Mengibarkan Buku

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD Yogyakarta;

Penulis Buku Guru Cerdas: Melejitkan Karier dan Potensi Guru (2012)

Dalam sebuah kesempatan, penulis berjumpa dengan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, seorang guru besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (FBS UNY) yang juga sastrawan terkemuka itu. Pak Minto—begitu ia biasa disapa—menceritakan kisah perjumpaannya dengan Rektor UNY Prof. Dr. Rochmat Wahab. Saat berjumpa dengan pucuk pimpinan UNY itu, Pak Minto berkata, “UNY akan semakin berkibar apabila para dosennya menulis buku. Paling tidak, satu buku untuk satu matakuliah wajib yang diampunya.”

Perkataan Pak Minto di atas, menurut saya, merupakan ide cemerlang yang perlu dilirik sebagai peluang bagi para pimpinan perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta. Kepopuleran nama Universitas Gadjah Mada (UGM) di Indonesia, mungkin juga didukung oleh produktivitas para dosennya dalam menulis buku. Di bidang sastra Indonesia modern, beberapa nama, seperti Rachmat Djoko Pradopo, Faruk HT, Sugihastuti, Aprinus Salam, hingga Dewojati Cahyaningrum cukup dikenal luas oleh para pembacanya.

Demikian pula nama Universitas Indonesia (UI) yang berkibar-kibar berkat beberapa nama dosennya yang produktif menulis buku, seperti Sapardi Djoko Damono, Maman S. Mahayana, Melani Budianta, Riris K. Toha-Sarumpaet, hingga Sunu Wasono. Tak ayal jika produktivitas para dosen dari kedua PTN tersebut cukup berpengaruh secara positif bagi institusi mengajarnya. Paling tidak, publik mengenal mereka sebagai orang atau ahli di bidang tertentu berkat dari karya (buku) yang ditulisnya.

Di simpul ini, muncul pertanyaan besar: begitu pentingkah arti buku bagi seorang dosen, terlebih dosen yang sudah bergelar guru besar atau profesor? Pertanyaan ini saya jawab secara tidak langsung lewat uraian berikut. Istilah “GBHN” yang memiliki kepanjangan: Garis-garis Besar Haluan Negara diplesetkan menjadi “Guru Besar Hanya Nama”. Plesetan ini merupakan sindiran (keras tapi halus, atau sebaliknya) bagi para dosen yang sama sekali tidak memiliki karya yang berupa buku.

Barangkali, Anda pun tergelitik bertanya: apakah para dosen tadi betul-betul tidak sama sekali menulis? Jawabannya, tidak juga. Mereka, terlebih yang sudah bergelar guru besar, justru bertipe orang-orang yang rajin melakukan penelitian di bidangnya masing-masing. Masalahnya, karya-karya penelitian yang mereka hasilkan dan mungkin jumlahnya bejibun itu hanya digunakan untuk kepentingan naik pangkat, dan akhirnya bernasib naas: masuk dan terkunci dalam almari.

Padahal, jika para dosen itu bisa sedikit kreatif, karya-karya penelitiannya dapat dipoles sedemikian rupa menjadi karya-karya buku yang menarik. Kesempatan atau peluang untuk menerbitkan buku saat ini terbuka selebar-lebarnya. Di Yogyakarta, begitu banyak penerbit buku yang membutuhkan naskah-naskah yang salah satunya berasal dari kajian atau penelitian ilmiah. Mungkin, para dosen yang telah menyelesaikan studi S-3-nya dapat menulis-ulang disertasinya ke dalam format buku yang sederhana namun menarik.

Terkait itu, bagi kampus yang telah memiliki lini penerbitan buku, alangkah baiknya jika mendorong para dosennya untuk menulis buku. Seperti perkataan Pak Minto di awal tulisan ini, minimal satu buku untuk satu matakuliah yang diampunya, baik pada semester gasal maupun semester genap. Penulis yakin, dengan karya-karya buku yang diterbitkan itu, kelak seorang dosen, terlebih yang sudah bergelar guru besar, akan lebih dikenal oleh publik atau pembacanya.

Kini, dalam menyambut Milad ke-52 (tanggal 23 Desember 2012), Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta kiranya perlu untuk mewujudkan gagasan Pak Minto di atas. Yaitu, mengibarkan nama UAD dengan atau melalui penerbitan buku-buku para dosennya. Jika pihak kampus, terutama pucuk pimpinan UAD mengerti akan pentingnya publikasi ilmiah di tingkat nasional dan internasional, kiranya para dosennya didorong, difasilitasi, serta dibiayai untuk menerbitkan karya-karya terbaiknya. Semoga itu terwujud![]

Oleh: Sudaryanto, M.Pd.

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UAD Yogyakarta;

Penulis Buku Guru Cerdas: Melejitkan Karier dan Potensi Guru (2012)

Dalam sebuah kesempatan, penulis berjumpa dengan Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, seorang guru besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (FBS UNY) yang juga sastrawan terkemuka itu. Pak Minto—begitu ia biasa disapa—menceritakan kisah perjumpaannya dengan Rektor UNY Prof. Dr. Rochmat Wahab. Saat berjumpa dengan pucuk pimpinan UNY itu, Pak Minto berkata, “UNY akan semakin berkibar apabila para dosennya menulis buku. Paling tidak, satu buku untuk satu matakuliah wajib yang diampunya.”

Perkataan Pak Minto di atas, menurut saya, merupakan ide cemerlang yang perlu dilirik sebagai peluang bagi para pimpinan perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta. Kepopuleran nama Universitas Gadjah Mada (UGM) di Indonesia, mungkin juga didukung oleh produktivitas para dosennya dalam menulis buku. Di bidang sastra Indonesia modern, beberapa nama, seperti Rachmat Djoko Pradopo, Faruk HT, Sugihastuti, Aprinus Salam, hingga Dewojati Cahyaningrum cukup dikenal luas oleh para pembacanya.

Demikian pula nama Universitas Indonesia (UI) yang berkibar-kibar berkat beberapa nama dosennya yang produktif menulis buku, seperti Sapardi Djoko Damono, Maman S. Mahayana, Melani Budianta, Riris K. Toha-Sarumpaet, hingga Sunu Wasono. Tak ayal jika produktivitas para dosen dari kedua PTN tersebut cukup berpengaruh secara positif bagi institusi mengajarnya. Paling tidak, publik mengenal mereka sebagai orang atau ahli di bidang tertentu berkat dari karya (buku) yang ditulisnya.

Di simpul ini, muncul pertanyaan besar: begitu pentingkah arti buku bagi seorang dosen, terlebih dosen yang sudah bergelar guru besar atau profesor? Pertanyaan ini saya jawab secara tidak langsung lewat uraian berikut. Istilah “GBHN” yang memiliki kepanjangan: Garis-garis Besar Haluan Negara diplesetkan menjadi “Guru Besar Hanya Nama”. Plesetan ini merupakan sindiran (keras tapi halus, atau sebaliknya) bagi para dosen yang sama sekali tidak memiliki karya yang berupa buku.

Barangkali, Anda pun tergelitik bertanya: apakah para dosen tadi betul-betul tidak sama sekali menulis? Jawabannya, tidak juga. Mereka, terlebih yang sudah bergelar guru besar, justru bertipe orang-orang yang rajin melakukan penelitian di bidangnya masing-masing. Masalahnya, karya-karya penelitian yang mereka hasilkan dan mungkin jumlahnya bejibun itu hanya digunakan untuk kepentingan naik pangkat, dan akhirnya bernasib naas: masuk dan terkunci dalam almari.

Padahal, jika para dosen itu bisa sedikit kreatif, karya-karya penelitiannya dapat dipoles sedemikian rupa menjadi karya-karya buku yang menarik. Kesempatan atau peluang untuk menerbitkan buku saat ini terbuka selebar-lebarnya. Di Yogyakarta, begitu banyak penerbit buku yang membutuhkan naskah-naskah yang salah satunya berasal dari kajian atau penelitian ilmiah. Mungkin, para dosen yang telah menyelesaikan studi S-3-nya dapat menulis-ulang disertasinya ke dalam format buku yang sederhana namun menarik.

Terkait itu, bagi kampus yang telah memiliki lini penerbitan buku, alangkah baiknya jika mendorong para dosennya untuk menulis buku. Seperti perkataan Pak Minto di awal tulisan ini, minimal satu buku untuk satu matakuliah yang diampunya, baik pada semester gasal maupun semester genap. Penulis yakin, dengan karya-karya buku yang diterbitkan itu, kelak seorang dosen, terlebih yang sudah bergelar guru besar, akan lebih dikenal oleh publik atau pembacanya.

Kini, dalam menyambut Milad ke-52 (tanggal 23 Desember 2012), Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta kiranya perlu untuk mewujudkan gagasan Pak Minto di atas. Yaitu, mengibarkan nama UAD dengan atau melalui penerbitan buku-buku para dosennya. Jika pihak kampus, terutama pucuk pimpinan UAD mengerti akan pentingnya publikasi ilmiah di tingkat nasional dan internasional, kiranya para dosennya didorong, difasilitasi, serta dibiayai untuk menerbitkan karya-karya terbaiknya. Semoga itu terwujud![]