Hamid Muluk.jpg

Melihat Pemimpin Dari Kaca Mata Psikologi

Pemimpin itu ditinggikan seranting, didahulukan selangkah”

Mengutip pepatah minangkabau tersebut, Prof. Dr. Hamdi Muluk,. M.Si (Guru Besar Psikologi Politik UI) sebagai pembicara inti dalam acara Seminar Nasional (14/06) yang bertema “Menggagas Kepemimpinan Bangsa: perspektif psikologi” tersebut mulai mengawali pembicaraannya.

“Bertahun-tahun  yang lalu orang selalu beranggapan bahwa peminpin itu semacam “Satrio piningit”, Raja Agung, atau Ratu Adil yang sengaja diutus Tuhan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Setiap pemimpin besar yang ada umumnya selalu dikultuskan. Anehnya sejarah menunjukkan bahwa sosok yang disebut pemimpin besar tersebut membawa kepada kehancuran peradaban. Seperti: Hitler, Napoleon, Musolini, Saddam Husein, Stalin, dan lain-lain.” Tutur Hamdi Muluk.

Siapa sebenarnya yang patut disebut sebagai Pemimpin “Besar”? retoris Guru Besar UI tersebut.

Kembali melanjutkan, “Dalam konteks ini, perlu difahami sebagaimana pepatah minangkabau yang telah disebutkan diawal, bahwa pemimpin adalah bagian dari kita, berangkat dari keseharian kita, dinaikkan oleh kita, dikontrol oleh kita, dan diturunkan pula oleh kita.”

“Soekarno menjadi besar bukan karena atribut-atribut fisik, gesture, dan tindak tanduknya tapi dia menjadi besar karena berangkat dari keseharian, penderitaan, cita-cita, dan aspirasi rakyat banyak yang ditangkap oleh Soekarno dan dirumuskan menjadi visi kenegaraan yang kuat serta mampu menggerakkan pengikutnya untuk mencapai visi tersebut.

“Akhir-akhir ini, ditengah gegap gempitanya kampanye calon presiden dan wakil presiden. kita melihat mulai muncul wacana untuk mencari pemimpin besar. Wacana tersebut muncul dilandasi asumsi bahwa saat ini Negara ini tengah terpuruk sehingga perlu adanya sosok pemimpin besar yang mampu menyelesaikan berbagai masalah yang ada dan mengembalikan kejayaan bangsa ini.

Berbagai studi yang dilakukan oleh psikolog politik membuktikan bahwa retorika-retorika besar dan tampilan besar dihadapan publik dilatarbelakangi oleh gangguan kepribadian diantaranya: grandiosity (merasa besar), narsistik, over-ambitius, arogan, dan kontrol emosional yang rendah.

“Maka dari itu, kita perlu lebih cermat dalam menyikapinya. Pemimpin besar itu haruslah hadir di tengah-tengah kita, berproses seranting demi seranting, selangkah demi selangkah lewat jalur kepemimpinan yang terukur. Pemimpin sejati itu berasal dari kita-kita. Ia tidak berjarak dari kita-kita, tidak perlu menempatkan diri lebih hebat dari kita-kita. Sosok yang rendah hati. Yang faham bahwa ia hanya ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah.”  Tutup Hamdi Muluk pada acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan yang bekerjasama dengan BEM Psikologi UAD di Auditorium Kampus I UAD Jalan Kapas 09 Semaki Yogyakarta. (MCH)