Mengaktifkan Siswa Dalam Pembelajaran

Oleh: Hendro Widodo, M. Pd

 

Belajar pada prinsipnya adalah berbuat atau bertindak (learning by doing) untuk mengubah tingkah laku yang diharapkan. Perubahan tingkah laku tersebut sebagai hasil dari melakukan kegiatan dalam proses belajar, karena tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas. Belajar membutuhkan aktivitas mental dan tindakan pembelajar itu sendiri. Kedua aktivitas tersebut tidak dapat terpisahkan dalam kegiatan belajar. Oleh sebab itu, aktivitas merupakan prinsip yang sangat urgen dalam interaksi belajar mengajar.

Aktivitas guru dan siswa dalam interakasi belajar mengajar merupakan interaksi educatif. Interaksi educatif ditandai dengan adanya interaksi yang sadar dan disengaja antara guru dan siswa maupun antar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Di sini dituntut semua pelaku pembelajaran untuk berbuat aktif, baik guru maupun siswa. Guru dituntut aktif dalam memberikan pengetahuan dan penanaman nilai edukasi kepada siswa, dengan melibatkan siswa dalam aktivitas pembelajaran dan siswa pun aktif terlibat sehingga antara keduanya menghasilkan aktivitas belajar yang optimal. 

Mengaktifkan siswa dalam pembelajaran tidak cukup hanya kemampuan guru dalam menguasai materi pelajaran saja namun harus ditopang oleh kemampuan guru dalam mengembangkan pola pembelajaran kreatif dan variatif dengan menekankan pada strategi pembelajaran aktif.  Sebagaimana nasehat  Melvin L. Silberman, ”You can tell students what they need to know very fast. But they will forget what you tell them even faster.” Anda dapat memberitahu para siswa tentang apa yang perlu mereka ketahui dengan sangat cepat. Tetapi, mereka bahkan akan lebih cepat melupakan apa yang Anda beritahukan kepada mereka. Dengan kata lain, penggunaan strategi pembelajaran aktif akan dapat mengarahkan siswa pada makna belajar yang sebenarnya.   

Di dalam strategi pembelajaran aktif menekankan pada belajar dengan melakukan. Belajar dengan melakukan perlu ditekankan karena setiap siswa hanya belajar 10% dari yang dibaca, 20% dari yang didengar, 30% dari yang dilihat, 50% dari yang dilihat dan didengar, 70% dari yang dikatakan, dan 90% dari yang dikatakan dan dilakukan. Nilai yang terkandung dari hasil temuan Wyatt & Looper (1999) ini adalah perlunya pengkondisian siswa untuk membaca materi pelajaran terlebih dahulu sebagai modal awal siswa sebelum memasuki kelas utnuk mengikuti pembelajaran. Dengan modal awal tersebut, secara psikologis siswa akan lebih percaya diri mengikuti pembelajaran. Demikian di dalam kelas, siswa mendengarkan penjelasan guru dengan baik maka konstruksi pengetahuan yang didapatkannya bertambah menjadi 20%. Dari sini berarti metode ceramah, siswa hanya mampu menangkap 20% dari yang didengar. Selanjutnya kosntruski pengetahuan siswa bertambah menjadi 30% bilamana terjadi visual activities. Hal ini perlu didukung oleh guru dalam menyajikan materi pelajaran dengan menggunakan media pembelajaran. Kemudian konstruksi pengetahuan siswa akan bertambah 50% dari yang dilihat dan didengar. Artinya, listening activities dan visual activities terintegrasi dalam pembelajaran, dan kedua aktivitas tersebut dapat mendorong konstruksi pengetahuan siswa menjadi 70% bilamana dilakukan oral activities, seperti bertanya, eksplorasi pendapat/gagasan, diskusi dan sebagainya. Akhirnya yang lebih diharapkan adalah konstruksi pengetahuan tersebut mencapai pada tingkat 90% dari yang dikatakan dan dilakukan. Di sini belajar dengan melakukan dimana siswa terlibak aktif di dalamnya. Dengan demikian, setiap materi pelajaran diharapkan selalu dikaitkan dengan pengalaman langsung siswa.

Penulis adalah Dosen Prodi PGSD UAD Yogyakarya