Dosen Yang Mendidik

Lina Handayani, SKM, MKes, Ph.D

Dosen FKM UAD, Yogyakarta

 

Dulu saya mengira bahwa menjadi dosen cukup hanya mengajar saja. Menyampaikan mata kuliah apa adanya. Saya kira mahasiswa adalah orang yang sudah dewasa sehingga mereka sudah tahu harus bagaimana menjalani hidup dan dunia perkuliahan.

Dulu saya juga mengira bahwa mudah saja menjadi dosen itu. Yang penting punya ijazah, punya SK mengajar maka sahlah seseorang untuk mendapat label dosen. Dulu, ya dulu saya mengira begitu.

Namun seiring waktu, saya temui banyak cerita, aneka peristiwa dan berbagai macam mahasiswa. Kadang kala ada yang baik, cerdas, sopan santun dan murah senyum. Ada juga yang cerdas, namun tidak percaya diri. Pernah juga saya jumpai mahasiswa yang kebingungan tidak tahu harus bagaimana.

Hingga pada suatu ketika, saya menyimpulkan sendiri, bahwa menjadi dosen itu juga pendidik, bukan sekedar pengajar. Walau begitu banyak teori tentang pengajaran, namun bagi saya, mahasiswa adalah seperti putra putri sendiri. Tentu saja, dalam mendidik mereka diperlukan cinta, cita, rasa, asa, karsa dan masa. Tidak boleh sekedarnya, apalagi dilakukan dengan terpaksa. Satu hal lagi, yaitu keteladanan; terkait akhlak, tutur kata, roman muka dan kemauan untuk terus belajar.

Sejatinya, dosen yang pendidik juga dosen yang mau belajar. Perkembangan ilmu berlari dengan kencang. Teknologi pesat maju melesat begitu dahsyat. Jangan sampai, seorang dosen menjadi makhluk jadul yang membosankan dan merasa pintar sendiri. Apalagi, menjadi dosen seram nan menakutkan.

Banyak orang yang tidak sadar diri, tidak mau mengenali diri sendiri dan orang lain. Sehingga, banyak sifat yang tiba-tiba membuat orang kanan kiri menyingkir, atau malah tidak mau mendengarkan pelajar di kelas yang monoton, padahal hal tersebut penting. Akibatnya tanduk bertengger di kepala dengan wajah merah menyala. Lagi-lagi mahasiswa yang salah. Bukankah kesalahan murid atau mahasiswa adalah kesalahan guru atau dosenya. Kejadian seperti itu akan selalu terjadi selama satu sama lain tidak saling mengenal, memahami dan memberi pengertian.

Sebaiknya, dosen mau juga jadi pembantu. Membantu mahasiswa untuk mengenali dirinya, sehingga tahu harus bagaimana bila menemui kesulitan atau masalah. Membantu mahasiswa merasa percaya diri, membantu mahasiswa untuk jadi orang cerdas yang jujur. Membantu mahasiswa untuk jadi orang pintar yang berahlak mulia.

Sembari mengakhiri tulisan ringan ini, saya bertanya pada hati nurani: sudahkan saya menjadi dosen yang mendidik? Sembari juga berharap bahwa saya tidak menjadi dosen sok pintar yang menyeramkan. Semoga saya dan mahasiswa mampu menjadi pembelajar tangguh dalam porsi kami masing-masing.