwa kebangsaan. Strategi pendidikan di Indonesia (termasuk di dalamnya bahan atau sumber belajar) seharusnya diarahkan ke tercapainya tatanan budaya masyarakat yang multikulturalisme.

Hal tersebut bisa diimplementasikan salah satunya dalam pembelajaran keterampilan berbahasa. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus mempergunakan materi-materi realita yang ada di dalam kenyataan atau yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Kebiasaan untuk mengkaji realita bangsa akan membawa anak didik dalam meraih banyak hal, di antaranya: (a) anak didik memahami terhadap apa yang ia pelajari; (b) dapat tumbuh cinta bangsa, (c) anak didik dapat memahami budaya bangsa, (d) dapat tumbuh rasa kebangsaannya, (e) anak didik dapat memahami kekuatan dan kelemahan bangsanya sehingga harapan ke depannya anak didik nantinya mampu membangun bangsanya dan akhirnya mereka akan mampu menempatkan dirinya dalam satuan kehidupan berbangsa secara multikulturalisme.

Teks biografi dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk pembelajaran keempat keterampilan berbahasa. Dengan membaca biografi tokoh diharapkan akan memunculkan need for achievement bagi siswa-siswa, mereka perlu atau butuh suatu prestasi, bahwa prestasi tidaklah suatu hal yang mudah didapat. Akan tetapi, melalui suatu kerja keras, kisah-kisah nyata yang disampaikan dalam biografi tokoh bukanlah suatu pekerjaan yang sukar bagi mereka dan semua orang dapat melakukannya. Hal tersebut merupakan suatu treatment yang menyuguhkan kegigihan seseorang. Kegigihan itulah yang akan ditransfer kepada siswa-siswa agar siswa jangan mudah pesimis, mudah menyerah, dan selalu semangat mengisi kehidupan dan kemerdekaan ini dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Biografi tokoh nasional dapat dijadikan salah satu alternatif bahan ajar. Penggunaan bahan ajar biografi tokoh nasional merupakan suatu praktik belajar dan pembelajaran yang dilandasi paham kognitivisme dan kontruktivisme. Dengan mempelajari biografi tokoh nasional maka ada proses ‘pembudayaan’, di mana seseorang belajar tentang sesuatu yang diperlukan oleh budaya yang mengelilingi kehidupannya, sehingga dia memperoleh nilai-nilai dan perilaku yang sesuai dan diperlukan dalam kehidupannya.

(Artikel ini sudah diterbitkan di Republika)

Dedi Wijayanti, M. Hum

Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Pada saat ini perilaku sebagian generasi muda dan pelajar sangat memprihatinkan. Mereka secara terbuka melakukan pelanggaran terhadap ajaran agama, peraturan ketertiban masyarakat, berbangsa dan bernegara, misalnya terlibat tawuran, tindak kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan pelanggaran-pelanggaran norma sopan santun. Apabila hal ini berlarut-larut dan tidak segera mendapatkan penanganan yang serius dan terencana dari pihak yang terkait, dikhawatirkan proses dekandensi moral dan demoralisasi bangsa tinggal menunggu waktu. Untuk itulah, diperlukan adanya benteng yang kokoh yang dapat menahan derasnya arus informasi yang menyesatkan serta filter budaya yang memungkinkan terseleksinya pengaruh-pengaruh negatif sehingga pemuda pelajar bangsa Indonesia tidak terseret pada sisi negatif pada kehidupan modern sebagai akibat dari globalisasi.

Sekolah diyakini sebagai institusi pembelajaran dan basis penanaman nilai-nilai moral dan budaya kepada siswa. Dari sisi ini, sekolah diakui sebagai ajang sosialisasi yang tepat untuk memperkenalkan sastra kepada para siswa, sehingga kelak menjadi generasi-generasi bangsa yang cerdas, pintar, dan terampil, sekaligus bermoral. Dengan kata lain, jika sekolah mampu melaksanakan pembelajaran sastra secara optimal, maka negeri ini akan dihuni oleh penduduk yang bermoral tinggi, berperikemanusiaan, dan sarat sentuhan nilai keluhuran budi serta kearifan hidup.

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab III Pasal 3 yaitu: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membuat watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Secara yuridis bunyi undang-undang tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan kita harus memiliki karakter positif yang kuat, artinya praktik pendidikan tidak semata berorientasi pada aspek kognitif, melainkan secara terpadu menyangkut tiga dimensi taksonomi pendidikan, yakni kognitif (aspek intelektual, pengetahuan, pengertian, keterampilan berfikir), afektif (aspek perasaan dan emosi: minat, sikap apresiasi, cara penyesuaian diri) dan psikomotor (aspek keterampilan motorik), serta berbasis pada karakter positif dengan berbagai indikator.

Bila pendidikan di Indonesia hanya mengarah kepada ‘intelektualisme’ maka watak bangsa Indonesia tidak akan terbangun, dan akhirnya menjadi bangsa yang individualistis. Kebersamaan untuk mengisi kemerdekaan tidak akan dapat diwujudkan. Pendidikan semacam ini tidak akan membangun jiwa nasionalisme bangsa. Generasi bangsa tidak lagi memiliki patriotisme bangsa dan tidak memiliki jiwa kebangsaan. Strategi pendidikan di Indonesia (termasuk di dalamnya bahan atau sumber belajar) seharusnya diarahkan ke tercapainya tatanan budaya masyarakat yang multikulturalisme.

Hal tersebut bisa diimplementasikan salah satunya dalam pembelajaran keterampilan berbahasa. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus mempergunakan materi-materi realita yang ada di dalam kenyataan atau yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Kebiasaan untuk mengkaji realita bangsa akan membawa anak didik dalam meraih banyak hal, di antaranya: (a) anak didik memahami terhadap apa yang ia pelajari; (b) dapat tumbuh cinta bangsa, (c) anak didik dapat memahami budaya bangsa, (d) dapat tumbuh rasa kebangsaannya, (e) anak didik dapat memahami kekuatan dan kelemahan bangsanya sehingga harapan ke depannya anak didik nantinya mampu membangun bangsanya dan akhirnya mereka akan mampu menempatkan dirinya dalam satuan kehidupan berbangsa secara multikulturalisme.

Teks biografi dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk pembelajaran keempat keterampilan berbahasa. Dengan membaca biografi tokoh diharapkan akan memunculkan need for achievement bagi siswa-siswa, mereka perlu atau butuh suatu prestasi, bahwa prestasi tidaklah suatu hal yang mudah didapat. Akan tetapi, melalui suatu kerja keras, kisah-kisah nyata yang disampaikan dalam biografi tokoh bukanlah suatu pekerjaan yang sukar bagi mereka dan semua orang dapat melakukannya. Hal tersebut merupakan suatu treatment yang menyuguhkan kegigihan seseorang. Kegigihan itulah yang akan ditransfer kepada siswa-siswa agar siswa jangan mudah pesimis, mudah menyerah, dan selalu semangat mengisi kehidupan dan kemerdekaan ini dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Biografi tokoh nasional dapat dijadikan salah satu alternatif bahan ajar. Penggunaan bahan ajar biografi tokoh nasional merupakan suatu praktik belajar dan pembelajaran yang dilandasi paham kognitivisme dan kontruktivisme. Dengan mempelajari biografi tokoh nasional maka ada proses ‘pembudayaan’, di mana seseorang belajar tentang sesuatu yang diperlukan oleh budaya yang mengelilingi kehidupannya, sehingga dia memperoleh nilai-nilai dan perilaku yang sesuai dan diperlukan dalam kehidupannya.

(Artikel ini sudah diterbitkan di Republika)