Ilusi Popularitas

Oleh: Dani Fadillah*

Di dunia demokrasi seperti saat ini, dimana partai politik (parpol) dapat sesuka hati membentuk sarana-sarana perkaderan dalam bentuk organisasi-organisasi underbow yang harapannya mampu mencetak SDM berkualitas yang dimasa depan pantas untuk diajukan dalam kontes politik (khususnya pemilu), ternyata masih belum tergiur untuk menempuh jalan pintas dengan menggaet figur-figur yang sedari awal sudah dikenal oleh banyak orang, artis. Di Tanah Air figur artis memiliki sisi menggiurkan tersendiri bagai parpol untuk mengharapkan dukungan masyarakat dalam pemilu legislatif maupun eksekutif, pusat maupun daerah.

Contoh teraktual saat ini adalah pada saat pilkada, parpol mengajukan calon yang bertarung dari kalangan selebritis dalam pemilihan gubernur, bupati, atau wali kota semakin kuat. Hingga pada akhirnya kita dapat melihat apa yang terjadi di Jawa Barat, parpol berlomba mencari artis yang sudah dikenal oleh masyarakat luas untuk ditawarkan menjadi Gubernur atau Wakil Gubernur Jabar. Harapannya tentu saja supaya mendapatkan kemenangan dengan dengan cara yang lebih instan. Tidak perlu bekerja keras untuk memperkenalkan calon, sebab kebanyakan masyarakat sudah mengetahui siapa calon dari kalangan selebritis tersebut, apa lagi jika sang selebritas adalah artis senior dan memiliki intensitas kemunculan di media massa yang cukup tinggi.

Kalau Artis Memang Kenapa?

Kalau ada yang mempertanyakan ‘kenapa harus artis’ maka jawabannya mudah, dan sudah penulis utarakan diatas. Namun jika pertanyaannya ‘kalau artis memang kenapa’, nah ini baru menarik untuk kita ulas bersama. Begini, sangat sedikit penelitian yang yang mengukur efektivitas seorang artis yang maju sebagai kontestas calon kepala daerah dan kemudian ‘kebetulan’ terpilih, dan bagaimana efeknya bagi kemajuan daerah yang mereka pimpin.

Menurut perhatian penulis, parpol tidak tertarik untuk membahas hal ini. Karena sampai saat ini parpol hanya fokus pada isu bagaimana caranya menang di pilkada, bukan pada program-program apa yang ditawarkan dan dijalankan di daerah itu oleh sang artis setelah mereka menang. Dan permasalahan seperti ini oleh sebagian besar parpol seakan tidak penting.

Kemudian dari sudut pandang lainnya fenomena merangkul artis di pilkada oleh parpol juga bisa dimaknai sebagai tanda makin lemahnya rekrutmen calon-calon pemimpin di jalur parpol. Pada alenia awal penulis memaparkan, bukankah aprpol memiliki wadah perkaderan, lantas mana hasil perkaderan itu? Apakah proses perkaderan di parpol makin jarang, atau malahan gagal untuk menghasilkan calon-calon pemimpin yang siap melayani masyarakat? Karena tidak kader yang meyakinkan dan berkualitas untuk menarik hati masyarakat akhirnya artis jadi incaran.

Sebenarnya tidak ada yang salah jika artis jadi calon lagislatif, eksekutif, gubernur, bupati, dan wali kota, sepanjang yang bersangkutan memiliki pengalaman, kepemimpinan dan kemampuan manajerial menangani masalah-masalah daerah. Jika sanga artis yang diajukan dan kemudian terpilih memiliki, popularitas, kapasitas, dan elektabilitas maka daerah yang dipimpinnya juga akan maju. Tapi atis yang beginikan bisa dihitung dengan jari. Kalau lebih condong pada skenario asal cara instan asal menang, parpol berlomba-lomba menggaet artis untuk menangkal calon popular dari partai lain yang juga dari kalangan artis, mau jadi apa daerah yang dipimpinnya kedepan?

Jika parpol terjebak dengan kata ‘popularitas’ yang dimiliki oleh artis untuk mendongkrak suara, maka itu adalah contoh betapa sederhananya pola pikir kalangan parpol kita. Fungsi parpol sebagai lembaga pendidikan politik sudah gagal. Parpol lupa kalau masyarakat kita sudah semakin kritis dan tidak bisa begitu saja dicekoki dengan sosok yang terkenal.

Ada banyak alasan rasional yang akan dipertimbangkan oleh masyarakat sebelum mereka menggunakan hak pilih. Popularitas selebritis bukanlah jaminan akan dipilih sebagai pemimpin, karena masyarakat kita paham kalau dunia hiburan berbeda dengan dunia nyata untuk mengelola daerah yang penuh tantangan dan ganjalan.

*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan,

Pengamat Komunikasi Politik



Oleh: Dani Fadillah*

Di dunia demokrasi seperti saat ini, dimana partai politik (parpol) dapat sesuka hati membentuk sarana-sarana perkaderan dalam bentuk organisasi-organisasi underbow yang harapannya mampu mencetak SDM berkualitas yang dimasa depan pantas untuk diajukan dalam kontes politik (khususnya pemilu), ternyata masih belum tergiur untuk menempuh jalan pintas dengan menggaet figur-figur yang sedari awal sudah dikenal oleh banyak orang, artis. Di Tanah Air figur artis memiliki sisi menggiurkan tersendiri bagai parpol untuk mengharapkan dukungan masyarakat dalam pemilu legislatif maupun eksekutif, pusat maupun daerah.

Contoh teraktual saat ini adalah pada saat pilkada, parpol mengajukan calon yang bertarung dari kalangan selebritis dalam pemilihan gubernur, bupati, atau wali kota semakin kuat. Hingga pada akhirnya kita dapat melihat apa yang terjadi di Jawa Barat, parpol berlomba mencari artis yang sudah dikenal oleh masyarakat luas untuk ditawarkan menjadi Gubernur atau Wakil Gubernur Jabar. Harapannya tentu saja supaya mendapatkan kemenangan dengan dengan cara yang lebih instan. Tidak perlu bekerja keras untuk memperkenalkan calon, sebab kebanyakan masyarakat sudah mengetahui siapa calon dari kalangan selebritis tersebut, apa lagi jika sang selebritas adalah artis senior dan memiliki intensitas kemunculan di media massa yang cukup tinggi.

Kalau Artis Memang Kenapa?

Kalau ada yang mempertanyakan ‘kenapa harus artis’ maka jawabannya mudah, dan sudah penulis utarakan diatas. Namun jika pertanyaannya ‘kalau artis memang kenapa’, nah ini baru menarik untuk kita ulas bersama. Begini, sangat sedikit penelitian yang yang mengukur efektivitas seorang artis yang maju sebagai kontestas calon kepala daerah dan kemudian ‘kebetulan’ terpilih, dan bagaimana efeknya bagi kemajuan daerah yang mereka pimpin.

Menurut perhatian penulis, parpol tidak tertarik untuk membahas hal ini. Karena sampai saat ini parpol hanya fokus pada isu bagaimana caranya menang di pilkada, bukan pada program-program apa yang ditawarkan dan dijalankan di daerah itu oleh sang artis setelah mereka menang. Dan permasalahan seperti ini oleh sebagian besar parpol seakan tidak penting.

Kemudian dari sudut pandang lainnya fenomena merangkul artis di pilkada oleh parpol juga bisa dimaknai sebagai tanda makin lemahnya rekrutmen calon-calon pemimpin di jalur parpol. Pada alenia awal penulis memaparkan, bukankah aprpol memiliki wadah perkaderan, lantas mana hasil perkaderan itu? Apakah proses perkaderan di parpol makin jarang, atau malahan gagal untuk menghasilkan calon-calon pemimpin yang siap melayani masyarakat? Karena tidak kader yang meyakinkan dan berkualitas untuk menarik hati masyarakat akhirnya artis jadi incaran.

Sebenarnya tidak ada yang salah jika artis jadi calon lagislatif, eksekutif, gubernur, bupati, dan wali kota, sepanjang yang bersangkutan memiliki pengalaman, kepemimpinan dan kemampuan manajerial menangani masalah-masalah daerah. Jika sanga artis yang diajukan dan kemudian terpilih memiliki, popularitas, kapasitas, dan elektabilitas maka daerah yang dipimpinnya juga akan maju. Tapi atis yang beginikan bisa dihitung dengan jari. Kalau lebih condong pada skenario asal cara instan asal menang, parpol berlomba-lomba menggaet artis untuk menangkal calon popular dari partai lain yang juga dari kalangan artis, mau jadi apa daerah yang dipimpinnya kedepan?

Jika parpol terjebak dengan kata ‘popularitas’ yang dimiliki oleh artis untuk mendongkrak suara, maka itu adalah contoh betapa sederhananya pola pikir kalangan parpol kita. Fungsi parpol sebagai lembaga pendidikan politik sudah gagal. Parpol lupa kalau masyarakat kita sudah semakin kritis dan tidak bisa begitu saja dicekoki dengan sosok yang terkenal.

Ada banyak alasan rasional yang akan dipertimbangkan oleh masyarakat sebelum mereka menggunakan hak pilih. Popularitas selebritis bukanlah jaminan akan dipilih sebagai pemimpin, karena masyarakat kita paham kalau dunia hiburan berbeda dengan dunia nyata untuk mengelola daerah yang penuh tantangan dan ganjalan.

*Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan,

Pengamat Komunikasi Politik