Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Semiotik

Dalam makalah yang ditulis Abdul Mukhlis S.Ag. M.Ag. mengungkapkan, pembacaan kembali al-Qur’an bertujuan untuk mengerti dan menemukan makna. Sebuah teks tidak akan habis memproduksi makna sehingga tidak boleh dibakukan. Pembakuan teks akan berakibat pada stagnasi. Untuk itu, kita harus mendekati al-Qur’an dengan semangat penelitian. Jadi setiap kali kita membaca, kita akan memproduksi makna.

 “Untuk mempelajari tanda-tanda bahasa yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, penerapan Metode Semiotik sangat cocok,” ucap Dosen Fakultas Tarbiyah dan Dirasat Islamiyah Universitas Ahmad Dahlan (FTDI-UAD) ini dalam acara “Langkah Pakar” yang berlangsung di AdiTV, Sabtu (25/4/2015).

Menurutnya, ada banyak contoh tanda-tanda dalam al-Qur’an. Salah satunya, QS. al-Kahfi yang mempunyai makna simbolik perlindungan dari fitnah dan penggunaan tasydid pada fiil tsulasi bermakna “berulang-ulang”, dan lain-lain.

Bagi mayoritas umat Islam Indonesia, memahami bahasa al-Qur’an tidaklah mudah. Ada jarak yang sangat lebar antara mereka dengan kitab yang menggunakan tulisan Arab tersebut. Bagi orang beriman, jarak pemahaman ini dijembatani dengan iman dan secara rasional melalui terjemahan. Namun, kemunculan terjemahan dan tafsiran membuat dua kemungkinan. Positifnya, posisi dan pesan yang terdapat di dalamnya menjadi terbebas dari kurungan bahasa dan tradisi lokal tempat diturunkan.

Al-Qur’an misalnya, tidak lagi secara ekslusif hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang ahli dalam bahasa Arab. Bertemunya teks dan terjemahan al-Qur’an dengan pembacanya di luar tradisi Arab akan memungkinkan bagi proses pengkayaan wawasan al-Qur’an tersebut. Namun negatifnya, setiap penerjemahan dan penafsiran selalu diikuti bahaya distorsi, deviasi, serta pengkhianatan pesan.

Hal ini terjadi karena kesulitan dalam memahami bahasa kitab suci yang banyak dituangkan dalam bentuk narasi deskriptif, dan ungkapan-ungkapan metaforis-simbolis yakni pengungkapan ekspresi secara tidak langsung.

Muklis menambahkan, setiap bahasa dan tradisi agama selalu terdapat ikon-ikon dan simbolisasi dari realitas absolut yang kemudian dihadirkan dalam bahasa manusiawi yang populer. Istilah baitu-llah, misalnya, yang di situ juga terdapat hajar aswad adalah tipikal ungkapan ikonik yang kemudian berkembang menjadi metaforistik. Dengan kata lain, bahasa al-Qur’an secara historis antropologis adalah bahasa manusia, tetapi secara teologis di dalamnya terdapat kalam Ilahi yang bersifat transhirtoris atau metahistoris.

“Akibatnya, bahasa metafor dalam kitab suci al-Qur’an secara potensial dapat menimbulkan dua implikasi. Kemampuan bahasa metaforis tentu dapat mengakomodasi penafsiran dan pemahaman baru sehingga kitab suci akan selalu hadir setiap saat tanpa kehilangan daya pikat dan panggilan hermeneutikanya. Bahasa metafor juga selalu membuka pintu imajinasi dan kemungkinan-kemungkinan baru (posibilitas), bukan sebuah representasi dari realitas yang telah mapan (aktualitas). Hal ini seperti pendapat Ricour yang menyatakan, A memorables metafor has the power to bring  two separate domains into  cognitive and emotional relational relation by using language directly appropriate for the one as lens for seeing the other,” jelasnya.

Jadi, bahasa metaforis memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif. Oleh karena itu, seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks.

Jika pendapat Ricour tersebut didekatkan pada bahasa al-Qur’an, akan mudah ditemukan ungkapan-ungkapan ikonografis yang memiliki daya imajinasi dan mampu membangkitkan emosi pembacanya.

Misalnya cara al-Qur’an menggambarkan hari kiamat, siksa neraka, atau keindahan surga. Suatu saat nanti, bintang-gemintang saling bertabrakan yang satu menghancurkan yang lain sehingga memunculkan suara gemuruh yang tak terperikan, dan manusia pun lari tunggang langgang ketakutan. Manusia yang ada di neraka akan disiksa dengan digambarkan bagaikan perkampungan api, sementara penghuninya terkurung tidak bisa melarikan diri.

Ilustrasi tentang surga juga disajikan dalam gambaran taman yang rindang beserta para bidadari yang sangat menawan yang telah menanti calon penghuni tempat tersebut.

Sementara itu, menurut analisis psiko-sosiolinguistik, metafor dan bahasa ikonografik yang disajikan al-Qur’an sangat efektif untuk menghancurkan kesombongan masyarakat jahiliah Arab kala itu yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi.