Korupsi Kesadaran: Potret Pendidikan Kita

Hendra Darmawan*)

*) Dosen PBI FKIP UAD, Alumni Program Pertukaran Pemuda La Trobe University Melbourne.

Keprihatinan atas maraknya tindak korupsi di Indonesia memaksa kita untuk merunut kembali pola pendidikan yang semestinya memiliki perangkat formal sekaligus kultural untuk mencegah tindak amoral. Namun, sistem pendidikan kita yang semakin pragmatis ternyata justru menyuburkan bibit-bibit korupsi baik dikalangan guru, murid ataupun sistem itu sendiri.  Pragmatisme ini terlihat dari orientasi akhir yang lebih mengedepankan hasil ketimbang proses belajar. Beberapa kasus mengenai mencontek massal yang sempat ramai di pemberitaan menjadi bukti bahwa nilai ujian menjadi satu-satunya tujuan dalam belajar.  Dan tidak jarang, para guru sendiri yang menyarankan untuk berbuat curang. Jika sudah begitu, dimana tanggung jawab para pendidik yang semestinya tidak hanya melakukan transfer pengetahuan namun juga transfer nilai moral?

Kesadaran Moral

Kesadaran dalam konteks pendidikan bermakna integrasi kepribadian. Individu yang memiliki pribadi yang utuh benar-benar menyadari bahwa hidupnya adalah sebuah ‘proses menjadi’, ‘proses berubah’ dan ‘proses berkembang’. Dalam proses itu, seorang individu akan terus berusaha secara sadar memilih berbagai pengalaman yang kondusif untuk mendukung perkembangan, perubahan serta pertumbuhan dirinya. Idealnya, seorang anak didik yang berkepribadian terintegrasi memiliki suatu kesatuan kesadaran dimana ia akan merasakan betul keseimbangan antara keinginan, hati dan perhitungan nalarnya. Oleh sebab itu, kesadaran moral merupakan potensi sekaligus entitas yang perlu dipupuk dan dihadirkan dalam setiap ruang tumbuh manusia termasuk di dunia pendidikan.

Pendidikan Yang Korup

Proses pendidikan kita semestinya ditujukan untuk membentuk generasi yang memiliki kesadaran budi sebagai pangkal dari kecerdasan kreatifnya. Hal tersebut penting karena dari akar kepribadian yang berbudi luhur inilah seorang manusia bisa terus berkembang mandiri di tengah lingkungan sosial yang terus berubah semakin cepat. Namun apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita berbeda dengan yang semestinya. Sistem dibentuk bukan untuk membangun moral dan mental peserta didik, namun malah menjadikan tiap murid ibarat robot yang berkutat pada mesin-mesin ujian tanpa menghiraukan proses belajar.  

Kebijakan ujian akhir nasional juga perlu ditinjau ulang. Kasus siswa mencontek merupakan potret buram kehidupan berbangsa kita dimana para pendidik seolah mengalami neurotis sosial hingga dengan kalapnya menyuruh anak didiknya untuk mencontek. Mencontek bisa menjadi bibit bagi kecurangan-kecurangan berikutnya. Dalam dunia pendidikan, praktek ini jelas telah melanggar etika akademik. Ujian yang semestinya dijadikan sebagai media evaluasi dan alat ukur penguasaan anak didik atas apa yang telah dipelajarinya, akhirnya berubah fungsi menjadi ritual produksi angka-angka nilai semata. Kecurangan muncul dimana-mana; mencontek dan memanipulasi nilai dianggap wajar. Semua hal tersebut selain disebabkan oleh sistem pendidikan yang materialistis, juga tidak lepas dari ‘peran’ guru yang selama ini mengawal jalannya belajar-mengajar. Para pendidik yang membiarkan atau dengan sengaja menyuruh muridnya untuk mencontek adalah koruptor, alasannya adalah:

Pertama, mencontek merupakan bagian dari mengambil hak ‘tahu’ orang lain serta melanggar peraturan. Para guru ini secara tidak langsung mengabaikan dampak jangka panjang sebuah perilaku terhadap internalisasi nilai dasar peserta didik. Pada usia dini, seorang anak berada pada masa dimana ia memiliki penalaran moral yang dipandu oleh rasa keadilan dan keteladanan. Maka jika dari kecil saja sudah disuguhkan berbagai perilaku tidak jujur dan nalar amoral, bukan tidak mungkin ketika dewasa ia akan menjadi koruptor.  

Kedua, pendidik tersebut telah menutupi atau malah mematikan potensi kesadaran akan kebenaran pada diri anak yang dididiknya. Hak anak didik adalah mendapatkan pelajaran dan nilai-nilai kebenaran yang fair tanpa dimanipulasi oleh orang dewasa. Pemenuhan hak-hak tersebut merupakan bagian dari proses pendidikan yang bertujuan membentuk pribadi yang utuh yang dapat menentukan jalan hidup secara mandiri, dan mampu membedakan benar-salah berdasarkan pertimbangan hati serta nalarnya sebagai manusia terdidik. Memberikan lingkungan yang ‘curang’ sama artinya menjauhkan anak dari kesadaran akan kebenaran dalam tahap perkembangan moralnya.

Ketiga, pendidik tersebut menyalahgunakan wewenangnya sebagai guru dengan menunjukkan ke perbuatan yang salah. Guru sebagai status sosial tertinggi dalam hirarki relasi guru-murid memiliki modal kekuasaan untuk meminta anak didik menjalankan apa saja yang diperintahkannya. Dan menyalahgunakannya adalah dhalim.

Pada akhirnya, fondasi dasar moralitas bangsa ini tergantung pada generasi-generasi yang dilahirkannya. Imam Malik mengingatkan “la yasluhu amru hadzihil ummah illa bima soluha bihi awwaluha”, Tidak akan baik perkara ummat ini kecuali dengan kebaikan-kebaikan generasi sebelumnya. Dan kualitas budi para generasi bangsa tergantung pada kualitas pendidikannya. Jadi, jika kita ingin menghujat habis para koruptor, tengoklah dahulu guru dan sekolahnya; apakah selalu menanamkan nilai kejujuran?,  apakah hak untuk menjadi pribadi yang utuh diberikan?, dan apakah akses kebenaran disajikan secara lugas tanpa ada korupsi?. Jika jawabannya tidak, maka celakalah kita karena ternyata kesadaran generasi bangsa pun telah ikut dikorupsi sejak dini!!