Intergasi Pendidikan Ksatria dalam Pendidikan Karakter

 

Dani Fadillah*

Setelah membaca sebuah karya fenomena buatan RA Kosasih, yaitu Bharatayudha dan Mahabharata. Secara pribadi penulis jadi berpikir kapan pendidikan ksatria dapat diterapkan dalam sistem pendidikan kita? Konsep pendidikan ksatria ini bukanlah sebuah wacana tandingan pendidikan karakter yang tengah bergaung saat ini, namun justru sebagai wacana yang diharapkan dapat menjadi inspirasi guna menyempurnakan konsep pendidikan karakter agar lebih baik lagi.

Lantas seperti apa dan untuk apakah pendidikan ksatria itu? Pendidikan ksatria adalah pendidikan yang menekankan pada para peserta didik untuk tidak bertindak pragmatis dan mengedepankan kepentingan “menang-kalah” dengan segala cara (zero sum game) dalam perjuangan untuk memenangkan persaingan, namun harus mengedepankan sebuah idealisme penting yang harus tetap dipertahankan, yaitu kehormatan. Persaingan memang erat kaitannya dengan kalah-menang. Tapi, wajib hukumnya untuk menyediakan ruang bagi kehormatan di dalamnya.

Memang dalam sebuah persaingan selalu ada yang menang dan ada pula yang kalah. Namun, apakah persaingan selalu harus selalu bertumpu pada kejadian menang-kalah? Dalam kisah-kisah pewayangan kita dapat menemukan banyak hal terkait konsep pendidikan ksatria yang dapat mengedepankan kehormatan di atas segala-galanya, termasuk kemenangan di depan mata yang bisa dengan mudah didapatkan. Arjuna tidak pernah mau bertarung melawan Karna, karena dalan asumsi Arjuna, Karna bukanlah murid Doryudana hingga tidak mungkin akan menang melawan dirinya. Meski pada kenyataannya Arjuna keliru, sebab selama ini Karna selalu mengintip murid-murid Doryudana berlatih dan dia juga memiliki kesaktian yang sama dengan Arjuna. Namun, dalam kisah tersebut kita tentu dapat mengambil hikmah bahwa seorang ksatria pantang untuk menghabisi lawan yang lemah, dan para ksatria diharamkan untuk memainkan pola zero sum game dalam proses menghadapi lawan.

Kisah Mahabharata dan Bharatayudha memanng memiliki sisi-sisi yang masih diperdebatkan, namun kisah-kisah ksatria di dalamnya meninggalkan banyak pelajaran positif yang bersifat universal. Seorang ksatria dihormati oleh kawan maupun lawan karena memiliki kehormatan sejati yang benar-benar murni berasal dari tingkah dan perilakunya sendiri, bukan karena keturunannya, juga bukan karena dia berhasil merebut kekuasaan dari pihak lawan.

Lihatlah saat ini ulah para oknum pemimpin dan wakil-wakil kita yang tidak memiliki sikap ksatria. Sikap mereka yang tidak memiliki spirit ke-ksatria-an sudah tampak jelas sejak mereka masih belum mendapatkan kursi empuk di DPR, sejak masa kampamnye tidak sedikit dari mereka yang mementingkan kemenangan dengan cara apa pun, meski pun dengan menyikut saudara seperjuangan dalam kalangan parpol sendiri. Kemudian setelah berhasil mendapatkan kursi kekuasaan tidak sedikit dari mereka yang lantas malah sibuk untuk memakmurkan diri dan golongannya sendiri dari pada mengurusi kepentingan rakyat. Dan ketika secara nyata mereka telah melukai hati rakyat dengan segala kebijakan dan tingkah lakunya. Alih-alih sadar diri lantas minta maaf dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka malah tidak merasa bersalah dengan melontarkan berjuta alasan untuk membenarkan setiap kesalahannya itu. Dari pada para pemimpin yang memiliki sikap ksatria mereka lebih serupa dengan para ‘Kurawa’ yang penuh dengan keserakahan.

Seorang pemimpin dengan jiwa ksatria akan mundur dari jabatannya kalau dia terlibat dalam peristiwa yang memalukan serta tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin. Singkatnya sikap “tahu malu” akan muncul jika telah melakukan kesalahan dan lari dari tanggung jawab. Tradisi ksatria inilah yang telah luntur dan amat sangat langka di sekitar kita.

*Dosen Ilmu Komunikasi UAD