Membincang Keberanian Polisi Menumpas Premanisme

Dani Fadillah*

Penulis merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Politik UAD

Beberapa hari ini terakhir ini (kembali) merebak wacana bahwa pihak kepolisian akan menggelar operasi khusu untuk memberantasan premanisme. Kata Tanya yang harus muncul kepermukaan adalah; “Beranikah kepolisian melakukannya? Ingat, kata “beranikah” yang kita gunakan di sini, bukan “mampukah”

Secara kualitas, polisi kita mempunyai keterampilan fisik dan intelektual untuk menindak segala jenis kejahatan. Kemudian untuk urusan teknis-nonteknis lainnya kepolisian kita secara hokum diizinkan untuk menerapkan ketegasan lebih dan menggunakan senjata serta berbagai peranti lain yang mendukung tugas mereka. Kepolisian kita berpengalaman dan memiliki track record bagus dalam menumpas terorisme yang memiliki jaringan internasional, apa lagi yang “hanya” selevel premanisme. Sangat tidak seimbang jika kita membandingkan peta kekuatan polisi dengan dengan preman, dari segala sisi dan aspek sangat tidak sepadan. Maka jika kita logika dengan akal sehat atas semua pertimbangan tersebut dalam sekali gebrak saja para pengganggu ketertiban sosial itu bisa lenyap seketika.

Tapi kenyataannya premanisme tetap ada, bahkan semakin berkembang. Hingga wajar jika banyak yang menyangsikan keberanian polisi melakukan pemberantasan premanisme. Meskipun ada tindakan nyata para polisi mengambil sikap terhadap preman, selama ini yang ditindak hanya preman kelas “ecek-ecek” yang biasa mangkal dan berkeliaran di terminal, pasar,dll. Lantas preman macam apa yang harus ditindak oleh kepolisian?

Pengertian Preman & Premanisme

Bersandar pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, preman artinya adalah orang-orang yang melakukan kejahatan seperti penodongan atau pemerasan. Sedangkan premanisme adalah sebuah gaya hidup yang mengedepankan kekerasan. Jika definisi ini diperluas atau digabung, preman bukan hanya sebatas individu bertato atau yang berkeliaran sembari mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat di tempat umum.

Namun juga organisasi yang berpolah premanisme. Entah yang berbulu organisasi massa kepemudaan, daerah, atau bahkan keagamaan, semua harus diberantas. Meski diri mereka dikemas dengan make up yang mencitrakan bahwa mereka adalah golongan yang intelek, beradab, bahkan tampak berakhlak dan sangat dekat dengan Tuhan, namun jika terbuti (apa lagi jika kasat mata) secara sistematis melakukan aksi premanisme, ya tetap ditindak.

Kembali pertanyaan dalam paragraph pertama di atas tadi “Beranikah polisi memberantas premanisme?” Pertanyaan ini relevan untuk kita kembangkan karena kerap kepentingan organisasi preman bersaling-silang kepentingan dengan oknum-oknum aparat ataupun pejabat. Kepentingan dimaksud bisa berupa kepentingan ekonomi demi mengakumulasi kekayaan atau politik untuk memperbesar dukungan.

Jika kita mau curiga, bisa jadi ada pelimpahan sebagian kewenangan aparat hingga membuat premanisme terorganisasi punya ruang gerak leluasa. Terbukti mereka bisa dengan bebas melakukan pembagian daerah kekuasaan bahkan menandainya dengan berbagai macam simbol (coretan, benderara, bace camp, dll), kemudian mengelola wilayah tersebut atas nama keamanan lingkungan dan sebagainya.

Jika demikian adanya, memberantas premanisme ibarat mengurai benang kusut. Sangat sulit karena satu-sama lain saling terkait kepentingan. Kalaupun dilakukan, yang terkena hanyalah preman kelas teri yang berkeliaran di jalanan sekadar untuk makan.

Kalau kepolisian kita hanya bisa seperti ini saja maka premanisme dijamin tidak akan pernah hilang dan justru akan kian berkembang karena mereka merasa aman. Sebaliknya rasa aman masyarakat tidak mungkin datang.