MEMASYARAKATKAN SASTRA, KENAPA TIDAK?

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta

Saat ini, pemasyarakatan sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra daerah, masih dianggap kurang baik. Bagi masyarakat kita, sastra bukanlah sebuah kebutuhan yang mestinya dipenuhi layaknya kebutuhan pokok sehari-hari. Betapa tidak? Lihatlah tiras penjualan buku-buku sastra belakangan ini, meskipun beberapa mengalami cetak ulang (best seller), namun hal itu tidak lantas menjamin bahwa masyarakat kita memiliki kegemaran membaca yang tinggi.

Selain dianggap bukan kebutuhan, bagi masyarakat kita, sastra juga tidak mendatangkan keuntungan ekonomi. Lain halnya dengan kegiatan pentas musik atau olahraga yang memperoleh dukungan dana besar dari pihak sponsor. Di sisi lain, harga buku sastra yang cenderung mahal, selain juga kurang tersedia di toko-toko buku dan perpustakaan daerah, justru mengakibatkan kurang populernya sastra Indonesia dan daerah di mata siswa dan mahasiswa.

Deskripsi di atas, jelas menyebabkan rendahnya mutu pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Dalam makalahnya, Budi Darma (1999) mengidentifikasi faktor-fakor penyebab ketidakberhasilan pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Di mata guru besar sastra Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu, ada 12 faktor, di antaranya, mutu calon guru bahasa Indonesia tidak baik, minat baca siswa-guru kurang, dan kemampuan menulis siswa-guru kurang.

Kondisi serupa juga kita jumpai pada jenjang pendidikan tinggi (PT). Para mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia atau Jurusan Sastra Indonesia rata-rata memiliki minat baca yang kurang. Jika minat baca kurang, logikanya kemampuan menulisnya juga kurang. Pada gilirannya, tatkala mahasiswa tersebut menyusun tugas akhir skripsi atau makalah cenderung “asal-asalan” (asal kutip sana-sini, tidak membaca buku aslinya).

Melalui artikel ini, penulis ingin mengajukan beberapa saran guna memasyarakatkan sastra Indonesia dan daerah, baik di lingkup pendidikan maupun masyarakat umum. Pertama, pembelajaran sastra lebih diarahkan pada ketrampilan mengarang. Untuk itu, para guru/dosen serta pimpinan sekolah/kampus dapat menyediakan sarana publikasi karangan, selain juga memberikan insentif bagi para penulisnya.

Kedua, para siswa dan mahasiswa sebisa mungkin diajak untuk menyenangi karya sastra, baik puisi, prosa, maupun drama. Terlepas dari genre-nya apakah sastra pop atau sasta bukan-pop, kelebihan dan kekurangan pada masing-masing, kita perlu terima dengan lapang dada. Yang penting bagi kita, para siswa dan mahasiswa melek karya sastra terlebih dahulu, lantas barulah diajak untuk berpikir perihal kebermanfaatan karya sastra itu bagi dirinya dan orang sekitar.

Keiga, pihak sekolah/kampus dapat menambah frekuensi kegiatan sastra berupa seminar, lokakarya, bedah buku, lomba mengarang, lomba membaca, dan lain-lain. Jika perlu, kegiatan-kegiatan tersebut tak hanya digelar di sekolah/kampus, tetapi juga di kalangan masyarakat luas. Pula, penyediaan buku-buku sastra di ruang tunggu hotel, bank, halte, hingga pasar perlu dipikirkan sebagai upaya konkret guna mendekatkan sastra dengan masyarakat.

Keempat, pihak pemerintah daerah (kota/kabupaten), khususnya lingkup DI Yogyakarta dapat mengajak masyarakat untuk menghormati para mendiang sastrawan layaknya pahlawan bangsa. Caranya, dengan menjajaki pemberian nama mendiang sastrawan kita pada nama jalan di DI Yogyakarta. Misalnya, Jalan Kuntowijoyo, Jalan Umar Kayam, Jalan Linus Suryadi AG, Jalan Kirjomulyo, atau Jalan WS Rendra. Senoga saja upaya-upaya di atas berhasil![]

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen PBSI FKIP UAD Yogyakarta

Saat ini, pemasyarakatan sastra, baik sastra Indonesia maupun sastra daerah, masih dianggap kurang baik. Bagi masyarakat kita, sastra bukanlah sebuah kebutuhan yang mestinya dipenuhi layaknya kebutuhan pokok sehari-hari. Betapa tidak? Lihatlah tiras penjualan buku-buku sastra belakangan ini, meskipun beberapa mengalami cetak ulang (best seller), namun hal itu tidak lantas menjamin bahwa masyarakat kita memiliki kegemaran membaca yang tinggi.

Selain dianggap bukan kebutuhan, bagi masyarakat kita, sastra juga tidak mendatangkan keuntungan ekonomi. Lain halnya dengan kegiatan pentas musik atau olahraga yang memperoleh dukungan dana besar dari pihak sponsor. Di sisi lain, harga buku sastra yang cenderung mahal, selain juga kurang tersedia di toko-toko buku dan perpustakaan daerah, justru mengakibatkan kurang populernya sastra Indonesia dan daerah di mata siswa dan mahasiswa.

Deskripsi di atas, jelas menyebabkan rendahnya mutu pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Dalam makalahnya, Budi Darma (1999) mengidentifikasi faktor-fakor penyebab ketidakberhasilan pembelajaran sastra Indonesia dan daerah. Di mata guru besar sastra Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu, ada 12 faktor, di antaranya, mutu calon guru bahasa Indonesia tidak baik, minat baca siswa-guru kurang, dan kemampuan menulis siswa-guru kurang.

Kondisi serupa juga kita jumpai pada jenjang pendidikan tinggi (PT). Para mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia atau Jurusan Sastra Indonesia rata-rata memiliki minat baca yang kurang. Jika minat baca kurang, logikanya kemampuan menulisnya juga kurang. Pada gilirannya, tatkala mahasiswa tersebut menyusun tugas akhir skripsi atau makalah cenderung “asal-asalan” (asal kutip sana-sini, tidak membaca buku aslinya).

Melalui artikel ini, penulis ingin mengajukan beberapa saran guna memasyarakatkan sastra Indonesia dan daerah, baik di lingkup pendidikan maupun masyarakat umum. Pertama, pembelajaran sastra lebih diarahkan pada ketrampilan mengarang. Untuk itu, para guru/dosen serta pimpinan sekolah/kampus dapat menyediakan sarana publikasi karangan, selain juga memberikan insentif bagi para penulisnya.

Kedua, para siswa dan mahasiswa sebisa mungkin diajak untuk menyenangi karya sastra, baik puisi, prosa, maupun drama. Terlepas dari genre-nya apakah sastra pop atau sasta bukan-pop, kelebihan dan kekurangan pada masing-masing, kita perlu terima dengan lapang dada. Yang penting bagi kita, para siswa dan mahasiswa melek karya sastra terlebih dahulu, lantas barulah diajak untuk berpikir perihal kebermanfaatan karya sastra itu bagi dirinya dan orang sekitar.

Keiga, pihak sekolah/kampus dapat menambah frekuensi kegiatan sastra berupa seminar, lokakarya, bedah buku, lomba mengarang, lomba membaca, dan lain-lain. Jika perlu, kegiatan-kegiatan tersebut tak hanya digelar di sekolah/kampus, tetapi juga di kalangan masyarakat luas. Pula, penyediaan buku-buku sastra di ruang tunggu hotel, bank, halte, hingga pasar perlu dipikirkan sebagai upaya konkret guna mendekatkan sastra dengan masyarakat.

Keempat, pihak pemerintah daerah (kota/kabupaten), khususnya lingkup DI Yogyakarta dapat mengajak masyarakat untuk menghormati para mendiang sastrawan layaknya pahlawan bangsa. Caranya, dengan menjajaki pemberian nama mendiang sastrawan kita pada nama jalan di DI Yogyakarta. Misalnya, Jalan Kuntowijoyo, Jalan Umar Kayam, Jalan Linus Suryadi AG, Jalan Kirjomulyo, atau Jalan WS Rendra. Senoga saja upaya-upaya di atas berhasil![]