Menilik Peragaan Puasa

Ulaya Ahdiani

Penulis adalah Dosen Fakultas Satra, Budaya, dan Komunikasi

Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Saat saya sholat Maghrib di masjid, tiba-tiba terlintas dalam benak saya ucapan seorang ustadz beberapa waktu yang lalu. Dalam ceramahnya, beliau mengatakan, bahwa banyak di antara kita umat muslim yang ketika sholat, sebenarnya tidak benar-benar sholat. Mereka hanya memperagakan gerakan sholat saja. Terbukti dengan masih banyaknya perbuatan keji dan munkar yang dilakukan oleh umat muslim. Padahal, sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar, khan?

Lalu, mengapa ini semua bisa terjadi? Karena itu tadi, masih banyak di  antara kita yang sholat hanya sebagai peragaan gerakan saja, bukan sholat sebenar-benarnya sholat. Pada dasarnya sholat adalah sebuah tanda keimanan seseorang terhadap Allah, tanda kepatuhan seorang hamba kepada Allah. Sholat diawali dengan takbir, Allahu Akbar, Maha Besarkan Allah, meng Esakan Allah. Kemudian diikuti dengan ruku’ dan sujud, sebagai perwujudan dari ketidak berartian seorang manusia. Di mana pada saat posisi sujud, kepala kita lebih rendah dari, maaf, pantat kita. Itu berarti, dihadapan Allah, wajah yang selalu kita banggakan sebagai pusat orientasi manusia, ternyata ada kalanya harus lebih rendah daripada pantat, yang selalu kita tutupi dan malu apabila sampai terlihat orang lain.

Sholat juga diakhiri dengan salam, yang merupakan hikmah untuk menyebarkan kedamaian dan keindahan dimuka bumi terhadap sesama. Jadi, sholat pada hakekatnya adalah perwujudan dari hablun minallah sekaligus hablun minannaas. Berarti, seandainya kita sudah sholat sebenar-benarnya sholat, tidak hanya memperagakan sholat. Maka, sholat kita akan mempunyai bekas, yaitu kita tidak akan menyebarkan dengki dan dendam, tetapi kita menyebarkan kasih dan sayang.

Kita tidak akan menyebarkan kekerasan, namun kelembutan. Kita tidak akan menyebarkan kejahatan, namun kemuliaan. Tapi apakah itu semua sudah kita lakukan? Begitu kira-kira penjelasan ustadz tadi.

 

Sudahkan Berpuasa dengan Sebenar-benarnya Puasa

Menganalogikan dengan peragaan sholat di atas, saya kemudian berpikir tentang puasa. Jangan-jangan selama 30 hari orang menjalankan puasa, ternyata selama itu pula mereka hanya memperagakan puasa?

Pada dasarnya hakekat puasa adalah Imsak, yaitu menahan diri. Menahan diri dari lapar dan dahaga, serta menahan diri dari hubungan suami istri dan menahan amarah. Tapi masih banyak yang belum paham akan arti menahan diri. Karena sebenarnya rasa lapar, dahaga, nafsu syahwat dan amarah, adalah sebagian kecil dari nafsu yang ada pada diri manusia.

Manusia mempunyai nafsu ingin menguasai, ingin menindas, ingin kaya, ingin banyak pasangan, ingin mempunyai segala macam barang yang dinginkan, dan nafsu-nafsu lain, yang sering tidak tersentuh oleh ”puasa”. Kita bisa puasa makan, minum, berhubungan dengan suami atau istri, dan juga puasa marah. Tapi, bagaimana dengan puasa belanja? Bisakah kita menahannya?

Banyak orang harus bolak-balik mencari baju untuk anak-anak, ibu, suami dan untuk yang lainnya di Mall? Apakah barang-barang yang ada di rumah belum cukup? Bukankah di lemari masih banyak baju yang digantung, yang belum tentu 1 bulan sekali dipakai? Bukankah di rak juga masih ada beberapa pasang sepatu yang semirnya masih mengkilat? Bukankah di meja selalu tersedia makanan dan minuman yang selama seminggu pun tak habis kita makan bersama dengan keluarga? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang akan muncul. Bukankah hal tersebut juga bagian dari nafsu. Keinginan untuk memenuhi lemari dengan baju baru, memenuhi rak dengan sepatu baru, memenuhi meja dengan makanan enak, memenuhi kebutuhan anak dengan hal-hal yang lain?

Orang jarang menyadari bahwa ada nafsu lain yang tak terlihat oleh mata, yang itu sulit untuk dikendalikan. Kebanyakan orang memahami tentang nafsu hanyalah sebatas nafsu syahwat, nafsu amarah, nafsu lapar dan haus saja.