img-20170623-wa0006.jpg

Hidup untuk Memberi Sebanyak-banyaknya

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dinyatakan sebagai kota dengan prevalensi gangguan jiwa berat paling tinggi di Indonesia. Dilansir dari kompasiana.com, sekitar 3 dari setiap 1.000 orang penduduk DIY mengalami gangguan jiwa berat. Fakta tersebut kemudian melatarbelakangi pembentukan Paguyuban Wingking Keraton (Pawiton) oleh Ratna Yunita Setyani Subarjo, kepala Program Studi Psikologi Universitas Aisyiyah Yogyakarta (UNISA).

Ratna Yunita Setyani Subarjo, S.Psi., M.Psi., Psikolog. adalah alumnus Pascasarjana Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Magister Profesi Psikologi. Ratna, begitu ia biasa dipanggil, adalah penerima penghargaan alumni berprestasi UAD 2017. Putri Jawa kelahiran Sumatera tersebut adalah sosok seorang praktisi dan pendidik yang sangat berprestasi. Saat ditemui di UNISA, Ratna menuturkan bahwa goal yang belum tercapai dan sedang diusahakan adalah mengusulan draf kebijakan deteksi dini kesehatan jiwa ke DPRD Kota Yogyakarta.

“Kota dengan tingkat gangguan jiwa paling tinggi se-Indonesia berdasarkan Riskesdes 2013 adalah Jogja, padahal angka harapan hidupnya juga paling tinggi se-Indonesia. Artinya, ada sesuatu. Maka, goal dan mimpi saya tahun ini bisa membuat draf untuk diusulkan ke DPRD wilayah kota Jogja, demi meningkatkan kesehatan jiwa di wilayah itu,” jelasnya.

Komunitas kader jiwa yang dilatih Ratna untuk usaha deteksi dini kesehatan jiwa adalah produk atau output dari short course yang ia ikuti. Bersama 15 psikiater lain, ia mendapatkan kesempatan mengikuti short course yang digelar oleh Melbourne University bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemkes RI). Dalam short course tersebut, setiap peserta mendapat “pekerjaan rumah” yang harus direalisasikan untuk membantu lingkungan praktiknya.

Dalam pembentukan Pawiton, tentu Ratna tidak berusaha sendiri. Dengan dukungan yang diberikan oleh Kepala Puskesmas dan kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, kelompok dukungan masyarakat keluarga pasien gangguan jiwa tersebut dapat direalisasikan. Selain Pawiton, ia juga melakukan pembentukan kader jiwa yang dilatih untuk melakukan deteksi dini kesehatan jiwa.

“Harapan saya, deteksi dini kesehatan jiwa ini nanti bisa ditularkan kepada kader jiwa seluruh wilayah lingkungan kecamatan Keraton,” tutur Ratna.

Selain berproses di Pawiton, Ratna juga menjabat sebagai sekretaris di Ikatan Psikologi Klinis (IPK). Ratna dikenal sebagai orang yang senang memiliki kesibukan bermanfaat. Berkumpul dengan kawan-kawan di IPK pun awalnya ia lakukan untuk membantu event-event yang berlangsung.

“Mungkin karena mereka melihat saya mampu menyelesaikan tugas dengan baik, lalu ditawari untuk menjadi pengurus tetap. Lebih banyak mengambil manfaat saja, karena dengan begitu saya jadi mengerti jaringan psikiater Indonesia. Alhamdulillah dari situ bisa ketemu orang-orang besar, diskusi, dan menjadi peningkatan kualitas diri saya lagi selain membawa nama almamater juga,” jelasnya ketika ditanya perihal kesibukannya.

Selain mengajar dan praktik, Ratna juga kerap mengisi seminar dan talkshow tentang psikologi dan bidang di sekitarnya. Tulisannya pun kerap dimuat beberapa media cetak, dan ia kerap mengunggah buah pikirannya ke media sosial pribadinya. Ratna senang menulis, ia menulis baik bidang akademik hingga puisi, bahkan jika hanya sekadar katarsis. Ia telah menerbitkan sebuah buku tentang panduan pengasuhan untuk orang tua anak penderita ADHD.

Ratna mengaku bahwa ia adalah tipe pekerja keras dan perfeksionis. Dengan segudang kesibukan, maka tentu harus ada yang dikorbankan dengan bekerja lembur dan lain sebagainya. Ia memiliki prinsip kerja tuntas adalah sebuah kepuasan.

Ia memulai kariernya sebagai konselor anak dan keluarga di sekolah dalam Yayasan Rumah Sakit Rajawali Citra. Kemudian, demi meningkatkan kualitas diri, ia melanjutkan studi magister profesi. Ia tertarik mendalami psikologi klinis yang lebih menjurus ke kesehatan mental, cakupannya lebih luas dan tantangan yang dihadapi pun lebih sulit. Ketika ditanya perihal profesi, Ratna tidak bisa menentukan pada satu bidang saja.

“Profesi antara praktisi klinis dan dosen tidak bisa dipisahkan, tidak bisa didefinisikan saya dosen saja atau psikolog saja. Keduanya berkelindan. Tidak bisa lepas dari keduanya, kalau disuruh pilih salah satu tetap tidak bisa,” jelasnya.

Saat ini, Ratna aktif mengajar di UNISA dan berpraktik sebagai psikolog di Rumah Sakit Rajawali Citra, Pleret. Hingga saat ini, ia berpegang teguh pada moto hidupnya yaitu hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Berdasar dari moto tersebut, ia berharap diberikan kesehatan untuk dapat menjadi semakin kuat.

“Ketika ada hal-hal yang berguna untuk lingkungan, jangan sampai dipatahkan oleh diri saya sendiri hanya karena sakit atau lelah. Sebab, saya ingin selalu siap memberikan yang terbaik bagi lingkungan di sekitar saya,” tutupnya. (dev)