Menciptakan Budaya Sekolah

Oleh : Hendra Darmawan*)

Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, definisi pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Definisi tersebut menyiratkan bahwa pendidikan adalah pembudayaan (culturalization) dan pemberdayaan (empowerment) untuk menumbuhkembangkan potensi dan kepribadian peserta didik sehingga mereka dapat menjadi pribadi yang cerdas, berakhlak mulia, dan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang berguba bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara. Penulis berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan strategi kebudayaan untuk mencerdaskan kehidupan sekaligus pilar strategis untuk membangun peradaban bangsa (nation civilization).

Pendidikan hari ini menjadi tuntutan hidup bagi setiap orang. Ia menjadikan seseorang memiliki harapan hidup yang lebih baik dimasa depan karena pendidikannya. Akhir-akhir ini kita sering kita dapati berita bahwa banyak siswa ditengah-tengah proses belajar mengajar tiba-tiba mengalami kesurupan. Hal ini sejak lama tidak pernah kita dapati, namun hari ini itu seakan-akan menjadi trend. Pihak sekolahpun disibukkan dengan terapi-terapi alternative penanganannya. Suatu sekolah bahkan menyelenggarakan berdoa bersama agar warga sekolah tidak mengalami kesurupan. Ada pertanyaan yang muncul dalam benak para pendidik, kenapa hal itu terjadi.

Benak manusia modern hari ini banyak disusupi hal-hal yang tidak rasional, tidak mendidik, saru dan lain-lain. Sehingga rasionalitasnya tumpul. Bombamdir acara pertelevisian hari ini mulai dari tayangan yang informative, mendidik, sampai yang mistik semua ada. Acara Tv hari ini tidak semata informative tetapi menjadi ancaman masa depan generasi muda. Acara yang ada cenderung hanya menjadikan audien sebagai penerima pasif, tanpa berpikir panjang. Emha Ainun Nadjib (kompas 16/12) menegaskan bahwa kebanyakan manusia tidak mau berpikir” atau minimal’ banyak manusia yang tidak menggunakan akal. Karena kemalasan mengolah logika dan system rasio, orang menyangka dunia dan akhirat itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak bahkan bertentangan.

Bervariasinya program televisi hari ini menjadikan para orang tua tidak mampu mengontrol apa yang dipilih oleh putra-putrinya. Dunia pertelevisian seakan tidak mengenal istilah Prime time. Meskipun dibeberapa daerah sudah ada yang namanya jam belajar dan jam mengaji, tetapi itu kalah efektif dibandingkan dengan TV. Seakan anak-anak dapat menemukan ayat tuhan di TV dibandingkan dengan dengan membaca kitab suci. Seorang Psikolog dari UGM menyarankan perlunya diet nonton Televisi, tidak hanya diet karena obesitas. Dengan mempersiapkan strategi-strategi lain yang efisien dan mendampingi generasi muda lebih intensif, kita berharap muncul etos generasi muda yang lebih mencintai ilmu, gemar membaca, peduli sesama dan mencipta peradaban.

Budaya Sekolah

Zawawi Imron: mengutip pesan hikmah dari timur tengah ” bahwasanya hidup pemuda harus bergelimang ilmu dan ketaqwaan, jika itu luput maka baginya takbir empat kali symbol atas kematiannya. Salah satu metode paling efektif untuk pendidikan karakter adalah melalui budaya sekolah. Jika sekolah dapat menciptakan kehidupan keseharian yang jujur, bersih, tertib, santun, toleran, kerja keras dan dibarengi dengan penanaman norma kehidupan dengan guru sebagai model (Uswatun hasanah) perilaku tersebut secara bertahap akan menjadi budaya sekolah (school culture). Kesemuanya akan menjadi keadaban publik (civic virtue) jika budaya sekolah tersebut dapat diwujudkan .

*) Dosen PBI FKIP UAD

Oleh : Hendra Darmawan*)

Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, definisi pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Definisi tersebut menyiratkan bahwa pendidikan adalah pembudayaan (culturalization) dan pemberdayaan (empowerment) untuk menumbuhkembangkan potensi dan kepribadian peserta didik sehingga mereka dapat menjadi pribadi yang cerdas, berakhlak mulia, dan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang berguba bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara. Penulis berkeyakinan bahwa pendidikan merupakan strategi kebudayaan untuk mencerdaskan kehidupan sekaligus pilar strategis untuk membangun peradaban bangsa (nation civilization).

Pendidikan hari ini menjadi tuntutan hidup bagi setiap orang. Ia menjadikan seseorang memiliki harapan hidup yang lebih baik dimasa depan karena pendidikannya. Akhir-akhir ini kita sering kita dapati berita bahwa banyak siswa ditengah-tengah proses belajar mengajar tiba-tiba mengalami kesurupan. Hal ini sejak lama tidak pernah kita dapati, namun hari ini itu seakan-akan menjadi trend. Pihak sekolahpun disibukkan dengan terapi-terapi alternative penanganannya. Suatu sekolah bahkan menyelenggarakan berdoa bersama agar warga sekolah tidak mengalami kesurupan. Ada pertanyaan yang muncul dalam benak para pendidik, kenapa hal itu terjadi.

Benak manusia modern hari ini banyak disusupi hal-hal yang tidak rasional, tidak mendidik, saru dan lain-lain. Sehingga rasionalitasnya tumpul. Bombamdir acara pertelevisian hari ini mulai dari tayangan yang informative, mendidik, sampai yang mistik semua ada. Acara Tv hari ini tidak semata informative tetapi menjadi ancaman masa depan generasi muda. Acara yang ada cenderung hanya menjadikan audien sebagai penerima pasif, tanpa berpikir panjang. Emha Ainun Nadjib (kompas 16/12) menegaskan bahwa kebanyakan manusia tidak mau berpikir” atau minimal’ banyak manusia yang tidak menggunakan akal. Karena kemalasan mengolah logika dan system rasio, orang menyangka dunia dan akhirat itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak bahkan bertentangan.

Bervariasinya program televisi hari ini menjadikan para orang tua tidak mampu mengontrol apa yang dipilih oleh putra-putrinya. Dunia pertelevisian seakan tidak mengenal istilah Prime time. Meskipun dibeberapa daerah sudah ada yang namanya jam belajar dan jam mengaji, tetapi itu kalah efektif dibandingkan dengan TV. Seakan anak-anak dapat menemukan ayat tuhan di TV dibandingkan dengan dengan membaca kitab suci. Seorang Psikolog dari UGM menyarankan perlunya diet nonton Televisi, tidak hanya diet karena obesitas. Dengan mempersiapkan strategi-strategi lain yang efisien dan mendampingi generasi muda lebih intensif, kita berharap muncul etos generasi muda yang lebih mencintai ilmu, gemar membaca, peduli sesama dan mencipta peradaban.

Budaya Sekolah

Zawawi Imron: mengutip pesan hikmah dari timur tengah ” bahwasanya hidup pemuda harus bergelimang ilmu dan ketaqwaan, jika itu luput maka baginya takbir empat kali symbol atas kematiannya. Salah satu metode paling efektif untuk pendidikan karakter adalah melalui budaya sekolah. Jika sekolah dapat menciptakan kehidupan keseharian yang jujur, bersih, tertib, santun, toleran, kerja keras dan dibarengi dengan penanaman norma kehidupan dengan guru sebagai model (Uswatun hasanah) perilaku tersebut secara bertahap akan menjadi budaya sekolah (school culture). Kesemuanya akan menjadi keadaban publik (civic virtue) jika budaya sekolah tersebut dapat diwujudkan .

*) Dosen PBI FKIP UAD