DEPRESIASI RUPIAH vs HARGA TEMPE

 

Dini Yuniarti, S.E., M.Si

Fakultas Ekonomi Universitas Ahmad Dahlan

Pengusaha tempe berhenti berproduksi,  Pengusaha Tahu Kelimpungan, pengusaha tempe dan tahu minta bea masuk kedelai dihapus, harga kedelai naik pengrajin tempe naikkan harga.  Itu beberapa judul tulisan di media akhir-akhir ini. Tulisan-tulisan tersebut sebagai respon naiknya harga kedelai impor. Gonjang-ganjing melemahnya  nilai tukar rupiah akhir-akhir dipicu kenaikan harga kedelai impor. Rupiah mengalami pelemahan bahkan sempat menembus di atas  Rp. 11.000.  Keadaan  depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ini terjadi karena adanya desakan faktor eksternal maupun internal. Rencana The Fed untuk mengurangi stimulus moneternya menyebabkan menguatnya mata uang dolar Amerika Serikat terhadap rupiah dan beberapa mata uang lainnya. Selain itu, dari sisi internal transaksi berjalan Indonesia turut  mendorong kondisi ini, seperti  dilaporkan Bank Indonesia selama tahun 2012 transakasi berjalan kita mengalami defisit di mana kondisi tersebut terus berlanjut di tahun 2013 ini.

Pelemahan rupiah ini membawa pengaruh bagi perekonomian Indonesia bahkan langsung menyentuh kehidupan masyarakat. Depresiasi nilai tukar rupiah harus dibayar dengan meningkatnya harga-harga barang impor. Fenomena pengusaha tempe dan tahu merupakan gambaran nyata pengaruh langsung depresiasi rupiah tersebut di mana harga kedelai  impor  mengalami kenaikan. Sebagai contoh adalah harga kedelai di tingkat pasar tradisional Yogyakarta seperti dilansir Republika Online yang mengalami kenaikan dari Rp 8.000,00-Rp.9.000 menjadi Rp. 10.000, atau ada kenaikan  harga 10-20 persen.  Demikian pula dengan daerah lainnya mengalami  hal yang serupa. Imbasnya adalah pada produsen dan pada akhirnya konsumen.

Naiknya harga kedelai tersebut menyebabkan produsen tempe dan tahu mengalami kesulitan, bahkan beberapa melakukan mogok produksi. Kenaikan harga kedelai menyebabkan produsen kesulitan menghadapi  kenaikan biaya produksi, padahal di sisi lain untuk menutupi kenaikan biaya tersebut tidaklah mudah dengan menaikkan harga jual tempe dan tahu karena berkaitan dengan daya beli masyarakat. Meskipun ada yang menaikan harga,  produsen yang lain mensiasatinya dengan memperkecil ukuran dengan harga jual yang sama. Tidak naiknya harga namun dengan ukuran yang lebih kecil pada hakekatnya sama saja dengan lebih mahalnya harga tempe atau tahu tersebut. Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa depresiasi rupiah berhadap-hadapan langsung dengan harga tempe.

Komoditas tempe dan tahu merupakan bahan pangan yang dekat dengan keseharian masyarakat,  di mana pemenuhan protein yang terjangkau berasal dari komoditas ini. Namun apabila harga tempe dan tahu saja turut naik bagaimana masyarakat akan memenuhi kebutuhan proteinnya. Keadaan ini tentunya sungguh memprihatinkan.  Padahal kedelai hanya satu dari beberapa komoditas pangan yang masih diimpor oleh Negara kita. Beberapa komoditi tersebut seperti beras, jagung, biji gandum, tepung terigu, garam, minyak goreng, susu, bawang merah, daging sapi, gula dan lainnya pun sebagian masih impor. Bisa dibayangkan jika komoditas-komoditas tersebut mengalami kenaikan harga, masyarakat tentunya akan bertambah sulit apalagi setelah deraan kenaikan harga BBM dan tarikan harga karena Lebaran yang lalu. Depresiasi  rupiah akan menyebabkan harga-harga komoditas impor tersebut akan naik dan pada akhirnya akan mempengaruhi harga-harga domestik dan memberatkan masyarakat.

Sebenarnya sebagian besar dari komoditas impor tersebut dapat diproduksi di Indonesia. Namun dengan alasan pasokan yang belum memenuhi, maka impor bahan pokok atau pangan masih menjadi pilihan. Padahal apa jadinya bila perekonomian kita terutama pangan mengandalkan komoditas-komoditas dari impor. Tentunya pemenuhan pangan akan menjadi rentan akan tarikan-tarikan eksternal dan mendorong perekonomian kita tidak sustain. Padahal pangan merupakan pemenuhan  yang mendasar bagi setiap warganegara.

Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika saat ini semoga menjadi trigger bagi pemerintah untuk meningkatkan prioritas pada swasembada pangan selain penguatan sector keuangan  dalam hal ini nilai tukar rupiah tentunya.  Bila dilihat dari mayoritas komoditas impor pangan tersebut, sebagian besar sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri, di mana komoditas kedelai termasuk di dalamnya. Ada angin segar yang datang dari Timur Indonesia untuk kedelai, di mana Provinsi Papua Barat telah berhasil menanam kedelai dan mengalami panen Raya bulan Juli  2012 lalu di mana panen raya perdana sebesar 1,5 ton per hectare melebihi perhitungan nasional sebesar 1,3 ton per hektar. Di tahun 2013 ini Provinsi Papua Barat rencananya menyiapkan lahan seluas 4.600 hektar seperti dilansir Tempo.com. Artinya dengan  perencanaan dan dukungan program, dan manajemen yang serius produksi kedelai itu bisa diwujudkan. Semoga mimpi swasembada pangan bisa terwujud, sehingga turbulensi ekonomi global terutama nilai tukar tidak akan langsung berpengaruh kepada  perekonomian khususnya sektor pangan kita dan harga tempe tidak harus berhadap-hadapan langsung dengan depresiasi rupiah.