Habitus dan Pengajaran Bahasa Inggris

Oleh: Hendra Darmawan, S.Pd*)

Bahasa inggris semakin hari menjadi media yang efektif untuk menjadikan dunia lebih datar (Flat).

hendra_darmawan

Milton L Friedman (2009) menyatakan bahwasanya hanya bangsa yang mampu menghadapi flatism (kedataran) yang akan memenangi kompetisi globalisasi, salah satunya dengan penguasaan bahasa asing. Penguasaan bahasa asing menjadikan banyak perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi terbahasakan (readability) dan dapat diterjemahkan (transalatability) sehingga makin lebih banyak kalangan mengaksesnya. Tidak heran jika banyak kita dapati tulisan-tulisan baik dalam sekala kecil maupun dalam sekala besar berbahasa inggris. Contohnya adalah kata-kata seperti inbox, exit, enter, push, pull, ATM (authomatic teller machine), on sale, discount, laundry dan lain-lain. Ini menunjukkan ada habitus yang cukup mendukung guna terciptanya pembelajaran bahasa asing (inggris) yang lebih baik.

Perlu perangkat yang lebih sistematis agar pembelajar bahasa asing tidak serampangan menyerapnya. Salah satu upaya itu adalah pengajaran bahasa inggris sejak dini, sejak di sekolah dasar hari ini anak-anak sudah dikenalkan bahasa inggris. Pengenalan bahasa asing (inggris, arab, dll) sejak anak-anak merupakan periode yang paling baik dalam pemerolehan bahasa (children language acquisition). Selain bahasa ibu, bahasa Indonesia, mereka juga dapat belajar bahasa inggris lebih awal. Upaya ini menyiapakan mereka untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik sekaligus siap menjadi manusia modern (world citizenship).

Bahasa inggris dan Pemberdayaan Masayarakat

Balum lama ini, tepatnya tahun 8-11 desember 2011 di Yogyakarta diselenggarakan seminar internasional bertajuk “The 16th English in South East Asia Conference” dengan tema “English for people Empowerment”-Bahasa Inggris untuk pemberdayaan masyarakat. Inisiatif acara ini muncul dari asosiasi pengajaran bahasa inggris di asia tenggara melibatkan kampus-kampus ternama dari Indonesia, Malaysia, Philippine dll. Acara ini merupakan bukti bahwasanya banyak kalangan yang juga concern dengan upaya melawan dominasi bahasa satu terhadap bahasa yang lain (linguistic imperialism). Civitas akademika telah dengan sadar akan perlunya peran pemberdayaan dari bahasa inggris itu sendiri. Peran pemberdayaan ini sangan relevan dengan program UNESCO yang telah berjalan selama 20 tahun sejak 1992 apa yang dinamakan dengan Education for Sustainable Development (ESD). Setiap unsur pendidikan dan pengajaran harus menemukan relevansi dengan keberlanjutan tidak hanya jangka pendek tetapi jangka panjang.

Ruang aktualisasi berbahasa

Keberadaan sebuah bahasa sangat bergantung pada frekuensi penggunaannya. Terciptanya banyak forum, kesempatan dan ruang public untuk artikulasi bahasa baik berupa, dialog, pembacaan puisi, cerpen, public speaking, lomba pidato dan lain-lain merupakan faktor pendukung revivalisme bahasa. Di banyak sekolah dapat kita dapati agenda seperti bulan bahasa, apresiasi seni dan lain-lain. Forum-forum tersebut diatas tidak hanya dalam apresiasi bahasa Indonesia tetapi juga dalam bahasa inggris. Bahkan ada beberapa sekolah yang telah memilii asrama (Boarding schools) mendisiplinkan anak didiknya dalam berbahasa Indonesia dan inggris (partial emersion) . Dengan banyaknya habitus yang tercipta, makin banyak frekuwensi anak-anak (learners) mempraktekkan keterampilan berbahasa mereka.

Keberadaan bahasa Indonesia dan inggris dalam kehidupan masyarakt Indonesia, hendaknya memiliki peran yang saling menguatkan (language revivalism) tidak sebaliknya saling memunahkan. Nasionalisme dalam berbahasa khususnya bahasa Indonesia perlu keteladanan para pendidik, tenaga kependidikan, peneliti, bahkan semua pihak salah satunya dengan banyak menggunakan bahasa baku yang telah disahkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Sangatlah berlebihan jika ada kalangan menilai dengan adanya upaya penghapusan bahasa inggris di sekolah dasar hanya semata karena alasan kohesi nasional kita sebagai bangsa. Pandangan ini harus melangkah lebih jauh kepada upaya bersama untuk memunculkan sinergi kepentingan dalam menciptakan habitus berbahasa sehingga kebangkitan bahasa (language revivalism) dapat menjadi kenyataan.

*) Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan

Habitus dan Pengajaran Bahasa Inggris

Oleh: Hendra Darmawan, S.Pd*)

Bahasa inggris semakin hari menjadi media yang efektif untuk menjadikan dunia lebih datar (Flat).

hendra_darmawan

Milton L Friedman (2009) menyatakan bahwasanya hanya bangsa yang mampu menghadapi flatism (kedataran) yang akan memenangi kompetisi globalisasi, salah satunya dengan penguasaan bahasa asing. Penguasaan bahasa asing menjadikan banyak perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi terbahasakan (readability) dan dapat diterjemahkan (transalatability) sehingga makin lebih banyak kalangan mengaksesnya. Tidak heran jika banyak kita dapati tulisan-tulisan baik dalam sekala kecil maupun dalam sekala besar berbahasa inggris. Contohnya adalah kata-kata seperti inbox, exit, enter, push, pull, ATM (authomatic teller machine), on sale, discount, laundry dan lain-lain. Ini menunjukkan ada habitus yang cukup mendukung guna terciptanya pembelajaran bahasa asing (inggris) yang lebih baik.

Perlu perangkat yang lebih sistematis agar pembelajar bahasa asing tidak serampangan menyerapnya. Salah satu upaya itu adalah pengajaran bahasa inggris sejak dini, sejak di sekolah dasar hari ini anak-anak sudah dikenalkan bahasa inggris. Pengenalan bahasa asing (inggris, arab, dll) sejak anak-anak merupakan periode yang paling baik dalam pemerolehan bahasa (children language acquisition). Selain bahasa ibu, bahasa Indonesia, mereka juga dapat belajar bahasa inggris lebih awal. Upaya ini menyiapakan mereka untuk menjadi warga negara Indonesia yang baik sekaligus siap menjadi manusia modern (world citizenship).

Bahasa inggris dan Pemberdayaan Masayarakat

Balum lama ini, tepatnya tahun 8-11 desember 2011 di Yogyakarta diselenggarakan seminar internasional bertajuk “The 16th English in South East Asia Conference” dengan tema “English for people Empowerment”-Bahasa Inggris untuk pemberdayaan masyarakat. Inisiatif acara ini muncul dari asosiasi pengajaran bahasa inggris di asia tenggara melibatkan kampus-kampus ternama dari Indonesia, Malaysia, Philippine dll. Acara ini merupakan bukti bahwasanya banyak kalangan yang juga concern dengan upaya melawan dominasi bahasa satu terhadap bahasa yang lain (linguistic imperialism). Civitas akademika telah dengan sadar akan perlunya peran pemberdayaan dari bahasa inggris itu sendiri. Peran pemberdayaan ini sangan relevan dengan program UNESCO yang telah berjalan selama 20 tahun sejak 1992 apa yang dinamakan dengan Education for Sustainable Development (ESD). Setiap unsur pendidikan dan pengajaran harus menemukan relevansi dengan keberlanjutan tidak hanya jangka pendek tetapi jangka panjang.

Ruang aktualisasi berbahasa

Keberadaan sebuah bahasa sangat bergantung pada frekuensi penggunaannya. Terciptanya banyak forum, kesempatan dan ruang public untuk artikulasi bahasa baik berupa, dialog, pembacaan puisi, cerpen, public speaking, lomba pidato dan lain-lain merupakan faktor pendukung revivalisme bahasa. Di banyak sekolah dapat kita dapati agenda seperti bulan bahasa, apresiasi seni dan lain-lain. Forum-forum tersebut diatas tidak hanya dalam apresiasi bahasa Indonesia tetapi juga dalam bahasa inggris. Bahkan ada beberapa sekolah yang telah memilii asrama (Boarding schools) mendisiplinkan anak didiknya dalam berbahasa Indonesia dan inggris (partial emersion) . Dengan banyaknya habitus yang tercipta, makin banyak frekuwensi anak-anak (learners) mempraktekkan keterampilan berbahasa mereka.

Keberadaan bahasa Indonesia dan inggris dalam kehidupan masyarakt Indonesia, hendaknya memiliki peran yang saling menguatkan (language revivalism) tidak sebaliknya saling memunahkan. Nasionalisme dalam berbahasa khususnya bahasa Indonesia perlu keteladanan para pendidik, tenaga kependidikan, peneliti, bahkan semua pihak salah satunya dengan banyak menggunakan bahasa baku yang telah disahkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Sangatlah berlebihan jika ada kalangan menilai dengan adanya upaya penghapusan bahasa inggris di sekolah dasar hanya semata karena alasan kohesi nasional kita sebagai bangsa. Pandangan ini harus melangkah lebih jauh kepada upaya bersama untuk memunculkan sinergi kepentingan dalam menciptakan habitus berbahasa sehingga kebangkitan bahasa (language revivalism) dapat menjadi kenyataan.

*) Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan

Habitus dan Pengajaran Bahasa Inggris