Buruk Rupa Humor Televisi Kita

 

Oleh Rendra Widyatama, SIP. M.Si

Pengelola Prodi Ilmu Komunikasi UAD, Minat Studi Broadcasting TV

 

Dalam industri hiburan televisi, humor adalah daya tarik. Hampir tiap stasiun TV membuat tayangan jenis ini. Banyak format yang digunakan, mulai dari sinetron, kuis, talkshow, reality show, drama, musik, parody, sampai dengan Stand Up Comedy dan banyak lagi lainnya. Berbagai format tersebut terus berkembang dengan cepat, mengikuti kreatifitas pengelola.

Banyak program humor meraih rating tinggi, sebagai tanda program ini telah menjadi komoditas tersendiri dan menjadi penyubur industri televisi. Artinya, masyarakat Indonesia suka humor. Lihat saja, saat ini menurut penelitian Widyatama (2013) setidaknya ada 176 program humor per minggu dalam berbagai format yang ditayangkan di stasiun televisi nasional besar. Jumlah tersebut bisa jadi akan terus bertambah.

Namun banyaknya program humor tersebut tidak berbanding lurus dengan kualitas lawakan yang ditunjukkan. Menurut Widyatama (2013), 72,3% dagelan justru bersifat anti sosial. Yaitu menampilkan nilai-nilai yang tidak mendukung kebaikan, misalnya mengolok-olok, merendahkan dan melecehan orang lain, melakukan kekerasan fisik maupun verbal, menyampaikan ucapan jorok dan perilaku tidak sesuai dengan jenis kelaminnya (misalnya pria berpenampilan wanita); egois dan ingin menang sendiri; tidak menghargai orang lain; dan sebagainya.

Bila kita amati lebih dalam, kualitas humor televisi kita bahkan makin hari makin memprihatinkan. Kesan yang terlihat, pengelola televisi sudah tidak mampu lagi menghadirkan tontonan yang baik bagi penontonnya. Bila keadaan ini terus terjadi, maka perlu langkah lebih tegas dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pengelola televisi yang tidak mampu lagi menghadirkan tayangan sehat, perlu diberi sanksi lebih keras, antara lain berupa penghentian program, pengurangan jam tayang, atau bahkan mencabut ijin penyelenggaraan siaran.

Frekuensi televisi adalah sumber daya yang terbatas. Ia harus dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kebaikan masyarakat. Siaran televisi harus mampu meningkatkan martabat, budaya, kebanggaan, dan semangat masyarakat sebagai bangsa. Jadi pengelola siaran televisi harus bertanggungjawab atas frekeuensi yang diamanahkan kepadanya.

Bila pengelola stasiun televisi tidak mampu lagi, maka KPI perlu segera bertindak. Bila sanksi sudah sering diberikan namun pengelola terus cuek, maka KPI harus berani mencabut ijin atau tidak mempanjang ijin atas hak pengelolaan frekuensi siaran. Pengabaian atas sanksi hanya akan membuat pelanggaran makin menjadi-jadi, disamping menjatuhkan wibawa KPI sebagai pihak yang diberi otoritas mengatur dunia kepenyiaran sesuai pasal 7 UU no 32 th 2002. Saya yakin, masih ada banyak masyarakat yang mampu mengelola frekuensi siaran televisi secara lebih bertanggungjawab. Ijin siaran yang dimiliki, bukan bersifat permanen menjadi hak milik. Ia perlu dievaluasi dan dapat dicabut.

Kita tidak berharap guyonan konyol dan anti sosial di layar kaca makin menjadi-jadi. Perlu diingat, pengaruh televisi sangat besar, baik disadari maupun tidak. Betapa mengerikan dampak sosial psikologis yang akan ditanggung oleh bangsa ini di masa mendatang bila selalu dicekoki materi anti sosial secara terus menerus. Masyarakat tidak lagi santun, berbudaya, menghormati norma-norma sosial, dan hal-hal buruk lagi lainnya. Mereka akan menganggap perbuatan anti sosial adalah sesuatu yang lucu dan menghadirkan kegembiraan. Tentu kita tidak ingin agar keluhuran budaya bangsa kita menjadi ceritera sejarah masa lalu karena berubah menjadi bangsa tak berbudaya dan tak dihormati dunia.